Rabu, 15 Oktober 2008

APA YANG HARUS DILAKUKAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK CERDAS ISTIMEWA ?

Bagaimana perasaan orang tua ketika hasil pengamatan yang komprehensif dari psikolog menyimpulkan bahwa anaknya adalah termasuk dalam kategori anak yang memiliki kecerdasan istimewa ? Bingung ? Senang ? Takut dan khawatir ? atau merasa biasa saja dan tidak mau terlalu memikirkannya karena anda mengharapkan anaknya menjadi “manusia biasa” ?
Rasa bingung muncul karena pemahaman kita mengenai anak cerdas istimewa masih sangat kurang. Mungkin yang kita ketahui hanyalah besaran IQ dan menyimpulkan anaknya pintar untuk kemudian menjadi bingung apa yang harus dilakukan. Masalah akan muncul ketika anak telah melalui proses tumbuh kembang di usia remaja. Berbagai tingkah laku dan ucapannya sangat merepotkan orang tua. Pertanyaan yang bertubi-tubi, keinginannya untuk membongkar radio yang ada dirumah atau mungkin sering melakukan kegiatan yang tidak umum untuk seusianya.
Dilain pihak mungkin juga ada orang tua yang merasa senang karena anaknya memiliki kemampuan akademis diatas rata-rata teman sebayanya. Orang tua menjadi sangat berharap dan memikulkan tanggung jawab yang lebih ketimbang saudaranya yang lain. Orang tua menjadi bersemangat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik dengan fasilits dan metode yang paling sempurna.
Atau takut ? takut anaknya menjadi terlalu dewasa melebihi usianya, memiliki mimpi dan imajinasi yang liar dan menakutkan atau khawatir anaknya tidak akan lagi menikmati masa kanak-kanak dan remajanya karena memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.
Mungkin juga ada orang tua yang merasa tidak perlu membesar-besarkan temuan ini dan memperlakukan mereka apa adanya. Tidak memusingkan prilaku dan perkembangan psikologisnya dengan anggapan mereka akan lebih mampu beradaptasi seiring dengan pergaulannya dimasyarakat. Atau mungkin akan dengan sekuat tenaga memagari anak dari pengaruh rasa ingin tahunya yang besar dengan menekankan bahwa mereka harus tumbuh kembang sesuai dengan usia mereka.
Apapun perasaan orang tua, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri yaitu kenyataan bahwa anaknya telah diberi kelebihan oleh Tuhan dengan potensi kecerdasan yang luar biasa. Apapun yang dilakukan orang tua pada prinsipnya akan berdampak kembali kepada anak dan orang tua itu sendiri. Bukankah sebuah ke-dzaliman apabila orang tua mengabaikan potensi anak yangluar biasa, yang berpotensi membawa kebaikan di masyarakat diperlakukan apa adanya.
Anugrah Tuhan dalam bentuk kecerdasan yang diberikan kepada anak harus disyukuri dengan cara memberikan pendampingan dan pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya. Akan menjadi sebuah kemubaziran atas anugrah Tuhan apabila kita mengabaikan potensi mereka hanya karena ketidaktahuan orang tua.
Lantas harus bagaimana orangtua yang mendapatkan anugrah tersebut? Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua siswa cerdas istimewa adalah :
Melakukan test atau proses pendampingan degan psikolog untuk lebih mengenal karakter dan potensi yang dimiliki putra/inya
Mencari informasi yang lengkap dan berimbang tentang karakteristik, permasalahan dan solusi mengatasinya secara berimbang.
Mencari informasi tentang sekolah yang tepat dan memiliki progam khusus dalam penanganan siswa cerdas istimewa
Berkoordinasi dengan pihak yang kompeten (sekolah atau psikolog) dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah
Menyadari bahwa keberhasilan seorang siswa bukanlah tanggung jawab satu pihak namun juga semua pihak yang berhubungan dengan kehidupan siswa. Oleh karena itu komunikasi dan koordinasi sangat mutlak diperlukan Selengkapnya...

MEGEMBANGKAN KREATIFITAS ANAK CERDAS ISTIMEWA

Kreatifitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk sikap, karya maupun kombinasi dalam hal-hal yang sudah ada, yang semuanya relatif berbeda dengan apa yang sudah ada. (Kreatifitas, Reni Akbar Hawadi/Grasindo).
Cerdas istimewa adalah anak yang oleh orang-orang profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul (Utami Munandar, Anak-anak berbakat:pembinaan dan Pendidikannya,1982) yang menurut konsep Renzulli, anak cerdas istimewa adalah anak yang memiliki tiga ciri pokok yaitu kemampuan umum (intelektual) di atas rata-rata, kreativitas diatas rata-rata dan komitmen terhadap tugas yang tinggi.
Jadi, kreatifitas adalah kemampuan yang telah dibawa oleh anak yang masuk dalam kategori anak/siswa cerdas istimewa. Namun kemampuan ini masih dalam bentuk potensi yang harus dikembangkan baik oleh orang tua, guru dan lingkungannya.
Dalam kenyataannya, selain keberadaan anak cerdas istimewa ini masih dikesampingkan juga proses pengembangan kreatifitas mereka pun masih sangat kurang dikembangkan. Hal ini akan membuat potensi kreatifitas anak cerdas istimewa semakin menurun dan tidak mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat disekitarnya.
Untuk mengenal kreatifitas anak cerdas istimewa, Guilford mengurai beberapa ciri orang kreatif, diantaranya :
1. Kelancaran (Fluency), yaitu kemampuan untuk memproduksi banyak gagasan
2. Keluwesan (flexibility), yaitu kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan atau jalan pemecahan masalah
3. Keaslian (originality), yaitu kemampuan untuk melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri dan tidak klise
4. Penguraian (elaboration), yaitu kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci
Setelah mengetahui ciri kreatifitas dari siswa berbakat, maka guru dituntut untuk mampu mengembangkan kreatifitas tersebut dari potensi menjadi sebuah produk/ide/gagasan yang dapat memberikan manfaat baik bagi dirinya maupun bagi lingkungan sekitarnya.
Sikap kreatif pada umumnya berkembang apabila suasana yang dibangun oleh guru tidak bersifat otoriter, karena suasana yang tidak nyaman akan menekan atau mematikan krreatifitas siswa. Apabila suasana belajar lebih menyenangkan dan mampu menjadi ajang “aktualisasi diri” bagi anak cerdas istimewa, maka potensi akan lebih cepat berproses dan mampu membuka sekat rasa malu, enggan atau malas siswa untuk lebih mampu mengeksplorasikan kemampuannya.
Guru pun harus memahami beberapa bentuk karakteristik anak cerdas istimewa dalam mengekspresikan kreatifitasnya misalnya gagasan cenderung aneh, liar atau konyol, berusaha membentuk gagasan mandiri, memulai proyek atas ketertarikannya sendiri, gemar kompleksitas dan ingin menciptakan sesuatu yang original.(Letta S.Hollingworth,Ph.D). beberapa karakteristik ini bisa menjadi masalah di dalam kelas apabila guru tidak mampu memahaminya dan akan cenderung memandang mereka tidak serius, tidak mau mengikuti aturan bahkan menganggap bahwa pekerjaan guru menjadi sia-sia.
Untuk itu guru perlu memahami empat konsep pengembangan kreatifitas pada anak cerdas istimewa. Dalam buku Kreatifitas dan Keberbakatan, Prof.Dr..S.C. Utami Munandar.1999, mengemukakan 4P sebagai konsep pendekatan guru untuk mengenali dan mengembangkan kreeatifitas siswa anak cerdas istimewa. Keempat P tersebut adalah :
1. Pribadi, bagaimana guru mampu memahami bahwa kreatifitas merupakan pertemuan antara tiga attribut psikologi anak yaitu intelegensia, gaya kognitif dan motivasi. Dengan demikian guru dapat membangun sebuah suasana yang mampu menggali ketiga atribut tersebut untuk lebih berkembang. Karena pada hakekatnya kreatifitas adalah salah satu cara siswa untuk mampu mencapai pengakuan atau aktualisasi diri di lingkunganya.
2. Pendorong, dimana guru harus mampu menciptakan suasana yang sangat mendukung dan mendorong siswa untuk terus mengembangkan kreatifitasnya, misalnya dengan memberikan motivasi eksternal berupa pujian, penghargaan, insentif atau dukungan. Juga mendorong munculnya motivasi internal dengan melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan yang memberikan tantangan dan problem solving dalam setiap pembelajaran.
3. Proses, yaitu guru mampu merancang sebuah proses kreatifitas yang mampu merangsang siswa untuk mampu mengaktualisasikan kreatifitas siswa dari potensi menjadi aktual. Persiapan tersebut meliputi tahapan inkubasi, iluminasi dan verifikasi. Beberapa kesulitan yang umum ditemukan guru dalam proses pengembangan kreatifitas anak cerdas istimewa adalah siswa menutut kelonggaran waktu karena mereka cenerung perfeksionis. Mereka akan merasa waktu yang mendesak tidak akan menghasilkan sebuah produk yang memuaskan dirinya. Kesulitan yang lain adalah mereka cenderung melihat produk dari standar atau inikator pribadinya sehingga tidak mungkin hasil yang dicapainya menyimpang jauh dari indikator atau standar guru yang telah dirancang dari awal.
4. Produk, yang dihasilkan anak cerdas istimewa memungkinkan berbeda dengan harapan karena mereka juga sangat tergantung pada kondisi pribadi (moody), lingkungan atau ketertarikan mereka terhadap suatu proyek. Kendala yang mungkin terjadi membutuhkan kesabaran dan pemahaman yang utuh dari guru sehingga berbagai teknik atau metode dapat dipersiapkan dengan matang. Yang lebih panting adalah juga kemampuan guru dalam memberikan reward kepada mereka dalam bentuk pujian, penghargaan dan mengkomunikasikan hasil tersebut kepada orang lain sebagai bentuk pengakuan akan keberaadaa mereka melalui produk yang dihasilkannya.
Uraian singkat ini merupakan awal dari pembahasan lebih lanjut tentang kreatifitas untuk anak berbakat.

imamwibawamukti@yahoo.co.id

Selengkapnya...

Selasa, 14 Oktober 2008

MENANAMKAN NILAI-NILAI PANCASILA PADA DIRI SISWA

Sampai saat ini, penulis masih tetap yakin bahwa Pancasila adalah ideologi terbaik dan paling cocok untuk negara Indonesia yang dihuni oleh rakyatnya yang bersifat heterogen dan majemuk baik dari aspek suku bangsa, agama, ras maupun golongan. Bahkan beberapa kenyataan yang seolah memojokkan Pancasila dan melahirkan keraguan pada masyarakat Indonesia akan keampuhan Pancasila sebagai ideologi bangsa, tidak menyurutkan keyajinan tersebut.
Sama halnya dengan agama yang tidak serta merta menjadikan pemeluknya menjadi baik dan sesuai dengan nilai ideal yang telah ditentukan, tentunya Pancasila pun tidak menjamin bahwa pelaku ideologi tersebut akan otomatis menjadi Pancasilais, karena dalam kenyataannya dari mulai Pancasila lahir sampai saat ini, berbagai peritiwa yang menyangkut pemerintahan maupun kehidupan rakyatnya terasa semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Hal ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya.
Sejarah dan pengalaman dari bangsa sendiri maupun bangsa-bangsa lain semakin memperjelas bahwa ideologi suatu bangsa sangat tergantung pada kemampuan seluruh elemen bangsa dalam menterjemahkan atau menafsirkan nilai-nilai ideal suatu ideologi dalam tataran hidup berbangsa dan bernegara. Bahkan suatu ideologi akan terasa menjadi ruh dari kehidupan sebuah bangsa tatkala seluruh langkah gerak dan kebijakan yang dibuat penyelenggara negara benar-benar berpihak kepada rakyat banyak sebagai bentuk penghargaan terhadap keberadaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Ketika ada seorang pemeluk agama melakukan sebuah kesalahan fatal, kita umat seagama akan berdalih bahwa itu hanya umat yang tidak memahami ajaran agamanya, ketika sebuah lembaga mendapati anggotanya melanggar hukum maka kita sebagai anggotanya akan berdalih bahwa itu hanyalah oknum yang tidak mentaati aturan lembaga. Maka kehancuran bangsa inipun tidak dapat lantas menggugurkan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Kebenaran dari agama yang saya peluk adalah sesuatu yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Begitu juga pemeluk agama lain! Sebagai seorang anak bangsa saya merasa bahwa bangsa saya adalah bangsa yang paling baik. Begitu pula anak bangsa lainnya! Sebagai anggota sebuah golongan atau organisasi tertentu saya akan merasa bahwa lembaga atau organisasi sayalah yang paling baik dalam metode perjuangannya. Begitu pula anggota lembaga dan organisasi lainnya! Lantas bagaimana menyatukan semua keyakinan beragama, kebanggan berbangsa dan keanekaragaman tujuan di dalam suatu kerangka yang bisa menampung semua sehingga bersinergi mencapai tujuan bernegara dan berbangsa?
(mengutip Pidato Bung Karno)
“Sebuah ideologi yang besar dan akan tahan oleh ganasnya perjalanan zaman dan sejarah adalah ideologi yang harus lebih luas, lebih besar dan lebih fleksibel daripada nilai-nilai lain yang ada di dalam bangsa itu sendiri”. Ideologi yang hanya mampu menampung segolongan kaum tertentu, hanya mampu meng apreasiasi kepentingan tertentu atau hanya mampu mengakomodasi bangsa tertentu, niscaya akan hancur dan tergilas oleh sejarah dan zaman yang terus berubah.
Tanpa mengurangi rasa keyakinan terhadap agama apapun yang ada di Indonesia, tanpa bermaksud meremehkan keberadaan suatu bangsa yang ada dan tanpa bermaksud menafikan berjuta eleman bangsa ini, saya kira sampai saat ini dan masa yang akan datang, Pancasila adalah satu-satunya ideologi di Indonesia yang mampu menampung semua keberbedaan itu!
Dan sebagai seorang guru yang memiliki keyakinan itu, maka kita perlu merumuskan langkah tepat dan nyata bagi keberlangsungan pemahaman terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa. Apabila kesadaran itu hilang saat ini, maka yakinlah dalam waktu singkat Indonesia akan porak poranda dalam kehancuran, perpecahan dan ketidakpuasan.
Terasa kini Pancasila telah mulai dilupakan oleh semua elemen bangsa, bahkan oleh pemerintah sekalipun!!!! Pemerintah terlalu sibuk dengan urusan perut semata, urusan ekonomi dan politik yang memiliki tujuan jangka pendek dan absurd. Sebuah kenyataan yang sangat memprihatinkan bila semua anggota masyarakat menganggap bahwa krisis multidimensi yang dialami bangsa ini semata hanya urusan perut dan kekuasaan semata.
Pembangun karakter bangsa (National Character Building) yang begitu gencar dikumandangkan dan dijalankan di era Bung Karno kini telah hilang dan digantikan oleh pembangunan yang bersifat topeng dan kamuflase demi meraih tujuan golongan dan sesaat. Sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan tidak lebih dari sekedar “jual pesona” demi melanggengkan kekuasaan kelompok.
Kini guru harus berada di garis depan untuk kembali menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa ini terlanjur hancur oleh generasi yang lahir dari sistem pendidikan yang mengagungkan materialisme, menekankan pada keberhasilan jasmaniah dan indikator-indikator a-theisme walau kita menolak sebagai bangsa yang tidak mempercayai Tuhan.
Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi adalah, guru pun akhirnya ikut terjebak pada masalah perut, jasmaniah, kepentingan jabatan dan karier sehingga melupakan hakekat guru sebagai penerus mata rantai budaya dan rasa kebangsaan kepada generasi selanjutnya.
Perhatikan gejala berikut, bagaimana guru sekarang mulai memandang bahwa profesi ini tidak lebih dari profesi jual barang atau jasa lainnya. Banyak “pelacur-pelacur” pendidikan yang telah melupakan nilai-nilai Pancasila, baru akan memberikan ‘lebih’ dari kemampuannya apabila dibayar sesuai dengan harapannya. Guru berlomba meraih status ekonomi tertinggi dengan menomorduakan kompetensinya di bidang pendidikan. Jangankan memikirkan kemampuannya dalam mendidik bahkan “memperkenalkan” anak didiknya tentang nilai kebaikan dari Pancasila maupun agama dan budaya pun tidak sempat karena kesibukannya mengumpulkan remeh-temeh duniawi.
Ini adalah refleksi pribadi. Tidak bermaksud menggeneralisir semua guru. Kita masih bisa bernapas lega ketika kita masih melihat ada guru yang mengabdi sebagai guru sebagai media pendekatannya kepada Tuhan ketimbang usaha pendekatannya kepada Materi. Rasanya guru-guru seperti itulah yang selama ini mencegah Indonesia menerima laknat lebih besar lagi dari Tuhan.
Kini saatnya guru kembali kepada hakekatnya sebagai pendidik dengan tetap berusaha secara elegan dan santun menutut hak sewajarnya. Yakinlah suatu saat bangsa ini, negara ini, pemerintah ini akan menyadari pentingnya pendidikan bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara sehingga perhatian yang serius dan benar akan terlaksana sebagai sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak siapapun dengan alasan apapun.
Setelah lahir kembali kesadaran akan hidup sebagai sebuah bangsa, kini saatnya guru kembali beniat untuk meneruskan mata rantai nilai Pancasila, yaitu pertama, keyakinan akan adanya Tuhan dalam setiap gerak langkah. Kedua, kesadaran akan perlunya menghormati nilai kemanusiaan tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Ketiga, kesadaran akan pentingnya persatuan diatas segalanya. Keempat, menanamkan nilai demokrasi dan penghargaan atas keberanekaragaman ide dan pendapat serta kelima,penghargaan terhadap keadilan dan kebenaran.
Metode terbaik dan paling cepat dalam proses penanaman kemballi nilai Pancasila adalah tentunya dengan kemballi menjadi figur “minimal” yang bisa ditiru siswa sebagai manusia Pancasila. Hilangnya figur sebagai guru dan teladan telah menyebabkan pendidikan kehilangan sosok yang layak untuk ditiru dan dijadikan rujukan siswa dalam kehidupannya sehari-hari.
Tidak gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Pancasila bukanlah agama yang dibawa oleh utusan khusus yang dipersiapkan Tuhan untuk membawa ajaran kepada umat manusia. Manusia Pancasila hanyalah manusia biasa yang dilahirkan dalam kegelisahan yang sama akan pencarian pada hakekat kebenaran dan keadilan yang hakiki. Utusan Tuhan membawa ajaran yang pasti dari Tuhannya. Manusia Pancasila hanya manusia yang tengah berproses mencari kesejatian melalui kesalahan dan kealpaannya untuk menjadi lebih baik.
Mulai dari diri sendiri, sekarang dan dari hal-hal kecil.
BIO DATA
NAMA:
IMAM WIBAWA MUKTI,S.Pd
ALAMAT SEKOLAH:
SMP TARUNA BAKTI BANDUNG
Jln. LL.RE. Martadinata 52 Bandung
Telp. (022) 4261468
MEDIA KOMUNIKASI:
HP : 085624098017
e-mail : imamwibawamukti@yahoo.co.id/
Blog : cogitoergowibisum.blogspot.com/
Web Sekolah : http://www.smptarunabakti.com/
PEKERJAAN:
1. Guru IPS SMP Taruna Bakti Bandung
2. Koordinator Program Akselerasi SMP Taruna Bakti
3. Tim Resource Center Keberbakatan Jawa Barat Selengkapnya...

Jadi Anak Berbakat? Why Not?

Sekarang ini banyak sekali diadakan kelas untuk anak berbakat (gifted child) atau biasa disebut kelas akselerasi. Tapi sebenernya, anak berbakat itu kaya apa siy? Apakah anak berbakat itu memang sudah dicetak seperti itu dari sononya? Atau bisa dibikin sendiri? Trus gimana dengan kita yang merasa tidak atau kurang berbakat? Menurut Joseph Renzulli (1978), gifted child itu mencakup tiga hal, IQ, kreativitas dan task commitment. IQ Kita sudah tau apa itu IQ. Standard yang ditetapkan untuk anak berbakat oleh Diknas tahun 2003 adalah 140 . Kalau hasil tes menunjukkan IQ anak mencapai 140 ke atas, maka anak itu otomatis disebut gifted child. Tetapi kemudian muncul pembagian tertentu untuk anak berbakat dilihat dari IQnya. Keberbakatan ringan (IQ 115 - 129), keberbakatan sedang (IQ 130 - 144), keberbakatan tinggi (IQ 145 ke atas). Sekolah menetapkan peraturan sendiri dalam menjaring anak berbakat. Ada kelas yang hanya menerima anak dengan IQ 140 ke atas. Tetapi ada juga yang menerima anak dengan keberbakatan ringan dengan mempertimbangkan hasil tes kreativitas, tes task commitment dan hasil wawancara. Kreativitas Kreativitas bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan hal-hal baru atau kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru dari yang sudah ada. Kreativitas dapat dinilai dari 4 hal, produk, pribadi, proses dan pencetus / penghambat. Suatu produk dikatakan kreatif kalau produk itu baru, berbeda dari yang sudah ada, lebih baik dari yang lain dan tentu saja berguna. Sedangkan pribadi yang kreatif adalah pribadi yang memiliki pola pikir luwes, lancar dan original serta peka terhadap masalah di lingkungan sekitar. Jadi, orang yang kaku, cuek n ga peduli sama lingkungan sekitar, jelas ga bisa dibilang kreatif. Sifat pribadi kreatif yang lain adalah terbuka pada hal-hal baru, punya rasa ingin tau yang besar, ulet, mandiri, berani mengambil resiko, berani tampil beda, percaya diri dan humoris. Loh kok humoris ikut juga? Iya. Orang yang humoris punya banyak pemikiran kreatif, beda dari yang lain dan simpanan kosakata yang banyak. Hebatnya, dia bisa memunculkan ketiga hal itu hanya dalam hitungan detik setelah ia melihat atau mendengar sesuatu. Proses untuk menjadi kreatif meliputi persiapan atau perencanaan, verifikasi atau pembuktian, dan implementasi atau penerapan. Ada juga hal-hal lain yang berfungsi sebagai pencetus kreativitas sekaligus sebagai penghambat. Antara lain bakat, lingkungan, dan kebudayaan masing-masing. Menurut Silvano Arieti, 1976, kebudayaan yang menunjang, memupuk dan memungkinkan perkembangan kreativitas disebut creativogenic. Percaya atau tidak, tanpa mendiskriminasi budaya tertentu, ada loh budaya yang menghambat kreativitas, seperti menilai kalo cewek tuh ngga pantes kuliah di fakultas teknik karena itu jurusan cowok. Padahal, siapa tau kalo dikasih kesempatan, cewek itu bakal jadi teknisinya mobil-mobil yang ikut F1! Ato melarang cowok melakukan hal-hal tertentu yang dianggap hanya boleh dilakukan oleh cewek kaya main boneka karena itu adalah mainan cewek sekaligus pendidikan bagi cewek biar dia terbiasa merawat bayi. Padahal, udah jelas-jelas kalo lahirnya seorang bayi itu adalah hasil kerjasama antara laki-laki dan wanita. Artinya, cowok pun bakal punya bayi nantinya, so, apa salahnya kalo mereka main boneka? Itu justru melatih empati mereka. Task Commitment Task commitment adalah sejauh mana tanggung jawab kita dalam meyelesaikan tugas. Tidak hanya tugas dari sekolah tapi juga tugas di rumah dan di sekitar kita. Task commitment dapat diukur melalui tes tertentu yang hanya boleh dilakukan oleh psikolog. Task commitment ini mencakup tanggung jawab, motivasi, keuletan, kepercayaan diri, memiliki tujuan yang jelas sebelum melakukan sesuatu dan kemandirian. Anak yang memiliki task commitment yang tinggi tidak memerlukan dorongan dari luar untuk menyelesaikan tugasnya. Ia juga menyelesaikannya secara mandiri dan ulet serta memiliki tujuan yang jelas. Dan yang ngga kalah penting, tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Jadi gimana dengan kamu? Apakah kamu cukup pede untuk menyebut dirimu gifted? Well, mungkin IQ yang kamu punya ngga nyampe 140. dan karena makin dewasa seseorang IQnya cenderung konstan, maka meningkatkan IQ di usia sekarang rasanya sulit dan hampir ngga mungkin. Biarlah IQ kita tetep segitu, masih ada dua faktor lain yang bisa mendukung keberbakatan kita, yaitu kreativitas dan task commitment kita. Dua hal ini bisa dilatih kok. Mulailah dari hal sepele seperti tidak melempar tugas yang diberikan mama pada orang lain seperti pembantu atau adik. Kalo ortu nyuruh kita dan kita bisa melakukannya, do it yourself! Kita juga bisa belajar menentukan tujuan yang harus kita capai di akhir semester, merencanakan apa saja yang harus kita lakukan untuk meraih tujuan itu dan patuh pada rencana yang sudah kita buat. Contoh lain, kalo selama ini kita sering menunda menyelesaikan tugas, mulai sekarang jangan ditunda lagi. Itu menunjukkan kita memiliki task commitment yang tinggi. Kalo selama ini kita suka ngintip kerjaan temen, mulai sekarang kerjakan secara mandiri sesuai kemampuan kita. Menjadi gifted child bukan sekedar soal masuk kelas akselerasi, lulus lebih cepat dari anak yang lain atau dibilang berbakat. Lebih dari itu, pikirkan masa depan kamu yang cerah kalau kamu bisa menjadi anak kreatif dan bertanggung jawab. Pikirkan juga masa depan bangsa kita kalau sedari kecil anak-anak sudah dibiasakan untuk menjadi kreatif dan bertanggung jawab. Hal-hal yang keliatannya sepele sebenernya bisa mengubah diri kita secara keseluruhan. Saya Ni'mah setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). Selengkapnya...

MASALAH DALAM SISTEM PENILAIAN (TUGAS/ULANGAN)

Tulisan tentang evaluasi siswa cerdas istimewa akan saya rangkai dalam bahasa yang paling sederhana dan praktis sehingga semua pihak dapat memahami tentang metode evaluasi bagi siswa cerdas istimewa didalam praktek kegiatan belajar mengajar siswa. Hal ini penting karena apabila pemahaman siswa pada karakteristik siswa kurang maka bisa menimbulkan salah pengertian dan pemahaman seolah siswa akselerasi harus mendapatkan nilai yang selalu bagus atau mendapatkan perlakuan istimewa sehingga perlu mendapatkan metode evaluasi yang berbeda dengan kelas reguler.
Yang paling penting saya uraikan sebelum membahas sistem evaluasi bagi siswa cerdas istimewa adalah tentang keberadaan siswa cerdas istimewa tersebut di kelas akselerasi. Siswa akselerasi adalah siswa yang telah melalui tahapan seleksi yang ketat dan melalui observasi yang mendalam dari seluruh guru kelas VII yang telah melakukan observasi sebelum bisa dinyatakan sebagai siswa akseleran dalam rapat pleno seluruh guru (metode seleksi seperti ini dilaksanakan di SMP Taruna Bakti sesuai dengan petunjuk dan pedoman yang dikeluarkan Dinas Pendidikan dan bisa berbeda di sekolah lain namun hakekatnya setiap sekolah pasti melakukan seleksi yang ketat sebalum menentukan seorang anak layak masuk kelas akselerasi). Sehingga saya anggap sebuah kebodohan dan ketololan bila ada guru yang merasa mempunyai masalah dalam evaluasi dengan satu atau lebih siswa dan menyatakan bahwa siswa akseleran ini tidak layak masuk program akselerasi.
Melalui metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, siswa akseleran adalah siswa yang masuk dalam kategori cerdas istimewa dengan IQ diatas 129 (metode Cattel), memiliki komitmen tinggi terhadap tugas dan memiliki kreatifitas diatas rata-rata. Setelah itu kemudian siswa melalui proses observasi dari guru mata pelajaran di kelas VII (dalam masa adaptasi di kelas reguler selama 2 minggu), dari teman, orang tua dan track record indeks raport. Setelah itu lalu ditentukan dalam rapat pleno semua guru untuk memberikan masukan sebelum akhirnya ditetapkan sebagai siswa akseleran.
Lantas alasan apalagi yang bisa guru berikan untuk menyatakan siswa tersebut tidak layak berada di program akselerasi? Masalah yang muncul ditengah perjalanan proses pembelajaran bisa saja terjadi tapi sejatinya tidak akan pernah merubah potensi akademis, kreatifitas dan komitmen mereka yang telah diukur dan ditetapkan secara kolektif!
Masalah yang muncul justru bisa datang dari dua belah pihak, yaitu guru atau orang tua. Maslah lainnya adalah dalam proses adaptasi dan pergaulandi kelas atau disekolah. Semua masalah yang muncul menjadi kewajiban semua pihak untuk bertanggugjawab mencari akar permasalahan dan menentukan alternatif solusi serta mengambil keputusan terbaik bagi siswa yang ersangkutan.
Misalnya ada guru yang menyatakan bahwa ada siswa akseleran yang ketika ulangan mendapatkan nilai kurang dari nilai minimal yang ditetapkan. Pertanyaannya adalah
1. Apakah guru telah memberikan ulangan sesuai dengan metode dan materi yang disampaikan ? kalau sudah…
2. Apakah guru telah memberikan tes remidial sesuai dengan hak siswa sebanyak 2x ? kalau sudah…
3. Telah benarkah metode remidial bagi mereka, misalnya remidial teaching atau remidial test? Kalau sudah…
4. Benarkah sistem evaluasi yang diberikan telah sesuai dengan karakteristik anak cerdas istimewa?
Pertanyaan ini sering penulis lontarkan kepada guru yang memberikan laporan ada siswa yang tidak dapat menyelesaikan atau mencapai target yang ditetapkan sekolah. Karena pertanggungjawaban ini penting mengingat siswa yang dikelola adalah siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata.
Banyak guru yang menganggap bahwa evaluasi bagi siswa akselerasi itu sama dengan sistem evaluasi bagi siswa reguler, padahal dalam penanganan siswa akseleran sistem evaluasi harus bersifat individual, disesuikan dengan karakteristik unik pada tiap individu dan menggunakan metode yang berbeda untuk setiap siswa!
Biasanya guru hanya menggunakan metode ulangan “paper and pen test”. Evaluasi ini hanya mengukur tingkat hapalan dan ingatan siswa terhadap suatu materi, padahal sesuai dengan karakteristik siswa cerdas istimewa mereka memiliki kecenderungan potensi yang berbeda sehingga menutut guru untuk jeli dan kreatif memberikan evaluasi.
Secara teori sistem dan aplikasi metode evaluasi reguler dan akselerasi tidaklah jauh berbeda, namun dalam kenyataannya di dalam kegiatan belajar mengajar guru dituntut untuk dapat memahami metode yang tepat bagi mereka.
Ada seorang guru yang menyatakan sulilt mengumpulkan tugas dari seorang siswa. Guru tersebut mengatakan bahwa siswa mendapatkan tugas sama dengan lainnya berupa produk. Diwaktu yang telah ditentukan ternyata siswa tersebut tidak mengumpulkan dengan alasan tugasnya tidak menarik dan merasa tidak perlu mengumpulkan dan kahirnya guru mengatakan,”terserah kalau kamu tidak mengumpulkan tugas berarti kamu tidak mendapatkan nilai!”. Untuk mengatasi hal tersebut ada guru yang memahami karakter anak cerdas kemudian membuat sebuah perjanjian diatas kertas, ditandatangi siswa, guru dan orang tua yang isinya adalah komitmen siswa untuk melaksanakan dan mengumpulkan tugas dengan berbagai konsekuensi yang jelas bagi siswa maupun guru. Karena mereka cenderung sangat idealis dan tinggi komitmen terhadap tugas yang “berkeadilan” menurut mereka maka siswa tersebut mau tidak mau menyelesaikan tugasnya sesuai dengan perjanjian yangtelah dibuat.
Atau pada kasus lain ketika guru memberikan ulangan harian, guru mendapatkan beberapa siswa yang memperoleh nilai kurang. Remidial 2 x namun tetap nilainya kurang dari yang ditetapkan. Guru tersebut telah merasa menjalankan kewajiban dengan memberikan ulangan dan remidian tanpa melakukan evaluasi tentang metode dan karakteristik anak yang bersangkutan.
Untuk dua kasus diatas, penulis memberikan pertanyaan, “ketika siswa dinilai memiliki potensi yang baik secara ilmiah, lalu mendapatkan nilai tugas dan ulangan yang buruk, adakah pertanyaan pada diri bapak/ibu guru bahwa mungkin ada yang salah dengan metodenya?”. Bukankah mereka harus dilayani secara individual karena memang memiliki karakter yang unik?
Misalnya dalam memberikan tugas, guru lebih baik merancang tugas yang memang disenangi dan disesuaikan dengan minat mereka. Buatlah sebuah pedoman umum yang lebih memberikan kesempatan siswa untuk mengeksplorasi kemampuan secara maksimal! Presentasi, karya tulis ilmiah, pencarian bahan materi yang menantang dan menarik, produk dengan standar kualitas yang mereka buat sendiri dan fleksibilitas dalam waktu pengumpulan. Hal ini bukanlah sebuah peng-istimewa-an bagi siswa akseleran. Tapi sebenarnya contoh diatas juga harusnya diterima oleh semua siswa, namun dalam prakteknya di kelas reguler hal ini sulit dilakukan mengingat jumlah siswa yang banyak dan waktu yang sangat terbatas. Sementara di kelas akselerasi kelas dirancang dengan siswa 20 orang (maksimal) justru untuk menerapkan sebuah sistem evaluasi yang ideal.
Demikian juga dengan ulangan harian atau ulangan semeter. Evaluasi tidak bisa diperlakukan sama antara siswa yang satu dengan yang lain ketika guru menemukan sebuah masalah dalam hasil yang diperoleh. Bila siswa akseleran mendapatkan nilai buruk dalam suatu materi maka guru bisa memberikan evaluasi dengan metode yang berbeda antar siswa. Misalnya empat orang dengan ulangan tulis pilihan ganda, lima orang membuat sebuah materi presentasi, 6 orang ulangan dengan soal essay, 2 orang dengan ulangan lisan dan sisanya dengan membuat sebuah karangan/cerpen/paparan narasi atau bahan pidato yang berhubungan dengan materi tertentu. Dengan demikian metode ulangan dapat disesuaikan dengan minat dan potensi siswa.
Metode inipun pada hakekatnya adalah metode ideal bagi seluruh siswa, jadi bukan monopoli atau keistimewaan bagi siswa akseleran. Namun memang metode ini membutuhkan niat dan kesabaran guru untuk menjalaninya. Selain itu juga sekolah diharapkan memberikan kontribusi yang sesuai dengan kinerja guru akseleran. Terkadang kemalasan guru untuk menjalankan kewajiban ini juga sangat ditentukan oleh seberapa besar sekolah memberikan penghargaan yang pantas bagi guru akseleran.
Ada beberapa karakter “aneh” dari siswa cerdas istimewa yang bisa berpotensi menjadi masalah bagi guru dalam hal tugas dan ulangan. Misalnya ada siswa yang merasa tugas itu tidak menantang, tidak penting atau tidak bermanfaat baginya dalam kehidupan mereka, sehingga berakibat pada keengganan untuk melaksanakan dan menyelesaikannya. Ada juga siswa yang sangat perfeksionis sehingga dalam waktu yang telah ditentukan dia tidak akan mengumpulkan karena itu masih lebih baik daripada mengumpulkan tugas yang tidak sempurna. Ada juga siswa yang melakukan semacam pemberontakan kepada guru karena suatu sebab dan berimbas pada motivasi siswa tersebut di mata pelajaran tertentu.
Tidak jarang ada siswa mengumpulkan tugas jauh dari ketentuan yang ditetapkan guru, hal tersebut belum tentu sebagai kurang pahamnya siswa terhadap tugas namun karena mereka memiliki standar dan imajinasi sendiri sehingga berani untuk merubah standar sesuai dengan bayangan mereka.
Akan banyak hal yang ditemui guru dalam melakukan pendampingan terhadap siswa akseleran. Namun kembali kepada kemampuan guru untuk memahami karakter mereka, menetukan metode yang sesuai dengan mereka dan membuat sistem penilaian yang tepat bagi mereka. Belum lagi guru harus mampu menggali berbagai kemungkinan yang dapat menyebabkan siswa akseleran memiliki masalah dalam proses pembelajarannya.
Bila guru telah melakukan berbagai tahapan diatas dan siswa masih mendapakan nilai yang buruk, maka adalah tugas wali kelas, penanggungjawab program dan BK untuk kemudian mengambil alih permasalahan dan segera menetapkan langkah-langkah penanganan yang harus diambil.
Hal itu akan diuraikan penulis di lain kesempatan karena sebenarnya banyak kasus dan pengalaman yang sangat berharga untuk dibagi kepada semua pihak penyelenggara akselerasi dalam upaya memberikan pelayanan terbaik bagi siswa cerdas istimewa.
BIO DATA
NAMA:
IMAM WIBAWA MUKTI,S.Pd
ALAMAT SEKOLAH:
SMP TARUNA BAKTI BANDUNG
Jln. LL.RE. Martadinata 52 Bandung
Telp. (022) 4261468
MEDIA KOMUNIKASI:
HP : 085624098017
e-mail : http://www.imamwibawamukti@yahoo.co.id/
Blog : http://www.cogitoergowibisum.blogspot.com/
Web Sekolah : http://www.smptarunabakti.com/

Selengkapnya...

KARAKTERISTIK GURU UNTUK SISWA CERDAS ISTIMEWA

Guru yang baik tidak hanya dibutuhkan siswa cerdas istimewa saja, tapi semua siswa disuatu sekolah memerlukan guru yang baik. Guru yang baik adalah guru yang bisa menentukan tujuan dan sasaran belajar yang tepat, membantu pembentukan karakter dan nilai-nilaikepada siswa, memiliki pengalaman belajar dan mengajar, cerdas dan kreatif dalam membuat metode pengajaran dan yang terpenting adalah mampu menjadi contoh dalam pola prilaku sehari-hari.
Namun bagaimanapun siswa cerdas istimewa menuntut kemampuan guru lebih baik karena mereka cenderung memiliki karaktersitik yang harus mampu dipahami guru. Mandel dan Fiscus dalam (dikutip sisk,1987) menyatakan penelitiannya bahwa siswa cerdas istimewa mudah sekalli mengungkapkan reaksi marah, benci atau sebal jika guru menekan mereka.
Berikut karakteristik guru yang penting dikembangkan dalam pendidikan siswa cerdas istimewa, yaitu :
1. Memiliki kompetensi dan minat untuk terus belajar
2. Memiliki kemahiran dalam mengajar
3. Adil dan tidak memihak
4. Kooperatif dan demokratis
5. Fleksibel
6. Memiliki rasa humor yang tinggi dan cerdas
7. Menggunakan teknik penghargaan dan pujian
8. Memiliki minat yang luas
9. Perhatian terhadap masalah siswa
10. Penampilan dan sikap yang menarik
(Creative Teaching of the Gifted,New York,McGraw-Hill.1987)
Dari semua karakteristik yang ada diatas, yang jauh lebih penting dari semua itu adalah pandangan dan anggapan guru terhadap siswa cerdas istimewa itu sendiri. Tidak jarang guru menganggap mereka sebagai siswa yang sangat berpotensi menimbulkan masalah ketimbang siswa reguler lainnya. Sehingga ketika guru masuk ke kelas khusus siswa cerdas istimewa, maka mereka akan memandang siswa dengan sikap negatif dan tidak bersemangat. Namun jika guru memandang mereka sebagai siswa yang memiliki potensi intelektual, semangat yang tinggi dan kreatif maka guru akan cenderung memperlakukan mereka secara positif dan mampu meningkatkan semangat dan motivasi mereka untuk belajar.
Namun sampai sekarang belum ada sebuah standar baku dan alat ukur yang pasti dari pemerintah untuk menentukan apakah seorang guru layak atau tidak mengajar siswa cerdas istimewa. Bahkan penulis sering mendapatkan pertanyaan apakah tidakl ebih baik guru bagi anak cerdas istimewa juga adalah guru yang masuk dalam kategori cerdas istimewa. Walaupun tentunya ini masih sangat sulit dilaksanakan, juga dalam prakteknya terkadang pemahaman dan pengetahuan tentang siswa cerdas istimewa inilah yang terpenting karena guru yang “pintar” belum tentu disukai siswa apabila tidak memiliki karakteristik diatas.
Untuk menanggulangi ini, ada sebuah ungkapan bahwa “untuk menjadi joki yang hebat tidak perlu menjadi kuda terlebih dahulu”. Oleh karena itu maka sekolah dapat secara teratur dan berkesinambungan mengadakan pelatihan internal sekolah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan guru tentang siswa cerdas istimewa dengan materi pokok “merubah paradigma guru terhadap siswa cerdas istimewa”. Pelatihan tersebut dapat dibuktikan dengan pemberian sertifikat bagi guru yang bersangkutan sehingga memiliki bukti fisik sebagai rekomendasi kelayakan guru tersebut dalam mengajar siswa cerdas istimewa.
Jalan lain untuk meningkatkan kualitas guru bagi siswa cerdas istimewa adalah dengan mengikutsertakan guru dalam berbagai pelatihan, seminar dan kegiatan ilmiah lainnya yang membahas tentang anak cerdas istimewa, metode pengajaran maupun berbagai infomrasi lainnya di dunia pendidikan. Hal tersebut akan menambah wawasan guru sehingga akan lebih mudah menerima perubahan dan pembaharuan di sekolah, khususnya dalam penanganan siswa cerdas istimewa. Setelah itu mereka diminta untuk mempresentasikan atau memaparkan hasil kegiatan ilmiah tersebut dalam sebuah forum ilmiah di tingkat sekolah untuk berbagi ilmu yang telah diperolehnya kepada guru-guru yang lalinnya.
J.Maker dalam Curriculum Development for the Gifted.1982, membagi karakteristik guru siswa cerdas istimewa menjadi tiga kelompok, yaitu karakteritik filosofis, profeional dan pribadi.

A. Karakteristik Filosofis
Karakteristik filosofis ini memiliki arti bahwa penunjukkan guru untuk mengajar siswa cerdas istimewa harus berdasarkan atas pandangan dan paradigma guru tersebut terhadap siswa cerdas istimewa. Seorang guru bisa saja memiliki pandangan bahwa dalam pendidikan tidak perlu adanya kelas khusus yang melayani siswa cerdas istimewa karena hal itu akan membuat jurang pemisah antar siswa cerdas istimewa dengan siswa lainnya. Bila pandangan guru tersebut telah jelas demikian maka kepala sekolah dapat mempertimbangkan guru tersebut untuk tidak mengajar di program tersebut, karena apabila dipaksakan maka guru akan mengalami kesulitan dan keengganan dalam mengajar diprogram tersebut.
Terkadang juga banyak guru yang memandang bahwa siswa cerdas istimewa adalah siswa yang mampu berdiri sendiri dan mengejar target atau tujuan pendidikan secara mandiri sehingga pendampingan yang terlalu intens terhadap mereka justru akan menekan potensi mereka.
Untuk mengatasi hal tersebut sekolah perlu terus memberikan pengertian dan pemahaman kepada guru dalam memandang program dan siswa cerdas istimewa sehingg dapat merubah cara pandang guru terhadap eksistensi siswa cerdas istimewa. Juga perlu ada penegasan tentang beberapa mitos seputar siswa cerdas istimewa bahwa mereka sebenarnya tidak akan mampu maksimal berprestasi apabiila tidak mendapatkan pendampingan yang selayaknya. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa ternyata 45% siswa yang masuk kategori cerdas istimewa ternyata menujukkan prestasi siswa dibawah rata-rata jika tidak mendapatkan layanan khusus dalam proses pembelajaran. (Wellborn.1987. dikutik Sisk). Beberapa penyebabnya adalah karena di dalam belajar mereka sering mendapatkan cemoohan. Amarah dan metode yang tidak menarik dari guru yang mengajar mereka.

B. Karakteristik Profesional
Guru yang mengajar siswa cerdas istimewa dapat ditingkatkan dan dikembangkankemampuan profeisonalnya melalui in-service training dengan materi dinamika kelompok, teknik dan strategi pembelajaran maupun tekhnologi, informasi dan komunikasi.
Beberapa karakteristik profesional yang harus dimiliki oleh guru siswa cerdas istimewa diungkapkan D.Sisk mengutip Plowman dalam Creative Teaching of the Gifted,1987, adalah :
Kemampuan assessment (penilaian) siswa berbakat
Pengetahuan tentang sifat dan kebutuhan siswa berbakat
Penggunaan data assessment dalam merencanakan program individual untuk siswa cerdas istimewa
Pengetahuan tentang model kurikulum yang penting untuk pendidikan siswa cerdas istimewa
Kemampuan dalam menggunakan dinamika kelompok
Pengetahuan tentang berbagai program keberbakatan, minat dan komitmen terhadap pembelajaran siswa cerdas istimewa
Pengetahuan tentang aturan dan hukum sehubungan dengan pendidikan siswa cerdas istimewa
Pengetahuan dan kemampuan untuk membimbing anak cerdas istimewa dan orang tua
Pengetahuan tentang kecenderungan dan isu dewasa dalam pendidikan siswa cerdas istimewa

C. Karakteristik pribadi
Beberapa karakteristik pribadi yang harus dimiliki guru bagi siswa cerdas istimewa diantaranya adalah :
1. Motivasi yang tinggi
2. Rasa humor yang cerdas
3. Kesabaran
4. Minat yang luas
5. Keluwesan
Beberapa karakteristik tersebut harus mencakup kemampuan guru untuk dapat memahami dirinya sendiri dan siswa cerdas istimewa sehingga memiliki motivasi yang tinggi ketika mengajar dan mampu memberi rangsangan yang hebat kepada siswa untuk berprestasi tinggi. Hampir semua penelitian mengungkapkan hubungan yang erat antara kemampuan kreatif guru dengan prestasi siswa di sekolah.
Sekolah yang akan atau telah melaksanakan program akselerasi wajib terus meningkatkan kemampuan dan kompetensi guru bagi siswa cerdas istimewa sehingga tujuan awal program akselerasi ini sebagai bentuk layanan pendidikan terhadap siswa berkebutuhan khusus dapat berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan aturan dan harapan bersama.

BIO DATA
NAMA
IMAM WIBAWA MUKTI,S.Pd
ALAMAT SEKOLAH
SMP TARUNA BAKTI BANDUNG
Jln. LL.RE. Martadinata 52 Bandung
Telp. (022) 4261468
MEDIA KOMUNIKASI
HP : 085624098017
e-mail : www.imamwibawamukti@yahoo.co.id
Blog : www.cogitoergowibisum.blogspot.com
Web Sekolah : www.smptarunabakti.com Selengkapnya...

Kamis, 09 Oktober 2008

SMP TARUNA BAKTI SEKOLAH PEMBAURAN?

Salah satu yang membuat saya sangat betah mengajar di SMP Taruna Bakti adalah adanya visi dan misi pembauran dalam proses kegiatan belajar di sekolah. Ini penting sekali!
Di tahun 2003 saya ditugaskan sekolah untuk mengikuti seminar tentang pembauran degan pembicara Andi Malarangeng sebagai pengamat politik, Kapolda Jabar dan dari pemerintahan yang diwakilli oleh Bpk Unang Sunarya di hotel Penghegar.
Yang menarik dari seminar itu adalah masalah proses pembauran yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia keturunan Tiong Hoa (70% dari peserta) yang mengatakan banyak kebijakan pemerintah yang setengah hati atau penerimaan masyarakat yang memandang mereka dengan dengan penuh kecurigaan. Mereka dan pemerintah berdebat tentang mekanisme pembauran yang begitu gencar diprogramkan oleh Negara.
Tapi yang anehnya, pada saat itu saya bicara, mengapa kita berbicara tentang pembauran tapi tidak melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya banyak WNI keturunan yang merasa tidak perlu menyekolahkan anak-anaknya sekolah di sekolah umum yang lebih heterogen dari latar belakang budaya dan asal. Bahkan ada yang mengaku takut untuk menyekolahkan anaknya disekolah negeri atau swasta umum kalau anaknya akan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari guru maupun teman sekolahnya. Padahal proses pembauran bukanlah proses sekali jadi. Harus ada proses pemahaman dan saling pengertian antara berbagai pihak. Dan salah satu caranya adalah melalui pendidikan.
Sekolahlah di SMP Taruna Bakti! Sekolah yang menjadikan pembauran sebagai visi dan misi dalam mengemban tugas pendidikan formal. Bagaimana proses pembauran dan belajar saling menghargai dari berbagai suku bangsa dan agama begitu lekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bagaimana anak dari keturunan dan latar belakang budaya dan ras yang bereda sama-sama mengangkut kursi dan barang daklam kegiatan suatu agama tertentu. Bagaimana siswa saling konflik dan belajar menyelesaikannya tanpa memandang ras dan agama.
Juga di sini kami melayani semua agama yang ada sehingga proses pembelajaran benar-benar memenuhi amanat pendidikan dan hak warga Negara mendapatkan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Tanpa ada paksaan, tanpa diliputi rasa kekhawatiran.
Bagaimana kita bisa mewariskan pembauran dan saling menghormati satu sama lain ketika orang tua justru yang memperbesar rasa perbedaan dengan ketakutan dan memperdalam saling curiga dengan segala prasangka?
Saya juga melihat masih ada sekolah negeri yang notebene adalah sekolah umum lebih menonjolkan nuansa suau agama. Mewajibkan siswa yang berbeda agama untuk mengikuti pelajaran agama lain yang tidak mereka yakini. Ketika yang mayoritas menuntut minoritas untuk meghargainya, maka mayoritas pun dituntut untuk mengayomi.
Guru, siswa, orang tua dan masyarakat wajib menanamkan rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa sesegera mungkin sehingga berbagai prasangka dan konflik dengan latar belakang agama, ras dan suku segera berakhir. Kami guru SMP Taruna Bakti sudah memulai dan ingin memperluas rasa kebersamaan ini dengan seluruh elemen bangsa.
Semoga mimpi kami bukanlah impian. Selengkapnya...

KURIKULUM / SILABUS BERDIFERENSIASI

Ketika berbicara program akselerasi maka yang terbayang dalam benak guru atau masyarakat adalah beratnya beban kurikulum yang akan ditanggung siswa karena waktu belajar yang relatif singkat yaitu 2 tahun.
Ada dua hal yang menyebabkan sangkaan itu berkembang, baik dari pihak guru maupun dari pihak orang tua, yang pertama adalah kurang pahamnya guru atau orangtua tentang potensi yang dimiliki siswa dimana sebenarnya siswa dengan potensi cerdas istimewa memiliki kapasitas atau kemampuan diatas rata-rata teman sebaya mereka, yang kedua adalah belum pahamnya guru atau orang tua tentang kurikulum bagi siswa cerdas istimewa yang biasa disebut dengan kurikulum berdiferensiasi.
Pengembangan kurikulum ini tidak boleh terlepas dari prinsip dan tahapan-tahapan baku yang harus dilakukan dalam menyusun silabus secara umum di program reguler. Dengan demikan tidak ada hal yang menjadikan siswa akselerasi memiliki jurang kompetensi dengan siswa lainnya.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan sedikit membahas yang berhubungan dengan penyusunan silabus atau kurikulum berdiferensiasi.

A. KURIKULUM BERDIFERENSIASI
Sebelum membahas kurikulum berdiferensiasi, alangkah lebih baik kita kembali membaca beberapa hal yang harus dipahami terlebih dahulu.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan bagian dari perencanaan proses pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Kurikulum atau silabus berdiferensiasi adalah kurikulum nasional dan lokal yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem eskalasi dam enrichment yang dapat memacu dan mewadahi secara integrasi pengembangan spiritual, logika, etika dan estetika, kreatif, sistematik, linier dan konvergen.
Dari definisi diatas kita dapat menyimpulkan beberapa karakteristik yang harus dimiliki kurikulum bagi siswa cerdas istimewa, yaitu :
1. Merupakan kurikulum nasional dan lokal.
Kurikulum bagi siswa cerdas istimewa tidak berbeda dengan kurikulum nasional yang dikeluarkanoleh Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum ini menjadi acuan dasar bagi penetapan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa, karena bagaimanapun siswa yang tergabung pada program akselerasi merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang pada akhirnya di masa terakhir pendidikannya harus melalui ujian nasional.
Oleh karena itu maka standar kecakapan atau kompetensi yang dicapai siswa tidak berbeda dengan program reguler dan dapat menjadikan Ujian Nasional sebagai standar evaluasi bagi keberhasilan program ini.
2. Menekankan pada materi esensial sebagai bagian dari proses percepatan waktu belajar
Yang dimaksud dengan materi esensi adalah materi yang harus disampaikan kepada siswa melalui bimbingan khusus atau personal kepada siswa karena dianggap penting bagi siswa. Tingkat intensitas kepentingan materi esensi adalah wewenang guru dalam penetapannya dengan memperhatikan beberapa hal berikut :
a. Merupakan konsep dasar yang harus dimengerti siswa untuk memahami materi selanjutnya.
b.Materi yang sering atau pasti keluar di ujian nasional
c. Materi yang sulit dan memerlukan bimbingan khusus oleh guru
Dengan memperhatikan beberapa faktor diatas, maka dalam penyusunan silabus guru diharapkan melakukan suatu analisis kurikulum yang komprehensif lalu melakukan adaptasi kurikulum disesuaikan dengan minat siswa.
Adapun dengan materi yang dinilai kurang esensi dapat dipelajari siswa melalui penugasan dan pembahasan sepintas karena pada prinsipnya materi non esensi ini merupakan materi yang dapat dibaca dan dipahami siswa tanpa bimbingan khusus dari guru.
3. Melakukan sistem eskalasi dan enrichment
Eskalasi adalah proses adaptasi kurikulum dengan memberikan penekanan pada proses pendalaman suatu materi. Belajar bersama siswa akselerasi, guru dapat mengeksplorasi berbagai hal sampai pada materi tersulit sekalipun. Dengan didukung oleh kemajuan dan fasilitas sumber belajar yang beraneka ragam maka guru dapat memanfaatkan hal tersebut untuk mengupas suatu subjek pembelajaran dengan sangat intens.
Proses pendalaman ini harus berpusat kepada siswa dimana guru hanya melontarkan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa secara intensif dan mendalam. Kemudian guru mencoba mengarahkan dan membimbing siswa untuk memberikan “nilai” dari setiap ilmu yang diperoleh oleh siswa.
Misalnya Pada materi “Asal Mula Kehidupan”, guru dapat mengeksplorasi berbagai ilmu dan teori yang mendukung pendapat awal mula kehidupan. Pada prinsipnya siswa mungkin telah mengetahui beberapa teori yang mereka dapat baik dari buku, majalah atau film yang pernah mereka tonton. Alangkah lebih baik guru mencoba mengeksplorasi pengetahuan siswa dengan memberikan kebebasan yang lebih luas kepada siswa untuk mengemukakan pengetahuannya. Setelahs semua terkumpul dan terungkap maka kemudian guru dapat mencoba mengarahkannya pada kaidah ilmu yang bersifat umum.
Enrichment atau pengayaan adalah bentuk layanan yang dilakukan dengan memperkaya materi melaui kegiatan-kegiatan penelitian atau kegiatan di luar kelas yang bersifat “out of box”, baik dari aspek metode, sumber maupun evaluasi hasil belajar.
Dengan adanya pengayaan ini diharapkan siswa akselerasi memiliki ilmu yang lebih banyak ketimbang siswa lainnya. Misalnya ketika memberikan materi “penyimpangan sosial”, guru dapat membawa siswa berkeliling sekitar sekolah lalu menugaskan siswa untuk melakukan suatu analisa atau pengamatan langsung tentang berbagai tindakan masyarakat yang menurut mereka adalah penyimpangan sosial. Setelah mereka melakukan pengamatan lalu guru dan siswa mendiskusikannya ruang kelas dengan memberikan berbagai landasan teori yang mendukung pendapat mereka.
Pengayaan dapat dilakukan secara horizontal atau vertikal. Yang dimaksud dengan horizontal adalah pengayaan pada pengalaman belajar di tingkat satuan yang sama namun lebih luas sedangkan pengayaan vertikal adalah dengan menambah tingkat kompleksitas suatu materi, misalnya siswa belajar untuk melakukan penelitian sederhana untuk suatu kasus dalam materi. Dimulai dari mengidentifikasi masalah, menentukan hipotesa dan melakukan analisa, survai atau observasi untuk kemudian melakukan penyimpulan dari hasil kegiatan tersebut.
4. Fleksibel
Fleksibilitas ini sangat penting ketika guru berhadapan langsung dengan siswa cerdas istimewa yang memiliki karakter yang sangat unik. Terkadang siswa telah menguasai suatu standar kompetensi tertentu dan menginginkan standar lainnya untuk dipelajari. Apabila guru rigid/kaku dalam menetapkan suatu kompetensi maka tidak mustahil siswa akan merasa bosan dengan materi yang sebenarnya telah mereka kuasai.
Atau sering kali siswa merasa bahwa materi tertentu tidak memiliki relevansi langsung dalam kehidupan mereka, maka siswa akan lebih memilih materi yang dirasakannya dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itulah maka guru harus pandai dan cerdik menyiasati metode dan pengaturan alokasi waktu secara tepat.
Fleksibilitas pada kurikulum berdiferensiasi meliputi beberapa unsur dalam kurikulum, yaitu :
a. Materi
Materi untuk anak cerdas biasanya dapat kita sesuaikan dengan keinginan dan minat siswa. Tentunya guru dapat memilah materi yang akan ditawarkan kepada siswa dan materi mana yang harus diberikan menurut urutan waktu baku.
Materi yang esensi atau materi dasar tentunya harus didahulukan untuk memberikan pemahaman awal untuk materi berikutnya, namun terkadang juga ada materi lepas yang tidak memiliki keterikatan dengan materi lainnya.
Dan materi yang dapat diatur sesuai dengan keinginan siswa adalah materi yang termasuk “materi lepas” atau materi yang berkaitan langsung dengan kehidupan siswa.
Dalam IPS kelas VII semester I misalnya, materi yang seharusnya diberikan adalah geografi, sejarah lalu sosiologi. Namun karena siswa menginginkan materi yang berhubungan langsung dengan kehidupan pertemanan mereka, maka mereka memilih sosiologi. Guru dapat langsung memberikan materi tersebut tanpa harus menerangkan geografi dan sejarah terlebih dahulu, karena ketiga materi tersebut terpisah.
Pada tahap ini, guru dapat mengawali pembelajaran dengan membuat daftar materi yang akan diberikan selama satu semester, kemudian membuat list materi yang diminati siswa, disepakati dan dijelaskan secara rinci kepada siswa tentang gambaran materi yang akan mereka peroleh beserta tugas atau evaluasi yang akan dilakukan untuk setiap materi.
Penawaran materi kepada siswa akan memiliki beberapa konsekuensi, misalnya merevisi atau minimal mencorat-coret Program semester serta merancang tugas dan evaluasi. Namun hal tersebut tidak mejadimasalah karena penyesuaian-penyesuaian pada beberapa bagian administrasi sangat tekhnis sifatnya dan guru memiliki otoritas untuk itu.
b. Indikator
Indikator adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki siswa dalam materi tertentu. Dengana adanya KTSP, guru diberikan kelapangan dan keleluasaan untuk membuat indikator sendiri. Dengan demikian maka untuk proses pembelajaran ini guru dapat menambah inikator penting atau melengkapi indikator yang telah ada.
Penambahan atau perubahan indikator pembelajaran ini akan berdampak pada jenis keluasan dan kedalaman dari materi yang akan diberikan. Setiap sekolah tentunya memiliki visi dan sarana yang berbeda dengan sekolah lain, sehingga dengan fleksibilitas indikator akan membuat guru mampu mengeksplorasi semua media dan metode secara maksimal.
c. Alokasi Waktu
Alokasi waktu sangat penting dalam perumusan kurikulum atau pada silabus pembelajaran di kelas akselerasi. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama waktu yang sangat singkat, kedua dalam proses pembelajaran kita akan sering menemukan proses yang spontan dan bersifat improvisasi atau siswa sangat intens dan tertarik pada satu materi dan membuat mereka meminta kelonggaran waktu dalam mempelajarinya. Salah satu contoh misalnya dalam materi pasar, penulis memberikan tugas kepada siswa untuk langsung melakukan observasi ke pasar secara kelompok dengan mengatur jenis pasar yang akan dikunjungi. Setelah observasi dan presentasi hasilnya, dalam proses pembelajaran, sisa menginginkan observasi ke tempat yang dikunjungi oleh kelompok lainnya. Bagi mereka membayangkan pasar dari penjelasan teman-temannya kurang memuaskan. Hal ini secara langsung akan menambah jam pelajaran untuk materi pasar.
Oleh karena itu adalah sebuah kewajiban, keharusan dan sangat penting bagi guru untuk senantiasa membawa kalender akademik akselerasi, kurikulum atau silabus dalam setiap pembelajaran, karena jika tidak maka guru akan menghadapi persoalan dalam pengaturan waktu.
d. Metode
Metode pembelajaran sangat penting dalam proses pembelajaran di kealas, hal ini sangat terasa pengaruhnya di dalam membangun pemahaman dan motivasi siswa dalam mempelajari sebuah materi. Anak cerdas istimewa memiliki karakteristik yang unik seperti telah dibahas pada materi sebelumnya, seperti yang diungkapkan oleh Letta S Hollingworth,Ph.D
bahwa anak cerdas istimewa memiliki karakter penasaran dengan segala sesuatu, menyukai tantangan, gemar kompleksitas dan memiliki gagasan aneh, liar dan emosional.
Dengan karakteristik yang unik tersebut, guru dituntut untuk terus mengembangkan metode yang cocok dengan setiap materi yang diajarkan. Guru pun dituntut untuk sering melakukan improvisasi dalam hal penngunaan metode pembelajaran,karena siswa terkadang sering melakukan “loncat” pembahasan. Dengan demikian maka seorang guru harus dengan jeli merubah metode dalam jam pelajaran yang sama, bahkan untuk setiap individu yang dibimbing.
Materi metode ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab tersendiri.
B. PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM
Diawal telah disebutkan bahwa pengambangan kurikulum berdiferensiasi harus melalui prinsip dan tahapan yang sama dengan kurikulum nasional.
Berikut adalah beberapa prinsip yang harus dipegang dalam penyusunan kurikulum, khususnya kurikulum untuk anak cerdas istimewa:
1. Berpusat pada potensi, kebutuhan dan kepentingan siswa
2. Beragam dan terpadu
3. Tanggap terhadap kemajuan dan perubahan IPTEK dan seni
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan menyeluruh dan berkesinambungan
5. Belajar sepanjang hayat
Diferensiasi kurikulum juga harus berfokus pada :
1. Tingkat kecepatan belajar dengan tingkat pengulangan yang minimal
2. Penguasaan kurikulum nasional dalam waktu yang singkat
3. Materi lebih abstrak, kompleks dan mendalam
4. Menggunakan keterampilan belajar dan strategi pemecahan masalah
5. Berorientasi kepada peserta didik
6. Belajar berkelanjutan
7. Mandiri
8. Adanya interaksi dengan pakar suatu bidang ilmu
Demikian penjelasan singkat tentang kurikulum berdiferensiasi, semoga uraian ini dapat saya lanjutkan dengan penekanan pada bentuk inovasi pengembangan dan adaptasi kurikulum untuk siswa cerdas istimewa. Uraian ini belum mampu menggambarkan permasalahan dan solusi yang sebenarnya pada tataran praktek namun setikdaknya mampu menjadi wacana yang menjadi bahan masukan dan bahan refleksi untuk dilakukan berbagai perbaikan dan masukan.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Guru dan Koordinator Program Akselerasi SMP Taruna Bakti Bandung
Blog : www.cogitoergowibisum.blogspot.com
Web : www.smptarunabakti.com
e-mail : www.imamwibawamukti@yahoo.co.id Selengkapnya...

Membuat PTK

LANDASAN DASAR KEGIATAN PTK

A. APA ITU PTK?
Mungkin kita pernah mengalami suasana kelas yang ribut, dimana siswa begitu ringannya berbicara satu sama lain dan tidak mengindahkan guru yang sedang berdiri di depan dan menerangkan materi dengan keringat bercucuran? Lalu kita berpikir sebuah metode untuk meredam gangguan tersebut. Ada beberapa tindakan spontan yang bisa dilakukan guru, diantaranya merubah posisi duduk siswa yang ribut ke depan, menegur siswa yang sedang mengobrol, mengganti metode ceramah menjadi metode diskusi atau guru memarahi siswanya dan diakhiri dengan mengusir siswa yang ribut keluar kelas. Dari kejadian tadi, pernahkah kita kemudian melakukan sebuah refleksi mengenai efektifitas dan efisiensi tindakan kita. Dari beberapa tindakan di kelas tadi, tindakan mana yang benar-benar dapat membantu kita untuk meminimalisir keributan di dalam kelas?
Apa yang kita laksanakan tadi merupakan tindakan kelas dan untuk sampai pada tingkat penelitian guru hanya memerlukan sebuah peng-administrasi-an tentang latar belakang tindakan, asumsi/hipotesa, alternatif tindakan, hasil dari tindakan dan bagaimana tindak lanjut kita setelah melakukan tindakan tadi. Beres….!
Menurut Rustam Mundilarto ( Dirjen Dikti Depdiknas.2004) mendefinisikan PTK sebagai :
“ Penelitian yang dilakukan oleh guru dikelasnya sendiri dengan jalan merancang, melaksanakan dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat”
Selama ini guru hanya menilai tingkat keberhasilan KBM hanya dari evaluasi tertulis harian atau semester. Padahal ulangan atau ujian semester hanya mengukur tingkat keberhasilan pencapaian materi dan tidak mengukur tingkat efektifitas metode yang dipergunakan guru. Karena terkadang suatu materi bisa sampai dan dipahami siswa setelah melalui pengorbanan waktu dan tenaga yang sangat banyak sementara ada guru dapat menyampaikan materi yang sama dengan waktu dan tenaga yang lebih sedikit.

B. MENGAPA GURU HARUS MELAKUKAN PTK ?
Kalau kita sedikit merenungkan pekerjaan guru, sebenarnya pekerjaan ini memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan pekerjaan lain. Dalam buku Paradigma Pendidikan Masa Depan, Dr. Zamroni menyebutkan beberapa karakteristik dari kerja guru, yaitu :
1. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang bersifat individualistis non colaboratif
2. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang dilakukan dalam ruang yang terisolir dan menyerap seluruh waktu
3. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang untuk terjadinya kontak akademis antar guru masih sangat rendah
4. Pekerjaan guru tidak pernah mendapatkan umpan balik
5. Pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di ruang kelas.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pekerjaan guru sangat menyita waktu untuk persiapan, pelaksanaan bahkan untuk sekedar melakukan kontak akademis sesama rekan guru sekalipun. Ditambah dengan tidak pernah atau kurangnya guru mendapatkan umpan balik untuk melakukan refleksi tingkat keberhasilan dari metode yang sudah dilaksanakan.
Lantas media apa yang dapat dipergunakan sebagai bentuk pertanggungjawaban guru dalam kegiatannya sebagai pendidik selain sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Karena saat ini, masyarakat memiliki sebuah paradigma baru tentang peran guru yang tidak hanya sebagai penerima pembaharu tetapi juga turut bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya didalam kelas.
PTK sebagai usaha memperbaiki kinerja tentunya bisa saja dilakukan oleh pihak luar yang langsung melakukan pengawasan terhadap kinerja guru seperti rekan guru serumpun, kepala sekolah atau pengawas. Namun PTK memang disediakan untuk guru agar mampu melakukan retrospeksi secara mandiri karena beberapa alasan, diantaranya :
1. Guru memiliki otonomi untuk melakukan penilaian atas kinerjanya sendiri
2. Guru merupakan pihak yang paling memahami karakteristik dari kelas yang diajarnya
3. Ternyata temua tradisional yang berdasarkan dan berlandaskan pada intuisi, pengalaman dan perasaan cukup sukar dilakukan dalam dunia akademis yang menuntut pertanggungjawaban secara ilmiah
4. Sebagai bentuk pemenuhan atas tuntutan perkembangan profesi guru
(Rustam Mundilarto, Dirjen Dikti Depdiknas.2004)
Begitu juga dalam keseharian, guru sering menghadapi beberapa kendala, diantaranya :

1. Guru sering menghadapi masalah dalam Proses Belajar Mengajar
2. Guru sering memiliki pertanyaan tentang hasil Proses Belajar Mengajar
3. Hasil temuan penelitian jarang termanfaatkan secara langsung
4. Penelitian tidak dilakukan oleh guru
5. Guru sering diminta mengembangkan profesionalismenya
6. Salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai siswa adalah melakukan penelitian
Oleh karena itulah maka PTK tidak hanya sebagai sebuah kompetensi yang harus dimiliki guru, tapi juga merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban profesionallisme guru kepada masyarakat.
Dari uraian diatas, maka tujuan dari PTK ini akan bermuara pada peningkatan kualitas kompetensi guru dan perbaikan proses pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh guru sebagai tenaga profesional.

C. APA MANFAATNYA PTK BAGI GURU DAN SISWA ?
Salah satu motivasi siswa untuk belajar lebih giat di mata pelajaran matematika adalah karena siswa sadar, mata pelajaran ini merupakan salah satu mata pelajaran yang di UN kan dan akan sangat mempengaruhi keberhasilannya dalam meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Begitu juga guru, baru akan melaksanakan PTK seandainya memang ada manfaat dari pelaksanakaan PTK ini bagi pekerjaannya dikemudian hari.
Sebenarnya pemerintah telah berusaha mensosialisakan PTK ini sebagai bentuk dan bukti profesionalisme guru, namun dalam tataran prakteknya di tingkat sekolah guru belum secara sadar memahami manfaat PTK dalam profesinya sebagai guru. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang seseorang menjadi guru atau paradigma seseorangmemandang profesi guru. Mungkin dari guru yang ada sekarang yang benar-benar bercita-cita menjadi guru memang sedikit, bahkan bukan tidak mungkin profesi ini merupakan profesi “banting stir” dan alternatif terakhir yang diambil setelah tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan. Hal ini akan mempengaruhi totalitasnya dalam melaksanakan profesi guru. Juga dengan paradigmanya terhadap profesi guru yang masih menganggap profesi ini adalah profesi dewa yang memegang otoritas kebenaran dan kebijaksanaan satu-satunya bagi siswa sehingga membuat guru kemudian tertutup (disadari atau tidak) dari segala bentuk perubahan dan kemajuan. Ini bukan berarti guru tersebut tidak pernah ikut seminar atau pelatihan, namun sudah merasa cukup dengan apa yang telah diraihnya, baik secara pribadi maupun secara institusi.
Sebenarnya, manfaat dari pelaksanaan PTK ini yang jelas adalah melatih kita sebagai guru untuk mampu menulis sebuah karya tulils ilmiah. Pernahkah kita bayangkan betapa sulitnya dahulu kita menulis skripsi sebagai sebuah kompetensi yang harus dimiliki sebelum kita dinyatakan layak menjadi guru? Jangan-jangan trauma pada saat menulis skripsi dahulu juga membuat kita menjadi antipati atau bahkan menghindari keharusan membuat PTK. Tapi disaat kita telah berhasil menyelesaikan skripsi lalu kita lulus dengan memuaskan (atau kategori ‘cukup’…lah…) ada semacam kebanggaan bahwa ternyata kita bisa. Tapi ketika kita ditanya apakah mau kalau kita membuatnya lagi? Kita dengan segera menggelengkan kepala….”ngga…lagi-lagi deh…”.
Adapun manfaat lainnya adalah :
1. Inovasi dalam pembelajaran
2. Pengembangan Kurikulum
3. Peningkatan profesionalisme guru
4. Guru Lebih bersikap terbuka
Dari uraian diatas maka sebenarnya guru bisa mengembangkan potensi dan kemampuannya dalam melakukan rekayasa maupun pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran berdasarkan hasil temuan PTK, bukan berdasarkan perasaan atau perkiraan atau hipotesa yang belum diuji kebenarannya. Dengan demikian maka guru bisa mempertanggungjawabkan kegiatannya di kelas secara profesional. Juga dengan hasil PTK ini akan melatih seorang guru untuk mau menerima apapun hasil temuannya karena hasil penelitian bisa mengindikasikan adanya kekurangan dan kesalahan dalam metode yang diterpkannya selama ini. Namun dengan adanya PTK, guru bisa mencoba kembali merancang suatu metode yang baru dan kembali melakukan penelitian untuk mengukur tingkat keberhasilannya di kelas dan dampak positif yang didapat oleh siswa dalam setiap KBM.
Pemerintah sebenarnya telah memasukkan PTK sebagai salah satu aspek penilaian dalam akreditas dan sertifikasi, bahkan sering juga kita dengar berbagai lomba yang menekankan aspek kemampuan seorang guru dalam menulis sebuah karya ilmiah untuk memberikan rangsangan kepada guru untuk melakukan sebuah Penelitian sederhana disekitar kegiatannya melaksanakan KBM. Sehingga guru dapat merasakan manfaat langsung dari PTK, baik bagi kepentingan kariernya maupun kepentingan profesionalismenya.

D. PRINSIP DAN KARAKTERISTIK PTK
Diatas telah diurai beberapa alasan mengapa seorang guru merasa enggan melakukan PTK, salah satunya adalah bayangan tingkat kerumitan sebuah penelitian dan pelaporan hasilnya. Benarkah PTK sesulit kita ketika akan membuat skripsi atau tesis?
Ada beberapa perbedaan mendasar atau karakteristik antara PTK dengan penelitian akademis lainnya. Beberapa diantara perbedaan tersebut adalah :
Pertama, PTK dilakukan oleh guru yang sebenarnya juga adalah obyek yang diteliti itu sendiri sementara penelitian non PTK dilakukan oleh pihakk luar dari obyek yang diteliti. Jadi sebenarnya PTK adalah usaha guru untuk mengukur dan melakukan tingkat keberhasilan dari tindakannya sendiri. Dengan demikian maka adalah sebuah kesalahan apabila seolah-olah PTK akan menjadi alat monitoring pihak sekolah atau lembaga lainnya untuk mengukur tingkat kinerja guru. Dalam hal ini guru bertindak sebagai subyek penelitian, yaitu orang yang melakukan penelitian dan juga sebagai obyek penelitian itu sendiri. Kerancuan ini memang membuka seorang guru untuk mempermainkan hasil penelitian untuk disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan, namun hal tersebut bisa diminimalisir dengan melibatkan pihak ketiga (siswa, teman sejawat, atau kepala sekolah ) untuk membantu mengawasi dan memeriksa proses dan hasil penelitian.
Kedua, fleksibel dengan ukuran sampel dan populasi. Guru dapat dengan leluasa menentukan jumlah contoh atau jumlah obyek yang akan dilibatkan dalam penelitian sederhana tersebut. Misalnya hanya dengan melibatkan satu rombongan belajar untuk satu penelitian, dengan hanya melibatkan satu angkatan, melibatkan beberapa siswa dari kelas yang berbeda namun masih satu tingkat, beberapa siswa dari kelas dan angkatan yang berbeda atau semua siswa yang ada disekolahtersebut. Tentunya sangat tergantung pada aspek yang ditelitinya. Sementara penelitian PTK sangat ketat dengan aturan keilmuan, sehingga jumlah sampel dan populasi sangat menentukan validitas dari penelitian tersebut.
Ketiga, tidak menggunakan anallisis yang rumit. Statistika yang kita peroleh di saat kuliah sudah lama kita lupakan. Jadi apabila terbayang kita akan akrab lagi dengan statistika di PTK, rasanya tidak benar seluruhnya. Statistika adalah hanya salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam penelitian dan itupun sangat tergantung pada banyak faktor dan unsur dalam penelitian. Dalam PTK, guru dapat membuat analisis sederhana dengan menggunakan deskripsi analisis. Misalnya ketika menggunakan metode ceramah, tingkat pemahaman siswa dalam materi XYZ adalah dengan nilai rata-rata 60, namun setelah dilakukan perubahan metode dengan menggunakan diskusi ternyata ketercapaian pemahaman materi siswa berdasarkan ulangan yang dilakukan bisa mencapai rata-rata 85.
Keempat, guru cukup membuat sebuah hipotesis atau dugaan awal lagsung berupa tindakan, misalnya “ Dengan metode diskusi maka pemahaman siswa untuk materi ‘XYZ’ akan lebih meningkat dibandingkan dengan metode ceramah”.
Kelima demikian baik latar belakang, hipotesa dan hasil penellitian bisa langsung dirasakan pengaruhnya dalam kegiatan belajar mengajar. Hasil penellitian sangat aplikatif karena tidak lagi memerlukan kajian akademis yang rumit.
Dan keenam, yang harus dicermati adalah bahwa hasil penelitian ini sangat terikat oleh ruang dan waktu serta obyek yang diteliti. Jadi apabila penelitian ini menghasilkan sebuah pernyataan yang positif di satu kelas dengan tingkat sampel dan populasi tertentu, maka hasil tersebut belum tentu akan menghasilkan hasil yang sama bila diterapkan di kelas lain atau diwaktu yang lain.
Karakteristik PTK di ungkapkan juga oleh Rustam Mundilarto dari Dirjen Dikti Depdiknas Jakarta yang menyatakan karakteristik PTK diantaranya :
1. Masalah yang akan diteliti adalah yang muncul dalam kegiatan guru sehari-hari
2. Bertujuan untuk memperbaiki kinerja guru yang bersangkutan dalam proses pembelajarannya sendiri
3. Metode utama yang dilakukan adalah melakukan refleksi diri dengan tetap bersandar pada kaidah penelitian
4. Penelitiannya fokus pada kegiatan belajar mengajar, dan
5. Guru selain sebagai pengajar dan obyek penelitian juga bertindak sebagai peneliti atau subyek penelitian
Alasan lain yang biasa dilontarkan guru untuk menolak PTK adalah kekhawatiran adanya gangguan pelaksanaan PTK terhadap KBM. Misalnya materi yang masih terlalu banyak atau waktu yang dikhawatirkan kurang untuk melaksanakan KBM. Biasanya guru telah mengatur alokasi waktu ketika diawal tahun pelajaran membuat program tahunan, semester dan RPP. Dan pada saat itu hampir tidak ada guru yang mengalokasikan waktu khusus untuk pelaksanaan PTK masuk dalam program-program tersebut, sehingga ketika akan melaksanakan PTK, kekhawatiran itu muncul.
Untuk mengatasi beberapa kekhawatiran itulah maka ada beberapa prinsip yang harus dipegang teguh dalam pelaksanaan PTK, yaitu :
1. Tidak mengganggu komitmen mengajar
2. Tidak menuntut waktu yang panjang
3. Metode yang reliabel atau dapat dilaksanakan
4. Berhubungan dengan masalah guru sehari-hari dalam KBM
Artinya, PTK seharusnya tidak menganggu kegiatan dan waktu guru dalam mengajar. Misalnya, dalam dalam mengukur efektifitas metode ulangan lisan dan tulisan terhadap kesiapan siswa menguasai materi, guru dapat melakukan kedua penilaian tersebut untuk materi yang sedang dilaksanakan, bahkan dengan kegiatan ini guru dapat memperoleh dua nilai sekaligus untuk satu kompetensi dasar tanpa memakan waktu yang lama.

D. BEBERAPA KETERBATASAN DALAM PTK
Walalupun PTK merupakan sebuah bentuk karya tulis ilmiah, dimana harus mengacu pada standar baku penulisan ilmiah, tetap saja PTK memiliki sisi keterbatasan. Hal ini dapat terjadi mengingat beberapa hal, misalnya jumlah sampel, metode maupun posisi guru sebagai obyek sekaligus subyek penelitian.
Secara garis besar beberapa kelemahan atau keterbatasan dalam PTK iantaranya ialah :
1. Tingkat validitas yang dinilai masih sangat kurang.
Validitas masih diragukan karena kemampuan guru dalam mengembangkan metode penelitian masih sangat terbatas. Sementara perkembangan metodologi penelitian cukup berkembang sangat pesat dan guru rata-rata masih menggunakan metode deskriptif analisis misalnya dengan alasan lebih mudah dan singkat.
Namun walaupun demikian, selama PTK dilaksanakan berdasarkan pada standar baku atau kaidah penelitian walaupun sederhana maka hasilnya masih lebih baik ditinjau sudut pandang ilmiah ketimbang guru melakukan penilaian berdasarkan metode tradisional yaitu intuisi maupun perasaan dan pengalaman.
2. Hasil penelitian tidak dapat digeneralisir karena sampel yang sangat sedikit.
Hal ini karena penelitian ini hanya mengambil sampel maupun populasi yang sedikit. Misalnya hanya menggunakan satu kelas untuk satu jenis masalah yang diteliti. Kecilnya jumlah sampel yang diteliti akan semakin memperkecil tingkat keakuratan data karena tingkat keterwakilannya sangat rendah.
Pengambilan sampel yang sedikit ini pun bukan tanpa alasan karena memang guru hanya menjadikan kelas yang dikelolanya sebagai obyek penelitian. Hal ini juga disebabkan karena penelitian dilakukan nukan untuk menilai atau menemukan sebuah hasil yang akan dipergunakan secara umum, namun sangat bersifat kasuistis di dalam kelas guru yang bersangkutan. Sehingga pemaksaan penggunaan sampel yang banyak menjadi tidak relevan dengan permasalahan yang dibahas dan hasil yang dijarapkan.
3. Posisi guru yang menjadi obyek dan sekaligus subyek cukup membuat hasil penelitian menjadi bias.
Sebagai bentuk refleksi diri untuk memperbaiki kinerja, maka mau tidakmau guru bertindak sebagai subyek penelitian, artinya orang yang melakukan penelitian, juga sebagai obyek atau sebagai orang yang diteliti. Sementara dalam penelitian pada umumnya, seorang peneliti dituntut untuk bersikap netral pada hasil yang akan ditemukan dari penelitian tersebut.
Dalam proses ini memang selain kompetensi guru harus cukup untuk melakukan penelitian, juga dibutuhkan kebesaran jiwa dari seorang guru untuk mau menerima apapun kemungkinan hasil yang akan diperolehnya melalui penelitian tersebut. Karena apabila guru mempergunakan penellitian ini hanya untuk kepentingannya sendiri dan bersifat sesaat, maka tidak mungkin guru melakukan rekayas hasil penelitian.
Sebagai manusia tentunya guru juga mengharapkan melalui penelitian ini dapat mengambil manfaat, misalnya bagi karier maupun finansial, sehingga akan sangat menentukan pada pola metode, pengumpulan data dan analisis sampai pada penjelasan hasil penellitian.
Kemungkinan terjadinya bias dari proses penelitian ini, maka guru dapat meminta bantuan kepada pihak-pihak yang dinilai dapat memberikan masukan dan kontribusi yang lebih netral dalam melakukan pendataan dan anallisis data hasil penelitian sehingga tingkat subyektifitas peneliti dapat diminimalisir.
Pihak yang dapat dimintai bantuan oleh guru yang melakukan penelitian misalnya adalah siswa, rekan guru serumpun, kepala sekolah atau pengawas. Dengan adanya penilaian oleh pihak yang bersifat netral tersebut maka keraguraguan akan validitas dan obyektifitas penelitian dapat lebih dipertanggungjawabkan.

E. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa PTK adalah sebuah keniscayaan bagi guru sebagai bentuk pertanggungjawaban profesi kepada masyarakat. Adapun berbagai kendala tekhnis yang mungkin akan dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan PTK seharusnya tidak menjadi penghalang guru untuk mencoba melaksanakan kegiatan PTK.
Memang harus ada usaha berkesinambungan dari berbagai pihak untuk membangun kesadaran dan budaya ilmiah dikalangan guru sebagai upaya meningkatkan wawasan dan kompetensi guru didunia pendidikan. Hal ini penting mengingat begitu besarnya tantangan global dunia pendidikan.
Pada tulisan selanjutnya, mungkin kita bisa lebih intens berdiskusi mengenai hal-hal yang bersifat tekhnis dan aplikasi dalam PTK. Atau mungkin saling berbagi pengalaman tentang kendala dan hasil temuan dari PTK sebagai media komunikasi akademis antar guru.

Materi lebih lengkap kunjungi
www.imamwibawamukti@yahoo.co.id Selengkapnya...

MENULIS YUK ?

28 September 2008
PRAKATA
“percaya atai tidak, kita semua adalah penulis,. Disuatu tempat didalam diri kita ada jiwa unik yang berbakat yang mendapatkan kepuasan mendalam karena menceritakan suatu kisah, menerangkan bagaimana melakukan sesuatu, atau sekedar berbagi rasa dan pikiran. Dorongan menulis itu sama besarnya dengan dorongan untuk berbicara; untuk mengkomunikasikan pikiran dan pengalaman kita kepada orang lain; untuk paling tidakmenunjukkan kepada mereka, siapa kita
(bobbi De Porter & Mike Hernacki,1999)
Saya mengajak kalian untuk senang menulis! Sekali lagi, saya mengajak!! Berarti saya pun masih dalam keadaan belum pandai menulis. Nah…berarti juga tulisan ini bukan untuk menggurui tapi justru mengajak belajar bersama bagaimana menulis yang baik. Kata orang, menulis itu mudah, bagi saya, menulis itu sulit. Saking sulitnya, jumlah tulisan saya yang disimpan dalam komputer masih bisa dihitung dengan jari, dan kira-kira berapa jumlah tulisan kalian yang ada sekarang? Tulisan apa saja, kecuali yang berhubungan dengan tugas sekolah lho…..!
Kalau ada buku atau artikel yang mengatakan menulis itu mudah dan benar-benar mudah, tentunya semua orang sudah bisa menjadi penulis dan jumlah buku yang bisa dinikmati pasti menumpuk di toko buku, harganya murah dan semua orang berkesampatan untuk membacanya. Tapi kenyataannya kan lain! Buku yang beredar sekarang banyak lho yang hanya menterjemahkan buku dari luar negeri atau hanya menyimpulkan atau menyadur buku orang lain (seperti beberapa bagian yang akan kita lihat di buku ini). Saking jarangnya penulis, akhirnya penulis yang sering wara-wiri di penerbit ya itu-itu juga. Kemudian biaya yang dikeluarkan untuk honor penulis pun menjadi mahal, buku yang dicetak sedikit, buku menjadi mahal dan akhirnya sedikit sekali orang yang bisa membaca buku berkualitas.
Menulis itu mudah tentunya bagi yang sering menulis, di buku harian misalnya, atau sejak kecil terdidik oleh orang tua untuk biasa menulis atau pernah bekerja yang berhubungan dengan menulis atau pernah mendapatkan pendidikan untuk menulis atau……(berjuta alasan untuk membenarkan bahwa menulis itu sulit).
Tapi bagi kita yang masih atau bahkan belum pernah menulis sedikitpun, wah…memencet keyboard aja keringetan seperti mengangkat barbel kiloan beratnya. Nah…(lagi) karena posisi kita sama, berarti sekarang waktunya kita belajar untuk menulis bersama-sama yuk!
Mengapa harus menulis?
Mungkin muncul pertanyaan dari bapak-ibu-guru, “kenapa harus menulis sih? Khan saya sudah cukup dengan senang membaca…dengan itu saja saya sudah cukup buat nambah ilmu dan pengetahuan lho. Buktinya sekarang saya sudah menjadi…(guru, dosen, pengusaha, murid teladan atau ibu rumah tangga) dan lancar-lancar saja tuh. Lagian apa yang mau ditulis? Nggak ada yang menarik dari hidup saya yang pantas ditulis, kalau pun saya menulis siapa yang mau baca?”
Ya…kalau saya disuruh menjawab pertanyaan itu bisa jadi saya juga tidak tahu. Yang jelas dan saya rasakan langsung dari mencoba untuk menulis adalah adanya perasaan bisa…
Sewaktu SMP, (sekitar tahun 1987-1990) karena teman-teman keranjingan memiliki buku “diary”, saya kemudian tertarik untuk memilikinya juga. Saya masih ingat buku pertama yang dijadikan buku “diary” saya adalah agenda kerja ibu saya yang sangat tebal dan juga tanggalnya telah lewat satu atau dua tahun sebelumnya. Ah…nggak peduli yang penting saya memulainya sejak saya duduk di bangku kelas 3 SMP.
Melalui buku harian itulah semua peristiwa yang saya alami tertulis di “primbon” pribadi. Anehnya, kalau orang lain mungkin mengisinya hanya pada saat sedang ada masalah, saya justru mengisinya tiap malam. Ada atau tidak ada peristiwa istimewa. Saking tidak ada peristiwa yang menarik, akhirnya dalam beberapa hari saya hanya bisa menulis “ pagi berangkat ke sekolah, siang pulang sekolah, malamnya menulis buku ini dan tidur”. Tapi kalau sedang ada peristiwa yang menarik, seperti persahabatan, pertengkeran atau dag-dig-dug nya mendekati perempuan yang disenangi, wah…bisa sampai berlembar-lembar halaman saya tulis. Dan tidak lupa ada photo, potongan tiket, kertas ulangan atau selembar uang yang sobek, saya tempel di buku harian itu.
Buat apa? Pada saat itu saya tidak pernah berpikir untuk apa, tapi yang jelas setelah beberapa waktu kemudian saya membuka halaman demi halaman buku harian itu, maka memori saya tentang peritiwa itu jelas tergambar. Teringat bagaimana marahnya saya (atau cemburu) ketika sahabat saya pulang dan bermain sepakbola dengan orang lain. Atau bagaimana malunya saya ketika hendak mentraktir bayar angkot, ternyata uang kertas 500 rupiah sobek dan hanya tertinggal setengahnya.
Buku harian itu masih ada…dan sempat dibaca sekilas oleh isteri saya, namun Alhamdulillah isteri saya masih bisa menghargai privacy saya dengan tidak membaca seluruhnya. Ketika ditanya kenapa tidak membacanya, dia cukup mengatakan,” kalau saya mencintai kamu, berarti saya juga harus mencintai masa lalu kamu” (cie…cie…cie…)
Mengerti maksud saya ?
Itu yang pertama…
Yang kedua, setelah SMA, saya mulai mengembangkan tulisan di buku harian dengan tema yang lebih luas. Opini tentang masalah politik dan sosial pada saat itu juga kadang-kadang saya tulis, Saya mengecam, mengkritisi, memuji setiap persitiwa yang saya lihat sehari-hari baik dimedia massa atau dalam perjalan pergi dan pulang dari sekolah atau bahkan hanya sampai menuliskan judulnya saja, lalu diam karena marah dan tidak bisa lagi berkomentar. Saat di SMA , saya belajar menulis puisi, cerpen atau gambar karikatur. Pernah saya membacakan puisi dalam buku harian saya di depan kelas sebagai tugas pelajaran sejarah. Tema-nya tentang perjuangan…saya membacanya di depan kelas, setelah selesai, tiba-tiba teman wanita saya berbisik (tidak perlu diperjelas posisinya ya, mengerti sendirilah), “eh…puisi kamu bagus, buatin dong!”. Hhhhhh…
Kuliah? Ah… terlalu panjang kalau diceritakan, tapi yang jelas kemudian saya menjadi penulis amatir dan tulisannya hanya dibaca untuk pribadi. Lalu saya bekerja menjadi guru, diminta menulis buku pelajaran ekonomi oleh perusahaan penerbit baru untuk kelas 1, 2 dan 3. Alhamdulillah lancar dapat honornya…lantas menulis artikel di koran lokal dan diterbitkan sekali, dapat honor pula. Terus mencoba membuat ‘blog’ untuk tulisan-tulisan saya tentang anak cerdas istimewa dan program akselerasi dan “wordpress” untuk memuat tulisan bebas serta puisi-puisi saya. Dapat honor? Ngga…lah…tapi saya kemudian diangkat menjadi koordinator program akselerasi dan sering mendapatkan telepon dari beberapa orang untuk menanyakan lebih lanjut masalah anak berbakat dan cerdas istimewa atau tentang program akselerasi.
Mengerti ?
Itu yang kedua…(wah sudah jam 12 malam. 29 September 2008)
Yang ketiga, pekerjaan saya sebagai guru mewajibkan saya untuk mampu berbicara dengan jelas, tegas dan sistematis. Apalagi saya mengajar mata pelajaran yang masuk dalam kategori “banyak bicara” yaitu Ilmu Pengetahuan Sosial.
Saya pernah mendapatkan teguran dari kepala sekolah pada saat awal mengajar karena ada siswa yang mengeluh kalau saya bicaranya terlalu cepat dan simpang siur. Pada saat itu (kata kepala sekolah) beliau mengatakan kepada orang tua siswa yang mengadu, hal itu disebabkan saya terlalu banyak membaca dan ingin mengutarakan semuanya kepada siswa. Tapi sayang (masih kata kepala sekolah kepada orang tua itu) kemampuan membacanya tidak diikuti dengan kemampuan menulis, akhirnya bicaranya menjadi kacau balau! Nah Lho…ada hubungannya ngga ya….? Trus bagaimana sekarang? Ya mungkin masih begitu-begitu saja, namun yang jelas saya mendapatkan hikmah dari pembicaraan kepala sekolah dengan orang tua tersebut, akhirnya sekarang saya telah berubah. Saya menjadi mengurangi kesenangan membaca….(he…he…he…becanda ketang). Yang benarnya, saya jadi senang menulis.
Mengerti yang saya maksud ?
Itu yang ketiga…
Yang keempat, kelima, keenam, dan seterusnya adalah kepuasan ketika ada yang mengomentari, mengkritisi, menambahkan atau sampai me-wacana-kan tulisan untuk bahan obrolan di sekolah. Kemudian kepuasan itu berubah menjadi sebuah tekad, saya memiliki sesuatu yang bisa dibagi dengan orang lain. Dan mulailah saya menulis “serius sambil iseng” ke arah profesi keguruan. Saya berharap, komentar dari rekan kerja saya yang mengatakan, “Imam…banyak membaca dan menulis tidak bisa membuat kamu kaya” itu tidak benar dan saya ingin membuktikannya (kalau kaya yang dimaksud adalah uang. Karena kaya pengalaman jelas saya sudah memilikinya!!!)
Jadi mengapa saya mengajak kita semua untuk belajar menulis adalah pengalaman saya diatas. Kalau untuk ibu rumah tangga, guru, dosen atau siswa saya tidak tahu ya…mungkin ada yang mau menambahkannya?
“Berapa lamakah kau akan tetap menggantung di sayap orang? Kembangkan sayapmu sendiri dan terbanglah lepas seraya menghirup udara bebas di taman luas” (Dr. Sir M.Iqbal)

Penulis
29 September 2008 Selengkapnya...

Rabu, 08 Oktober 2008

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Sekolah harus menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan KTSP, kalender pendidikan, dan silabus dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi yang ditetapkan dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan yang ditetapkan dengan Permendiknas No. 23 Tahun 2006

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:
Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasar­kan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertangung jawab terhadap pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK ( Pasal 17 Ayat 2)
Perencanan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Pasal 20)

Kajian IPS dikembangkan melalui tiga pendekatan utama, yaitu functional-approach, interdicipliner-approach, dan multidicipliner-approach.
Pendekatan fungsional digunakan apabila materi kajia lebih dominant sebagai kajian dari salah satu disiplin ilmu social, dalam hal ini diciplin-disiplin ilmu social lain berperan sebagai penunjang dalam kajian materi tersebut.
Pendekatan interdisipliner digunakan apabila materi kajian betul-betul menampilkan karakter yang dalam pengkajiannya memerlukan keterpaduan dari sejumlah disiplin ilmu sosial.
Pendekatan multi disipliner digunakan manakala materi kajian memerlukan pendeskripsian yang melibatkan keterpaduan antar/lintas kelompok ilmu, yaitu ilmu alamiah (natural science), dan humaniora.
Materi IPS senantiasa berkenaan dengan fenomena dinamika sosial, budaya, dan ekonomi yan menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat baikk dalam skala kelompok masyarakat, lokal, nasional, regional, dan global.

A. Pengertian Silabus
Silabus disusun berdasarkan Standar Isi, yang di dalamnya berisikan Identitas Mata Pelajaran, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), Materi Pokok/Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, Indikator, Penilaian, Alokasi Waktu, dan Sumber Belajar. Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut.
Kompetensi apa saja yang harus dicapai siswa sesuai dengan yang dirumuskan oleh Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar).
Materi Pokok/Pembelajaran apa saja yang perlu dibahas dan dipelajari peserta didik untuk mencapai Standar Isi.
Kegiatan Pembelajaran apa yang seharusnya diskenariokan oleh guru sehingga peserta didik mampu berinteraksi dengan sumber-sumber belajar.
Indikator apa saja yang harus dirumuskan untuk mengetahui ketercapaian KD dan SK.
Bagaimanakah cara mengetahui ketercapaian kompetensi berdasarkan Indikator sebagai acuan dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai.
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai Standar Isi tertentu.
Sumber Belajar apa yang dapat diberdayakan untuk mencapai Standar Isi tertentu.

B. Prinsip Pengembangan Silabus
Ilmiah
Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertangungjawabkan secara keilmuan.
Relevan
Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik.
Sistematis
Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.
Konsisten
Ada hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian.
Memadai
Cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapain kompetensi dasar.
Aktual dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
Fleksibel
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi variasi peserta didik, pendidikan, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat. Sementara itu, materi ajar ditentukan berdasarkan dan atau memperhatikan kultur daerah masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan peserta didik tidak tercerabut dari lingkungannya.
Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).


C. Tahap-tahap Pengembangan Silabus
1. Perencanaan: Tim yang ditugaskan untuk menyusun silabus terlebih dahulu perlu mengumpulkan informasi dan mempersiapkan kepustakaan atau referensi yang sesuai untuk mengembangkan silabus. Pencarian informasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan perangkat teknologi dan informasi seperti multi media dan internet.
2. Pelaksanaan: Dalam melaksanakan penyusunan silabus, penyusun silabus perlu memahami semua perangkat yang berhubungan dengan penyusunan silabus, seperti Standar Isi yang berhubungan dengan mata pelajaran yang bersangkutan dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
3. Perbaikan: Buram silabus perlu dikaji ulang sebelum digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Pengkajian dapat melibatkan para spesialis kurikulum, ahli mata pelajaran, ahli didaktik-metodik, ahli penilaian, psikolog, guru/instruktur, kepala sekolah, pengawas, staf profesional dinas pendidikan, perwakilan orang tua siswa, dan siswa itu sendiri.
4. Pemantapan: Masukan dari pengkajian ulang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki buram awal. Apabila telah memenuhi kriteria rancangan silabus dapat segera disampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.
5. Penilaian silabus: Penilaian pelaksanaan silabus perlu dilakukan secara berkala dengan mengunakaan model-model penilaian kurikulum.

Silabus memuat sekurang-kurangnya komponen-komponen berikut ini.
1. Identitas Silabus
2. Standar Kompentensi
3. Kompetensi Dasar
4. Materi Pokok/Pembelajaran
5. Kegiatan Pembelajaran
6. Indikator
7. Penilaian
8. Alokasi Waktu
9. Sumber Belajar

GLOSARIUM
Kecakapan hidup (life skill): kemampuan yang diperlukan untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat, misalnya: kemampuan berpikir kompleks, berkomunikasi secara efektif, membangun kerjasama, melaksanakan peran sebagai warganegara yang bertanggung jawab, kesiapan untuk terjun ke dunia kerja.
Kecukupan (adequacy): mempunyai cakupan atau ruang lingkup materi pembelajaran yang memadai untuk menunjang penguasaan Kompetensi Dasar maupun standar kompetensi.
Kompetensi dasar: kemampuan minimal dalam mata pelajaran yang harus dimiliki oleh lulusan; kemampuan minimum yang harus dapat dilakukan atau ditampilkan oleh siswa untuk standar kompetensi tertentu dari suatu mata pelajaran.
Kompetensi lulusan: kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan lu­lusan suatu jenjang pendidikan yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Komunikasi: interaksi atau kontak berbahasa antara pihak satu dengan pihak lain.
Konsistensi (ketaatasasan): keselarasan hubungan antarkomponen dalam silabus (Kompetensi Dasar, materi pembelajaran dan pengalaman belajar).
Kreatif: mampu menghasilkan suatu karya sastra meskipun dalam bentuk sederhana.
Materi pembelajaran: bahan ajar minimal yang harus dipelajari siswa untuk menguasai Kompetensi Dasar.
Mengoperasionalkan: menggunakan atau menerapkan berbagai unit atau sa­tuan lingual dalam kegiatan berbahasa
Pembelajaran berbasis kompetensi: pembelajaran yang mensyaratkan diru­muskannya secara jelas kompetensi yang harus dimiliki atau ditampilkan oleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
Pendekatan apresiatif: upaya menyiasati pembelajaran sastra yang berupa pemahaman, penghayatan, penghargaan, dan jika mungkin penciptaan karya sastra.
Pendekatan hierarkis: strategi pengembangan materi pembelajaran berdasar­kan penjenjangan materi pokok.
Pendekatan prosedural: strategi pengembangan materi pembelajaran berda­sarkan atas urutan penyelesaian suatu tugas pembelajaran.
Pendekatan spiral: strategi pengembangan materi pembelajaran berdasarkan lingkup lingkungan, yaitu dari lingkup lingkungan yang paling dekat de­ngan siswa menuju ke lingkup lingkungan yang lebih jauh.
Pendekatan tematik: strategi pengembangan materi pembelajaran yang bertitik tolak dari sebuah tema.
Pendekatan terjala (webbed): strategi pengembangan pelajaran, dengan meng­gunakan topik dari beberapa mata pelajaran yang relevan sebagai titik sentral, dan hubungan antara tema dengan subtema dapat digambarkan sebagai sebuah jala (webb).
Pengalaman belajar: Menunjukkan aktivitas belajar yang dilakukan siswa melalui interaksi siswa dengan objek atau sumber belajar. Pengalaman belajar dapat dipilih sesuai dengan kompetensinya, dapat diperoleh di dalam kelas dan di luar kelas. Bentuknya dapat berupa kegiatan mendemonstrasikan, mempraktikkan, mensimulasikan, mengadakan eksperimen, menganalisis, mengaplikasikan, menemukan, mengamati, meneliti, menelaah, dll., yang bukan kegiatan interaksi guru-siswa seperti mendengarkan uraian guru, berdiskusi di bawah bimbingan guru, dll.
Performansi: keterampilan dan atau kemampuan dalam menggunakan bahasa secara nyata dalam konteks berbahasa sehingga dapat diamati
Pragmatis: penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan konteks dan situasi atau ruang serta waktu berbahasa
Premis: pernyataan yang disusun dalam rangka untuk menarik kesimpulan ber­sifat deduktif
Ranah afektif: aspek yang berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat pe­nerimaan atau penolakan terhadap suatu objek.
Ranah kognitif: aspek yang berkaitan dengan kemampuan berpikir; kemampuan memperoleh pengetahuan; kemampuan yang berkaitan dengan peme­rolehan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penen­tuan, dan penalaran.
Ranah psikomotor: aspek yang berkaitan dengan kemampuan melakukan pe­kerjaan dengan melibatkan anggota badan; kemampuan yang berkaitan dengan gerak fisik.
Relevansi: keterkaitan
Sastra kontemporer: salah satu jenis karya sastra yang dihasilkan pada saat mutakhir, misalnya puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri
Satuan lingual: satuan yang bersifat kebahasaan seperti halnya fonem, morfem, kata, frase, dan sebagainya, baik dalam bentuk lisan maupun
Silabus: susunan teratur materi pembelajaran mata pelajaran tertentu pada ke­las/semester tertentu.
Standar kompetensi: kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan untuk satu mata pelajaran; kompetensi dalam mata pelajaran tertentu yang harus dimiliki oleh siswa; kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan dalam suatu mata pelajaran.
Strategi pembelajaran: dimaksudkan sebagai bentuk/pola umum kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Strategi pembelajaran dapat dipilih antara kegiatan tatap muka dan non tatap muka (pengalaman belajar).
Tatap muka: Menunjukkan aktivitas belajar yang dilakukan siswa untuk mencapai kompetensi dasar atau materi pembelajaran, yang dilakukan melalui interaksi siswa dengan guru. misalnya: diskusi di bawah bimbingan guru, presentasi, ujian blok, kuis, dan sebagainya.
Tuturan langsung: ucapan atau perkataan seseorang yang disampaikan secara langsung atau secara lisan (bahasa lisan)
Variasi kalimat: jenis-jenis kalimat berdasarkan berbagai sudut pandang, mi­salnya kalimat baku, efektif, rancu, perubahan, dan sebagainya
Wacana: satuan kebahasaan yang mengandung makna atau maksud lengkap yang kedudukannya di atas kalimat, dan bersifat abstrak.
Selengkapnya...