Jumat, 31 Juli 2009

CARA AGAR SISWA MUDAH MENGINGAT?

“Kita dapat menceritakan sesuatu kepada siswa dengan cepat dan siswa akan melupakan apa yang kita ceritakan itu dengan lebih cepat”
Sebagai guru tentunya kita sering menemukan kasus dimana siswa sering melupakan materi yang telah diajarkan atau dibahas di depan kelas. Hal ini menjadi sebuah tantangan besar bagi guru karena hal tersebut berhubungan dengan metode dan cara seorang guru dalam menyampaikan sebuah materi pelajaran. Namun hal ini sering kurang dipahami guru sehingga sering pula guru menekankan kesalahan itu kepada siswa dengan tuduhan kurang memperhatikan, tidak konsentrasi atau tidak serius menyimak pelajaran.
Hal ini tentunya tidak selamanya benar, karena menurut sebuah penelitian yang diungkap dalam buku Active Learning yang disusun oleh Melvin L.Silberman, bahwa pada umumnya guru yang menggunakan metode ceramah berbicara dengan kecepatan 100 hingga 200 kata permenit. Jika siswa benar-benar berkonsentrasi menyimak perkataan guru maka mereka akan mengingat sekitar 50 sampai 100 kata permenit. Bayangkan bila guru terus berbicara selama 45 menit atau lebih? Sementara siswa dapat menyimak materi hanya 70% dari sepuluh menit pertama dan 20% di sepuluh menit terakhir. Jadi siapa yang salah kalau siswa tidak bisa mengingat materi dari gurunya?.
Untuk mengatasi hal tersebut maka guru dituntut untuk mampu merancang sebuah metode pengajaran yang efektif dan efisien. Artinya bagaimana guru bisa meminimalisir dominasi guru di kelas (terutama dalam hal berbicara) dan siswa dapat lebih banyak mengingat dan memahami materi yang diterima dalam satu waktu pelajaran.
Karena peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka idealnya guru harus mampu menggabungkan berbagai gaya belajar siswa, mulai dari yang dominan belajar dengan gaya audio, visual maupun kinestetik. Namun pada kenyataannya guru dihadapkan pada kendala teknis yang membuat gabungan gaya belajar tersebut menjadi sulit diterapkan di kelas. Oleh karena itu guru kembali dituntut untuk mampu menghadirkan suasana belajar yang menyenangkan dan bisa menarik sebanyak mungkin perhatian dan minat siswa.
Berikut ada beberapa metode yang ditawarkan oleh banyak pakar dalam menyiasati kendala diatas, diantaranya adalah dengan :
Siswa diminta untuk mengemukakan kembali informasi dengan kalimat mereka sendiri
Guru mampu memberikan contoh yang dekat dengan kehidupan dan pengalaman mereka sehari-hari
Menerangkan dalam berbagai bentuk informasi (lisan, model, gambar, suara) dan situasi
Mengaitkan suatu materi dengan fakta atau gagasan lain yang tengah berkembang dilingkungan siswa
Menjelaskan dengan berbagai cara (berdiri, bergerak, intonasi dan mimik) atau melalui ceramah, latihan dan diskusi
Membuat lawan atau kebalikan ( sesuatu yang ganjil lebih mudah diingat) dari materi yang diterangkan
Tentunya metode tersebut harus ditunjang dengan suasana belajar yang aktif dan menyenangkan. Dimana guru mampu menghadirkan suasana yang nyaman sehingga siswa mampu mengaktualisasikan dirinya tanpa hambatan dari rasa ketakutan dan kekhawatiran untuk melakukan kesalahan. Dalam merancang suasana yang aktif dan menyenangkan tersebut tentunya ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru, diantaranya :
Tidak semua belajar aktif berarti bersenang-senang dan bermain-main. Guru harus mampu menerangkan tujuan pokok atau indikator yang harus dipahami siswa dalam sebuah prose pembelajaran
Tetap menjaga konsentrasi siswa pada tema atau materi yang sedang dipelajari. Hal ini penting karena dalam membangun suasana belajar yang aktif dan menyenangkan, pertanyaan dan pembahasan siswa cenderung melebar dan mendalam.
Lebih rinci dalam mengatur waktu. Kegiatan yang berpusat pada siswa melahirkan sebuah konsekuensi waktu pembalajaran yang lebih lama sehingga siswa dapat maksimal mengeksplorasi pengetahuan dan pengalaman dalam kegiatan belajar tersebut
Tidak terjebak pada metode baku yang monoton atau menjemukan. Belajar aktif akan sangat tergantung pada kemampuan guru dalam mengakomodasi masukan dan usulan dari siswa tentang cara belajar. Misalnya siswa akanmengusulkan belajar pasar langsung di kantin sekolah atau langsung pergi ke pasar dekat sekolah.
Merangsang siswa untuk mau berkompetensi secara individual maupun kelompok dengan standar yang telah disepakati bersama
Guru berada pada posisi untuk memberikan makna dari setiap materi yang ditemukan siswa. Kurang pengalaman dan pengetahuan siswa secara utuh akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang bias atau menyimpang dan guru wajib membenahi tanpa berarti menyalahkan.
Mempersiapkan metode dan perlengkapan dengan matang, karena kurangnya persiapan justru akan memakan waktu lebih banyak khususnya bila metode tersebut pertama kali dilaksanakan.
Lakukan evaluasi timbal balik dengan menggunakan tanya jawab atau kuisioner dari metode yang telah dilaksanakan sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang masih terjadi dalam metode tersebut.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita sebagai guru dalam mendampingi siswa belajar dan lebih lama mengingat dan memaknai materi.
Imam Wibawa Mukti,S.Pd (Koordinator akselerasi SMP Taruna Bakti).
Selengkapnya...

BERPIKIR HISTORIS....!


(BAGAIMANA MENGEMBANGKAN SIKAP TOLERANSI ANTAR AGAMA DAN MEMAHAMI SEJARAH DALAM KONTEKS KEKINIAN…?)

Ketika pertama kali mengajar IPS terpadu, yang saya khawatirkan adalah bagaimana saya harus mengajar sejarah. Sebuah mata pelajaran yang penuh dengan hapalan dengan deretan kejadian dengan angka-angka yang menunjukkan waktu peritiwa itu terjadi. Lantas apa yang harus saya lakukan menghadapi tanggung jawab ini?
Akhirnya saya mengambil sikap untuk mengajar sejarah dari sudut pandang yang berbeda ! Sejumlah fakta sejarah dan segala legenda atau aksesoris cerita lainnya yang sering membuat sejarah menjadi bias, saya serahkan kepada siswa untuk menghapalkannya. Tugas saya sekarang adalah bagaimana saya mencoba menggali hikmah, makna dan nilai dari setiap peristiwa yang pernah dialami oleh bangsa ini.
Dan sejalan dengan waktu, saya semakin memantapkan diri untuk mengembangkan sebuah misi pribadi yang lebih khusus, yaitu ingin membangun sebuah kesadaran utuh pada siswa siswi untuk saling menghormati hak paling asasi manusia, yaitu AGAMA. Hal ini merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap sikap dari sebagian kecil masyarakat Indonesia yang belum bisa melapangkan dada dengan perbedaan, khususnya agama. Masih ada penganut dari agama-agama yang ada di Indonesia untuk menunjukkan eksistensi melalui simbol, baju, ritual dan jumlah.
Bukan tidak penting simbol, bukan tidak penting jumlah, namun tentunya yang jauh lebih hakiki dari adanya agama adalah terciptanya kehidupan yang damai, harmonis dan seimbang. Sehingga merupakan sebuah kebodohan dan kemunduran apabila kita mengotorinya dengan hal-hal berbau anarkisme, kekerasan, pembunuhan dan darah.

Misi Pertama.....
Misi ini terasa berat ketika pertama kali saya mengajar tentang sejarah perkembangan agama Hindu dan Budha di Indonesia. Banyak sekali siswa yang belum memahami hakekat dari setiap agama sehingga terkesan mempermainkan, melecehkan dan bercanda ketika saya menerangkan tentang Dewa-Dewa agama Hindu. Misalnya sekitar anggapan bahwa Agama Hindu itu Tuhannya banyak, mengapa bentuk Dewa itu aneh, apa itu reinkarnasi, mengapa ada kasta, ngaben dan sebagainya. Pertanyaan itu sebenarnya juga pernah muncul di benak saya ketika masih remaja dan saat itu saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang bijak selain penguatan akan miringnya pandangan kita tentang agama Hindu dan Budha.
Sekarang saya sendiri yang harus menjawab pertanyaan itu! Akhirnya jalan satu-satunya adalah dengan membaca sendiri buku tentang kedua agama tersebut. Dan apa yang saya dapatkan dari kegiatan membaca tersebut? Pencerahan….!
Saya mendapatkan jawaban-jawaban yang selama ini terpendam dalam benak saya dan siswa-siswa saya. Beberapa hal yang saya temukan adalah :
Banyaknya Dewa dalam agama Hindu, Reinkarnasi, Kasta, Kremasi, dan nilai filosofi dari kedua agama tersebut. Terlepas dari uraian yang panjang tentang hal-hal tadi, yang terpenting adalah bagaimana saya menjelaskan kepada siswa tentang bahwa sebenarnya pandangan miring atau anggapan-anggapan yang salah selama ini tidak terlepas dari ketidaktahuan dan ketidakmauan kita untuk mempelajari dan memahami nilai-nilai agama di luar agama kita sendiri.
Itu wajar, jangankan mempelajari agama orang lain, mempelajari agama sendiri saja sering siswa merasa sulit dan enggan dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, minimal tugas guru dan orang tua untuk berperan aktif menyampaikan pentingnya saling memahami dan terus meningkatkan rasa hormat kepada agama lain sebagaimana kita pun ingin dihormati oleh agama lain. Tanamkan bahwa ketakutan, kekhawatiran dan pandangan miring kita terhadap agama lain, tidak lain hanyalah karena ketidaktahuan kita tentang agama orang lain.
Dan yang lebih penting lagi adalah, orang tua dan guru memberikan teladan yang baik dengan melakukan tindakan, mengeluarkan ucapan dan pikiran secara bijak ketika berbicara tentang perbedaan kepercayaan ini. Dan mempraktekan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Janganlah memperuncing kebencian terhadap agama yang berbeda, terlepas dari berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh hampir semua agama yang ada di dunia ini.

Dari tindakan-tindakan kecil tadi, kita berharap dimasa datang akan muncul sebuah masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang tinggi akan pentingnya menghoramti keyakinan orang lain, yang berbeda dari kita. Agama apapun itu….!
Ada sebuah pernyataan menarik dari seorang anak muda beragama Hindu dari Bali yang seharusnya mampu menjadi bahan renungan kita semua, “ janganlah mengaku-ngaku agama kita paling toleran apabila isi dakwahnya justru menebarkan kebencian terhadap agama lain! Jangan merasa diri paling toleran apabila kita masih memandang agama lain sebagai agama yang sesat. Apabila kita ingin melihat tingkat toleransi sebuah agama, maka dengarkan saja apa yang pendakwah mereka katakan tentang sesuatu dari agama orang lain”

Misi Kedua…
Melalui sejarah juga saya memiliki misi untuk kembali menata ulang pemikiran kita tentang sejarah. Sejarah bukanlah cerita masa lal dengan sederet fakta dan peninggalan lainnya. Sejarah lebih bermakna sebagai belajar hidup dari pengalaman untuk melakukan sesuatu lebih baik untuk hari ini dan masa depan.
Kekeliruan pikiran ini tidak lepas dari cara seorang guru mengajar mata pelajaran sejarah itu sendiri. Bisa kita rasakan dahulu, bila belajar sejarah maka yang akan diajarkan dan dievaluasikan tidak pernah lebih dari menghapal kejadian demi kejadian dari aktivitas manusia dahulu kala atau kemarin sore. Deretan waktu dan tokoh dalam kejadian menjadi momok paling menakutkan bagi siswa ketika mendengar kata sejarah. Ditambah lagi dengan metode pengajaran yang satu arah dan monoton. Lengkaplah sudah penderitaan siswa saat belajar sejarah.
Mengenai pemaknaan kembali sejarah menjadi sangat penting ketika kita melihat dan merasakan bahwa pelajaran sejarah yang disampaikan kepada siswa atau masyarakat sangat dipengaruhi sekali oleh pelaku yang berwenang untuk menentukan rentetan sejarah dari sebuah peristiwa. Dalam hal ini pemerintah, sangat berkepentingan dalam mengolah, mengumpulkan dan menentukan peritiwa apa yang layak untuk disampaikan termasuk interpretasi terhadap sejarah itu sendiri.
Contoh paling telanjang adalah bagaimana berkembangnya berbagai versi dari peristiwa G30S-PKI setelah 30 tahun kita mendengar satu versi yag sah menurut pemerintah. Juga peristiwa SuPerSeMar yang masih gelap dan membingungkan masyarakat. Dapat kita bayangkan berapa banyak lagi sejarah yang selama ini disembunyikan, direkayasan dan disampaikan kepada publik sebagai kebohongan hanya untuk mempertahankan kekuasaan. Dan bayangkan pula seandainya PKI berhasil menguasai Indonesia pada tahun 1965, sejarah seperti apalagi yang akan kita terima?
Karena sejarah tidak pernah lepas dari subyektifitasdan kepentingan penyusun sejarah itu sendiri, maka sebagai guru sejarah yang terpenting adalah bukan menghapalkan deretan angka dalam dimensi waktu namun lebih penting adalah kemampuan guru memberikan makna dari setiap peristiwa yang sudah terjadi dalam konteks kekinian.
Tugas guru adalah bagaimana guru bisa mengeksplore pemikiran siswa untuk mengidentifikasi nilai dan makna dari sebuah peritiwa secara bebas dan terbuka dan kemudian guru membuka perspektif siswa dengan mencoba menganalisis secara sederhana bersama siswa baik dengan hanya berlandasakan logika mereka, data dan fakta yang mereka kumpulkan kemudian didiskusikan secara mendalam di kelas. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan sikap kritis siswa terhadap setiap peristiwa yang mereka lalui.
Tidak sulit kok....! Jangan gambarkan kita seperti diskusinya para pakar sejarah di dunia kampus perguruan tinggi, tapi ciptakan saja ruang akademis terbuka di kelas masing-masing secara sederhana. Justru yang tersulit adalah merubah kebiasaan guru ketika mengajar sejarah, dari kebiasaan monolog, dominan dan sentralistis menjadi multilog, kesetaraan dan desentralisasi pengetahuan akan kebenaran antara guru dengan siswa.
Bukan saatnya lagi sejarah menjadi pelajaran yang menakutkan karena menjenuhkan. Sekarang saatnya!
Bandung, 3 Juni 2009.
Selengkapnya...

Kamis, 30 Juli 2009

PROFESIONALISME GURU, SIAPA YANG PUNYA ?

Oleh : Imam Wibawa Mukti,S.Pd*
(Diterbitkan Pada Harian Umum Galamedia, 3 Juli 2009)
Kalau kita berbicara tentang profesionalisme guru, ada dua hal menarik yang ingin penulis paparkan disini sebagai wacana yang semoga dapat menambah wawasan dan masukan bagi semua unsur yang terlibat dalam pendidikan formal dan semoga dapat menjadi bahan evaluasi bagi guru sendiri.
Pertama adalah adanya perbedaan penekanan dan tuntutan ketika berbicara profesioanlisme antara profesi guru dengan profesi lainnya. Profesi selain guru, seperti pengacara dan dokter ketika berbicara masalah profesionalisme, maka yang membicarakan masalah itu adalah kalangan mereka sendiri sebagai pelaku. Karena kalangan mereka sendiri yang berbicara, maka segala hal yang mereka ungkapkan, baik itu tugas, wewenang maupun etika profesi sangat lugas dan menyentuh kepentingan mereka secara praktis dilapangan. Dengan kemampuan dan daya tawar mereka yang tinggi di masyarakat maka ketika berbicara profesionalisme, yang muncul adalah nuansa hak. Misalnya mereka akan berkata, “karena kami profesional, maka dalam bertugas kami berhak untuk…”. Dengan demikian maka posisi mereka menjadi sangat diperhitungkan dalam menentukan nasib mereka dan profesinya.
Namun ketika berbicara profesionalisme guru, maka yang banyak bicara adalah justru kalangan diluar guru itu sendiri, misalnya masyarakat, orang tua ataupun pemerintah. Kondisi ini menunjukkan bahwa posisi tawar guru dimasyarakat masih sangat rendah karena ketika pihak luar bicara masalah profesionalisme guru maka yang muncul kepermukaan adalah nuansa kewajiban. Mereka akan berkata, “ guru harus profesional! maka guru harus……..”. Dan dampak nyata dari situasi seperti ini adalah ketika terjadi suatu kesalahan dalam proses maupun hasil belajar maka yang disudutkan adalah guru itu sendiri, baik dibidang hasil ujian maupun moral atau etika peserta didik.
Kedua adalah, profesionalisme guru dapat berjalan dengan baik apabila dilaksanakan oleh dua pihak, yaitu guru dan pihak lain yang terlibat dalam dunia pendidikan. Ibarat tepuk tangan, maka akan mengeluarkan bunyi yang baik apabila kedua tangan kita kompak bertemu dalam posisi yang baik, artinya guru akan profesional apabila didukung oleh semua pihak baik dari aspek materil maupun moril. Apabila usaha guru untuk menjadi lebih baik tidak didukung oleh pihak lain atau dukungan pihak lain tidak dimanfaatkan dengan tepa oleh guru untuk menjadi lebih baik, maka profesionalisme guru hanyalah angan belaka.
Dari kedua paparan tadi, maka sudah saatnya guru mulai merumuskan secara tepat standar profesionalisme guru secara mandiri tanpa menunggu pihak lain yang menentukannya. Karena dengan demikian maka setiap butir kesepakatan tentang hal –hal yang berkaitan dengan profesi guru, akan sangat menyentuh kepentingan guru dan peserta didik secara kongkret dilapangan sehingga akan mudah diaplikasikan dalam setiap proses belajar mengajar. Dengan standar dan indikator yang mandiri, seragam dan tepat maka akan muncul kesadaran dari setiap guru untuk menilai kemampuan dan pengetahuannya dalam menjalankan profesinya dan juga akan menimbulkan kesadaran bahwa profesi guru bukanlah profesi kelas dua dan hanya sampingan sambil menunggu pekerjaan lain yang lebih baik. Profesionalisme adalah totalitas pengabdian terhadap pekerjaan dengan kesanggupan menanggung semua konsekuensi dari pekerjaan tersebut. Dan guru adalah profesi yang sangat agung sehingga untuk itu sangat memerlukan kemampuan dan pengabdian yang total pula dari setiap pelakunya.
Untuk meningkatkan profesionalisme guru, harus ada kesinambungan dan sinergi yang sangat tinggi antara guru dan berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan dunia pendidikan.
Sambil menunggu proses penyadaran dan kesadaran masyarakat maupun pemerintah untuk mendorong peningkatan profesionalisme guru melalui berbagai kebijakan yang berpihak kepada guru, kita sebagai guru pun wajib terus berusaha untuk meningkatkan kualitas secara mandiri pula. Tak ada pihak yang patut disalahkan atas kurangnya perhatian dan penghargaan pihak lain terhadap profesi guru selain kita sendiri sebagai guru.
Sudah saatnya kita berhenti mengeluh dengan keadaan seperti sekarang dan mulailah membangun kompetensi pribadi dengan berbagai usaha. Tidak ada alasan kita untuk berhenti membangun dan membangkitkan semangat profesi untuk mengabdi. Materi atau fasilitas bukanlah alasan utama kita untuk berjuang meningkatkan kemampuan, karena Tuhan telah memberikan kita berjuta jalan atau alternatif untuk terus menjadi lebih baik.
Dan apabila kita mampu melaksanakan profesi kita dengan baik, maka masyarakat dan pemerintah dengan sendirinya akan memperhitungkan dan memperhatikan segala keperluan dan kepentingan kita. Jadikan setiap kesempatan, seminar, lokakarya, In House Training dan pelatihan lainnya sebagai bahan belajar dan menambah wawasan. Semoga Tuhan selalu bersama kita. Amin.

* Penulis adalah guru SMP Taruna Bakti Jalan Martadinata 52 Bandung.
Selengkapnya...

MENCINTAI PROFESI GURU DENGAN SEPENUH HATI


<<
Diawal kuliah, penulis merasa tidak yakin telah mengambil Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di salah satu universitas swasta di kota Bandung. Alasannya, selain memang bukan cita-cita dari kecil juga masih terbayang profesi guru yang menjadi profesi kelas dua, gaji yang kecil dengan berbagai pungutan yang besar, masa depan yang suram dan kehidupan serba apa adanya. Belum lagi tanggung jawab sebagai penjaga moral, etika, nilai agama dan dituntut menjadi teladan tidak hanya di depan siswa tapi juga di masyarakat pada umumnya.
Tapi apa yang terjadi kemudian, seiring waktu dan setelah mengenal ilmu serfta profesi guru di pertengahan semester perkuliahan, sedikit demi sedikit kepercayaan diri ini muncul. Berbagai buku yang dibaca turut membuka wawasan dan menimbulkan tantangan tersendiri bagi “pertarungan” di masa depan. Ditambah keyakinan pribadi tentang masa depan pendidikan yang cerah. Hal ini menjadi keyakinan saya, pada suatu saat, masyarakat dan negara akan menyadari bahwa pendidikan adalah pilar terpenting dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.
Sekarang penulis telah menjadi guru di sekolah swasta di kota Bandung. Tidak terasa telah memasuki tahun ke-sepuluh. Ah…telah lebih dari sembilan angkatan tahun pelajaran dilepas dan sedikit memberikan wawasan dan pengalaman kepada siswa untuk mampu menempuh tantangan lebih lanjut. Walaupun belum seberapa dibandingkan dengan guru-guru lain yang telah puluhan tahun melintang di dunia pendidikan, mungkin penulis belum ada apa-apanya. Tapi perasaan bahagia dan suka cita senantiasa mengisi relung hati tatkala tahun demi tahun kami korps guru berhasil melepas siswa dengan hasil maksimal. Pantas saja banyak orang bilang (siswa, orang tua siswa dan rekan sebaya) yang mengetakan, “guru mah awet muda dan selalu kelihatan tenang” atau “pak, saya sekarang sudah kuliah dan sebentar lagi lulus jadi dokter, tapi bapak mah keliatan ngga berubah, apa rahasianya pak?”. Mungkin ini pula perasaan yang dirasakan oleh guru-guru penulis yang pernah temui dan mereka masih sangat terlihat bahagia di masa pensiunnya.
Belum lagi berbagai kebijakan pemerintah yang sedikit demi sedikit mulai memperhatikan dunia pendidikan dan guru pada khususnya serta masyarakat yang menaruh ekspektasi yang sangat besar pada dunia pendidikan untuk terus menambah profesionalisme guru demi melahirkan generasi mendatang yang lebih baik, setelah “berbagai usaha dinilai telah gagal” menjadikan Indonesia lebih baik.
Sekarang, apa lagi hambatan bagi kita sebagai guru untuk menjadi lebih baik dan terus meningkatkan layanan terbaik bagi calon-calon pemimpin bangsa ini ? sudah saatnya sekolah berhenti menjadikan institusi pendidikan sebagai mesin penyedot uang dengan 1001 alasan. Saatnya guru menghentikan siswa menjadi obyek pendidikan tanpa dihormati hak-haknya sebagai manusia yang utuh dan unik. Sudah saatnya, guru mencintai profesi dengan sepenuh hati dan terus memperbaiki diri demi pendidikan bangsa yang lebih baik.
Mungkin banyak guru yang sudah mengenal “Zero Mind Process” (ESQ Leadership Training), bahwa ketika hati kita mengosongkan hati dari berbagai ketakutan, kekhawatiran, kekecewaan, penyakit hati dan berbagai tuntutan yang menekan perasaan, pada saat itu hanya “Ikhlas” yang menggelembung dalam hati maka yang ada dalam otak, perasaan dan kalbu hanyalah mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apa dampaknya pada proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru? Semangat, kepedulian dan pengabdian tulus sepenuh jiwa raga pada sekolah, siswa, masyarakat dan bangsa. Tidak ada lagi keluh kesah ! Tidak ada lagi penyesalan karena kita bergelut dengan anak manusia yang haus akan ilmu dan pendidikan.
Tanpa menghapuskan perjuangan guru untuk terus memperjuangkan hak dan menuntut sistem yang lebih baik di dunia pendidikan, tapi selayaknya semua perjuangan itu tidak menganggu kegiatan proses pembelajaran. Selayaknya, semua tuntutan tidak menjadikan hambatan kita dalam mengajar. Tahun ajaran baru telah menjelang dan siswa baru berharap mereka akan menemukan butir-butir kebijakan diri mereka melalui proses pendampingan guru yang bijak dan ikhlas.
Profesi dengan landasan cinta akan melahirkan roman muka, bahasa tubuh dan pikiran yang senantiasa dirasakan oleh siswa sebagai energi tanpa batas untuk mengeksplorasi kehidupan ini melalui belajar dengan senang hati. Teguran, marah, sanjungan dan hukuman akan sampai kepada siswa dalam koridor cinta kasih alksana kasih Tuhan ketika membimbing Adam mengenal nama-nama alam raya.
Semoga tulisan ini mampu menjadi suluh bagi percikan semangat untuk mencintai profesi guru dengan sepenuh hati.


Bandung, 21 Juni 2008
Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Guru serta Koordinator Program Akselerasi SMP Taruna Bakti dan
Sekretaris Resource Center Keberbakatan Jawa Barat
Jln. LL.RE Martadinata 52 Bandung (022) 4261468
085624098017
Selengkapnya...

MENGHADIRKAN SUASANA DEMOKRATIS DI KELAS

Oleh : Imam Wibawa Mukti,S.Pd*

Tulisan ini mungkin jauh dari sebuah karya tulis ilmiah, namun saya ingin berbagi pengalaman tentang proses belajar mengajar yang demokratis di kelas. Tulisan ini ingin sedikit merubah paradigma semua elemen yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar, khususnya guru sebagai “panglima: di dalam kelas.
Kata “panglima” yang saya maksud adalah, selama ini guru sering menganggap bahwa dirinya adalah subyek dari sebuah proses pembelajaran, sementara siswa adalah tak lebih dari sekedar obyek yang harus menerima setiap tahapan pembelajaran tanpa menyadarkan arti dirinya sebagai manusia yang utuh, yang mempunyai kebutuhan dan pengalaman dalam setiap tahap kehidupannya.
Demokratis yang dimaksud dalam kegiatan belajar di kelas adalah bagaimana kita, sebagai guru mampu membangun suatu suasana yang berlandasakan bahwa, belajar adalah dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa. Suasana seperti ini sangat diperlukan agar siswa menyadari dan mengetahui untuk apa dirinya belajar, apa manfaatnya bagi mereka sehingga pada akhirnya mereka dapat menemukan materi apa yang penting bagi mereka dan apa manfaatnya dalam kehidupan merke asekarang dan masa yang akan datang.
Suasana demokratis di kelas dapat dibangun melalui dua pilar, yang pertama adalah merubah paradigma mengajar guru dari sentralistis menjadi desentralistis wewenang belajar dari guru kepada siswa. Paradigma ini akan membuka pikiran guru untuk mau menerima kebenaran sekecil apapun dari siswa. Siswa sebagai manusia yang mempunyai emosi dan perasaan akan terus berfikir dan mencari korelasi dari setiap materi yang dia dapat dengan kehidupannya sehari-hari, yang sangat mungkin materi yang diajarkan guru berbeda dengan nilai-nilai kehidupan yang dia peroleh dari keluarga dan masyarakat, sehingga setiap proses akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis kritis dan membutuhkan jaaban praktis dari guru untuk memuaskan penasaran mereka.
Pilar yang kedua adalah membiasakan dan mengajarkan kepada siswa apa dan bagaimana yang dimaksud dengan demokratis. Tingkat kekritisan siswa pada suatu materi sangat tergantung pada kemampuan guru mengatur irama pembelajaran menjadi sangat memungkinkan mereka untuk mengemukakan pendapat secara terbuka dan transparan tanpa dihantui ketakutan. Suasana yang kondusif tersebut akan merangsang siswa untuk mempertanyakan segala hal, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang agak “aneh” untuk ukuran kita sebagai guru. Terkadang kita terlalu sibuk dengan target kurikulum sehingga pertanyaan yang “aneh” tersebut selalu diabaikan atau mungkin kita tidak mau terlihat tidak menguasai materi sehingga membunuh hasrat mereka untuk bertanya, dengan dalih “menyimpang dari materi”.
Suasana demokratis yang kita bangun, pada akhirnya akan membawa dampak dimana sangat terkesan guru adalah terdakwa di dalam pengadilan yang dihujani berbagai macam pertanyaan dan sanggahan dari siswa. Pada saat seperti itu, kita dituntut untuk mau dan mampu belajar dan berdebat secara terbuka, logis dan diplomatis, karena sebagai manusia guru pun tentunya tak mungkin tahu segalanya.
Kekhawatiran bahwa siswa tidak menghormati guru sebagai dampak dari proses belajar mengajar yang demokratis, akan hilang seiring dengan tingkat kedewasaan siswa melalui proses belajar yang terus menerus. Cara bicara, berpendapat, menerima sanggahan, dengan sendirinya akan mengkristal pada diri siswa begitu merkea berhadapan dengan suasana yang terbuka dan saling menghargai satu sama lainnya.
Tulisan ini adalah sebuah wacana yang masih dapat diperdebatkan, tapi setidaknya kita sebagai guru dapat memberikan sedikit pengalaman kepada siswa tentang kehidupan di masyarakat yang sangat beraneka ragam. Metode atau cara mengatur suasana tersebut setiap guru pasti mempunyai trik tersendiri, tapi yang penting adalah kemauan untuk memulainya sekarang.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Penulis adalah guru SMP Taruna Bakti Bandung. Jl. LLRE. Martadinata No.52 Bandung dan pengurus Asosiasi Sekolah Penyelenggara Akselerasi Jawa Barat.
Selengkapnya...

Senin, 27 Juli 2009

PENINGKATAN LAYANAN PENDIDIKAN MELALUI PENERAPAN E-LEARNING PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU DI SMP TARUNA BAKTI BANDUNG

ABSTRAKSI
“Lebih Cepat Lebih Baik karena tak ada rotan, akar pun jadi”

Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis merasa di tahun 2009 ini adalah tahun yang paling tepat untuk mempelopori pelaksanaan pembelajaran melalui e-learning. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, pertama karena adanya desakan kebutuhan sumber informasi yang paling “up to date” dalam proses pembelajaran IPS Terpadu. Kedua, karena adanya desakan kebutuhan akibat mobilitas dan aktivitas siswa maupun guru yang sangat tinggi. Ketiga, desakan orang tua yang khawatir dengan perkembangan teknologi informasi khususnya internet yang telah masuk dalam hampir semua kegiatan siswa. Keempat, fasilitas dan sarana yang ada di SMP Taruna Bakti masih belum maksimal dimanfaatkan oleh guru untuk menunjang pembelajaran karena selama ini fasilitas multimedia yang ada disetiap kelas baru sebatas dipakai untuk menayangkan film, power point dan presentasi siswa. Kelima, kemampuan dan fasilitas yang dimiliki siswa serta guru sangat mendukung bisa terlaksananya kegiatan pembelajaran melalui media e-learning.
Untuk kegiatan tersebut, penulis melakukan beberapa persiapan dan aktifitas yang dapat menunjang kegiatan e-learning. Persiapan meliputi pengajuan pembuatan website sekolah, pemasangan hotspot di lingkungan SMP Taruna Bakti, terhubungnya semua ruang (15 kelas + 4 laboratorium + ruang guru + perpustakaan) untuk akses internet. Persiapan lainnya adalah pembuatan modul dan tata laksana pembelajaran e-learning. Untuk pelaksanaannya, guru harus membuat beberapa program yang menunjang kegiatan belajar mengajar melalui internet.
Setelah sekian lama berjalan, media e-learning telah memberikan dampak positif baik bagi guru maupun bagi siswa. Hal ini sudah dipraktekan dengan semakin mudahnya penulis melakukan kegiatan pembelajaran secara langsung walaupun penulis dan siswa tidak berada di tempat yang sama, pengumpulan tugas dan remidial yang lebih praktis melalui email, dan semakin banyaknya situs yang dipergunakan siswa atau guru sebagai sumber pembelajaran alternatif.

A. PENDAHULUAN
Tahun 2009 SMP Taruna Bakti mulai mencanangkan e-learning. Sebuah metode pembelajaran yang memanfaatkan kemajuan tekhnologi informasi dan komunikasi yang sedang gencar dilaksanakan dan di fasilitasi oleh berbagai perusahaan atau lembaga pendidikan saat ini.
Pencanangan tahun 2009 sebagai tahun e-learning ini tidak terlepas dari kesadaran Yayasan Taruna Bakti dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat. Perkembangan iptek ini menempatkan guru, sekolah dan lembaga pendidikan yang ada sekarang tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pembelajaran, sehingga menjadi suatu keharusan bagi sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menyesuaikan diri dengan perkembangan di masyarakat.
Untuk itu, maka dua tahun sebelumnya, Yayasan dan SMP Taruna Bakti telah mempersiapkan berbagai fasilitas dan sarana untuk mendukung terlaksananya proses e-learning ini, diantaranya perangkat computer lengkap di setiap kelas, adanya infokus dan layar untuk menayangkan layar computer di kelas, hotspot yang kemampuannya terus ditingkatkan dan dapat diakses dari ruang guru atau kelas, dan telah selesainya pembuatan Website SMP Taruna Bakti sebagai pusat dan media komunikasi antara SMP Taruna Bakti dengan masyarakat melalui internet.
Berdasarkan perkembangan di lingkungan sekolah, maka penulis menganggap tahun 2009 adalah saat yang tepat untuk mempelopori proses pembelajaran dengan metode e-learning. Adapun harapan dan tujuan dari dimulainya pembelajaran e-learning ini adalah untuk memperkenalkan metode pembelajaran ini kepada siswa dan guru di lingkungan SMP Taruna Bakti. Selain itu juga, secara bertahap melakukan identifikasi permasalahan dari berbagai program, materi dan proses yang dialami selama pembelajaran. Dari hasil identifikasi tersebut diharapkan menjadi bahan masukan dan kajian bagi berbagai pihak dalam memperlancar kegiatan belajar mengajar dengan media e-learning.
Tentunya, dalam pelaksanaannya di SMP Taruna Bakti untuk saat ini, penulis masih menghadapi berbagai kendala, khususnya seputar penggunaan software dan berbagai program untuk memperlancar kegiatan tersebut. Namun semua itu bukanlah halangan bagi penulis untuk terus mencoba mempergunakan fasilitas yang ada secara mandiri. Beberapa yang secara mandiri penulis lakukan untuk mempraktekan e-learning antara lain dengan membuat fasilitas chat di Yahoo messenger, mempergunakan fasilitas blog untuk menyimpan materi pembelajaran, mencari situs yang bisa menjadi sumber belajar,

B. METODOLOGI
Metodologi penulisan dilakukan melalui metode Telaah Pustaka, dimana penulis mencoba mencari landasan teori maupun pengalaman lembaga lain yang melakukan e-learning, khususnya dibidang pendidikan. Sumber pustaka diperoleh dari internet, buku dan majalah. Setelah mendapatkan beberapa materi yang diharapkan maka penulis menyesuaikannya dengan pengalaman yang dialami selama pelaksanaan e-learning kemudian merangkum dan menjadikannya sebagai sebuah kesimpulan baru

C. PEMBAHASAN
1. Selintas tentang e-learning di SMP Taruna Bakti
paling penting untuk diperhatikan oleh guru dalam melaksanakan program pembelajaran e-learning adalah bagaimana menyusun, merencanakan dan melaksanakan pembelajaran e-learning agar dapat membawa lebih banyak dampak positif, baik dari segi kualitas proses pembelajaran maupun dari segi kualitas hasil pembelajaran.
Untuk itu maka kita harus terlebih dahulu memahami arti dari e-learning itu sendiri. Banyak teori yang mencoba untuk menguraikan definisi e-learning, salah satu diantaranya adalah dikemukakan oleh Allan J. Henderson ,(2003) ”e-learning adalah pembelajaran jarak jauh yang menggunakan teknologi komputer, atau biasanya disebut Internet”. Pengertian e-learning juga dikemukakan oleh Jaya Kumar.C . ( Koran : 2002), e-learning sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan”.
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa e-learning tidak hanya sekedar menampilkan materi melalui fasilitas multimedia berupa tayangan film atau power point di depan kelas. E-learning juga memiliki makna yang lebih luas dari sekedar memberikan tugas kepada siswa untuk mencari materi dari internet lalu di “print” dan dikumpulkan. Namun lebih penting dari itu adalah pemanfaatan jaringan internet sebagai media untuk melakukan kegiatan belajar mengajar yang selama ini senantiasa dilaksanakan secara tradisional di dalam kelas.
Di SMP Taruna Bakti, penulis mencoba menerapkan suatu pembelajaran dengan membuat jaringan melalui internet yang ”dirajut” antara guru dengan siswa sehingga terjalin sebuah rangkaian hubungan yang tersebar dan memiliki akses serta distribusi yang merata antar guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Dengan jaringan tersebut, maka guru dapat melakukan pembelajaran walaupun guru dan murid tidak berada di tempat yang sama.
Pelaksanaan pembelajaran e-learning ini telah dilaksanakan secara efektif 6 bulan yang lalu (Oktober 2008) dengan mengembangkan kegiatan belajar mengajar dari tempat yang berbeda antara guru dengan siswa dan terakhir adalah kegiatan belajar mengajar terjadi ketika penulis berada di Jogjakarta dan Solo sementara siswa berada disekolah.

2. Latar Belakang Pemanfaatan e-learning di SMP Taruna Bakti
Seperti diuraikan dalam abstraksi, ada beberapa hal yang mendorong penulis untuk melaksanakan pembelajaran melalui e-learning. Beberapa diantaranya adalah :

a. Desakan akan kebutuhan sumber informasi yang paling “up to date” dalam proses pembelajaran IPS Terpadu .
Mata pelajaran IPS Terpadu merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat dinamis perkembangan objek pembelajarannya. Sebagai ilmu pengetahuan humaniora (kemanusiaan), maka perkembangan ilmu dan aplikasinya di dalam masyarakat sangat pesat seiring dengan semakin rumitnya permasalahan yang berhubungan dengan manusia, seperti ekonomi, sejarah, geografi dan sosiologi.
Dengan melaksanakan e-learning maka guru dan siswa dapat secara bersama-sama memperbaharui keilmuannya dan bersinergi melalui diskusi membahas masalah yang dipelajari melalui komunikasi internet.

b. Desakan kebutuhan akibat mobilitas dan aktivitas guru dan siswa yang sangat tinggi.
Sebagai tenaga pendidik, guru dituntut untuk mengembangkan keilmuannya baik melalui kegiatan pelatihan maupun seminar yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga. Namun salah satu konsekuensinya adalah terganggunya kegiatan belajar mengajar yang telah dijadwalkan sebelumnya. Dan salah satu cara mengantisipasinya adalah dengan memanfaatkan media e-learning karena memang salah satu dari manfaat e-learning adalah memungkinkan terjadinya interaksi pembelajaran dari mana dan kapan saja (time and place flexibility).

c. Desakan orang tua yang khawatir dengan perkembangan teknologi informasi khususnya internet yang telah masuk dalam hampir semua kegiatan siswa.
Perkembangan yang sangat pesat di bidang teknologi telah membuat siswa begitu mudah mengakses berbagai informasi yang ada di internet. Masalah muncul karena di internet informasi yang tersedia tidak saja yang menunjang pada peningkatan ilmu pengetahuan namun juga terdapat materi yang belum layak untuk dikonsumsi siswa secara bebas. Dilema dialami orang tua yang merasa sulit dan tidak pada tempatnya melarang putra-putrinya untuk mengakses internet namun dipihak yang lain orang tua juga khawatir untuk memberikan akses yang luas kepada mereka untuk mempergunakan fasilitas internet.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka orang tua dan guru, mencoba melakukan kerjasama untuk secara terarah, terencana dan sistematis melakukan pendampingan kepada siswa dalam memanfaatkan internet. Salah satunya adalah dengan menjadikan mereka sebagai pelaku dalam dunia maya dan mendidik siswa untuk tidak hanya bertindak sebagai ”user” dan pasif menghadapi gempuran informasi.

d. Fasilitas dan sarana yang ada di SMP Taruna Bakti masih belum maksimal dimanfaatkan oleh guru untuk menunjang pembelajaran.
Telah hampir 3 tahun Yayasan dan SMP Taruna Bakti terus membenahi diri, khususnya dalam melengkapi sarana belajar. Dimulai dari pemasangan televisi dan DVD player, pemasangan perangkat komputer serta pembuatan website SMP Taruna Bakti dan terakhir adalah pemasangan hotspot di lingkungan SMP Taruna Bakti.

e. Kemampuan dan fasilitas yang dimiliki siswa serta orang tua sangat mendukung bisa terlaksananya kegiatan pembelajaran melalui media e-learning.
Perkenalan dengan teknologi canggih yang lebih dini membuat siswa SMP Taruna Bakti lebih menguasai tekhnologi, khususnya komputer dibandingkan dengan guru itu sendiri. Oleh karena itu sangat mudah bagi guru di SMP Taruna Bakti mengembangkan metode e-learning. Bahkan di awal pelaksanaan, penulis banyak sekali berkonsultasi dengan siswa dalam hal pemanfaatan fasilitas yang ada di internet seperti YM, blog dan pembuatan web gratis yang tersedia.
Namun dalam prakteknya, guru menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan e-learning karena disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah kemampuan individu guru dalam memanfaatkan fasilitas yang ada masih terbatas. Padahal dengan aktifitas sehari-hari guru dan siswa telah begitu akrab dengan berbagai program yang bisa membantu terlaksananya kegiatan e-learning.

3. Fasilitas E-learning SMP Taruna Bakti
Berikut adalah beberapa fasilitas yang dimiliki guru dan SMP Taruna Bakti:

a. Perangkat komputer lengkap di semua ruang SMP Taruna Bakti (15 ruang kelas, 4 laboratorium, ruang BK, ruang guru dan kepala sekolah, dan perpusatakan) dan terhubung dengan internet sehingga memudahkan guru untuk mengakses internet ketika melakukan pembelajaran di kelas.

b. Hotspot sebanyak 5 titik di lingkungan SMP Taruna Bakti sehingga dapat diakses oleh semua siswa dan guru.

c. Sekolah telah memiliki website lengkap yang mempermudah masyarakat untuk dapat mengakses semua informasi tentang SMP Taruna Bakti. 80% guru SMP Taruna Bakti dan 90% siswa memiliki laptop yang mempermudah mobilitas untuk melakukan e-learning di manapun.

d. 100% guru memiliki ”jejaring” pribadi seperti blog, wordpress, email, facebook dan friendster yang bisa dimanfaatkan untuk menyimpan berbagai data dan materi.
Sementara untuk melaksanakan e-learning secara mandiri, penulis telah membuat beberapa perangkat/program tambahan yaitu :

a. e-mail khusus untuk menampung atau mengumpulkan tugas dan data dari siswa.
b. Yahoo messenger sebagai media komunikasi interaktif antara guru dan siswa.
c. Blog untuk menyimpan teori dan berbagai infomasi yang berhubungan dengan materi pendidikan secara umum.
d. Rangkuman materi, tugas, soal dan kurikulum yang dipublikasikan dalam blog sebagai bahan masukan bagi siswa dan orang tua untuk merancang pembelajaran secara mandiri.
e. Modul pembelajaran yang dijadikan panduan dan pedoman bagi siswa untuk bisa berperan aktif dalam e-learning.

Tentunya program yang dimiliki penulis belum ideal untuk dikatakan program e-learning secara utuh. Namun dengan keterbatasan yang ada, penulis berupaya untuk terus melakukan perbaikan dengan mempelajari berbagai program yang layak supaya bisa dikatakan e-learning yang utuh.

Namun, pada dasarnya penulis telah menerapkan tiga dasar e-learning yang dikemukakan oleh Rosenberg (2001), yaitu :

a. Bersifat jaringan, di mana siswa dapat mengakses, menyimpan, memunculkan, mendistribusikan dan sharing antar anggota e-learning. Kegiatan ini penulis lakukan dengan membuat blog dan wordpress yang berisi materi pembelajaran dan link dengan sumber lainnya yang tersedia di internet.

b. e-learning terjalin dengan saling berhubungan melalui internet. Penulis mempergunakan media yahoo messenger dengan webcame sehingga terjalin komunikasi interaktif antara guru dengan siswa secara langsung.

c. Pembelajaran dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih sumber belajar sesuai dengan keinginan mereka . Hal ini akan melatih siswa untuk belajar secara otonom dan mandiri dalam memilih topik dan sumber pembelajaran sehingga terasa lebih luas dan kontekstual dibandingkan metode tradisional.

4. Langkah-Langkah Pelaksanaan

a. Tahap Persiapan
Membuat perangkat pelengkap :
1). E-mail, media ini dapat dipergunakan untuk mengirim atau menerima data baik berupa tugas makalah, gambar atau kumpulan tulisan.
2). Yahoo messenger,meskipun fasilitas ini memiliki kemampuan untuk mengirimkan data, namun penulis persiapkan hanya untuk melakukan dialog dalam YM conference. Dalam YMC, guru dan siswa dapat melakukan dialog secara terbuka dan dapat dibaca oleh anggota e-learning.
3). Blog, dipergunakan untuk menyimpan data berisi materi pembelajaran IPS. Dalam blog juga terdapat link ke beberapa sumber pembelajaran alternatif. Untuk kepentingan yang berbeda, penulis juga membuat blog yang berisi tentang artikel yang berisi perkembangan dan opini dunia pendidikan sebagai referensi siswa untuk berdiskusi dengan orang tua dalam hal pendidikan.
4). Facebook, dibuat selain sebagai media komunikasi juga sebagai media memberikan pengumuman kepada siswa karena lebih dari 100% siswa SMP Taruna Bakti memiliki link pertemanan baik dengan penulis maupun dengan alumni. Facebook biasanya berisi informasi tentang SMA atau perguruan tinggi dari alumni yang kemudian dapat diakses oleh seluruh siswa SMP.
5). Modul, seperangkat aturan dan petunjuk kerja yang menuntun dan menjadi pedoman pelaksanaan bagi siswa untuk melaksanakan e-learning. Modul ini perlu sehingga guru dapat berkomunikasi secara tidak langsung dengan siswa pada saat guru berhalangan hadir di kelas. Dengan adanya petunjuk dan modul tersebut, guru hanya perlu mengirim sms pada salah satu siswa untuk mengerjakan modul bagian tertentu, dengan jadwal pasti tentang waktu pertemuan lewat internet. Manfaat lainnya dari modul tersebut adalah sebagai indikator dan alat evaluasi siswa karena berisi langkah, rincian tugas, dan soal yang hanya dapat dijawab siswa dengan melakukan langkah-langkah e-learning.

b. Tahap Pelaksaaan

1). Percobaan
Dilaksanakan pada jam pembelajaran kelas akselerasi SMP Taruna Bakti angkatan I tahun ajaran 2008-2009. Hal tersebut karena pertimbangan jumlah siswa akselerasi yang hanya 19 orang dan kebutuhan akan informasi serta sumber pembelajaran yang lebih variatif dalam mata pelajaran sistem ekonomi dunia dan Indonesia.
Karena dilaksanakan sebagai tahap percobaan, maka penulis dan siswa banyak menghadapi kendala, diantaranya belum terpola sistem dan aturan yang jelas sehingga siswa masih belum fokus untuk mengerjakan urutan tugas secara sistematis.
Beberapa kekurangan yang terjadi pada saat percobaan tersebut diantaranya adalah :
• Belum ada penjelasan detail tentang sistematika pelaksanaan e-learning, dan tugas baru dijelaskan secara lisan pada saat tatap muka di kelas, sehingga siswa merasa bingung untuk memulai akses internet dan melakukan kontak interaktif.
• Belum ada modul kerja yang tertulis sehingga siswa masih bebas dalam mengakses bentuk dan situs internet. Hal ini membuat tugas yang terkumpul menjadi lebih bervariatif dan meluas dari tujuan yang diharapkan.
• Untuk mengatasi hal tersebut maka penulis membuat modul dan tata kerja yang menjadi pedoman bagi siswa dalam melaksanakan tugasnya. Modul dan tugas dibuat dalam bentuk buku dan ada juga yang disimpan dalam blog.

2). Pelaksanaan
Setelah tahap percobaan di kelas akselerasi, maka program e-learning mulai diperkenalkan di kelas-kelas reguler. Dengan kelemahan yang telah diperbaiki, maka proses e-learning di kelas reguler lebih berjalan lancar.
Langkah-langkah pelaksanaan :

a). Di sekolah :
• Membagikan modul kerja kepada siswa untuk dipelajari secara berkelompok.
• Siswa disebar untuk menempati ruangan atau tempat yang paling nyaman dan bagus dalam menerima sinyal hotspot. Mereka tersebar di kantin, perpustakaan, koridor kelas, sekitar lapangan upacara atau di ruang kelas yang kosong. Guru dan siswa secara bersama masuk ke alamat YM masing-masing untuk bergabung dalam YM conference.
• Setelah tergabung dalam YM messenger, guru memberikan instruksi tertentu untuk dilaksanakan oleh siswa.
• Dialog, pertanyaan, diskusi dan opini disampaikan secara berurutan melalui YM conference dan langsung ditanggapi oleh anggota lainnya.
• Guru bisa memeriksa keberadaan siswa dengan cara mengaktifkan wabcame dan mengundang siswa secara random untuk meresponnya.
• Di menit-menit akhir, setiap siswa atau kelompok harus mengirimkan tugasnya melalui e-mail.
• Waktu akhir penyerahan tugas maksimal satu hari setelah tugas diberikan.
b). Di rumah
Guru membuka kontak dengan siswa di luar jam pelajaran untuk melakukan dialog tentang materi pelajaran pada hari Jum’at dan Sabtu malam, antara pukul 21.00-22.00 WIB. Forum ini disediakan oleh penulis untuk penugasan, menjawab pertanyaan siswa atau memberikan soal untuk remedial siswa. Forum ini telah membantu siswa dan guru dalam hal pelaksanaan proses belajar di luar jam pelajaran yang telah ditentukan. Karena disaat belum dilaksanakan program e-learning, untuk remedial, guru dan siswa harus mengatur waktu bersama karena perbedaan aktivitas guru dan siswa.
Proses ini juga diharapkan dapat mengajarkan dan mendidik siswa untuk lebih mandiri menyelesaikan berbagai kewajibannya yang berhubungan kegiatan belajar mengajar. Dengan media e-learning, guru memang tidak dapat melakukan interaksi langsung yang mengikat dengan mewajibkan siswa melakukan kontak, namun sangat melandaskan aktivitasnya berdasarkan kepercayaan guru kepada siswanya.
Hal ini sejalan dengan beberapa teori yang menyatakan salah satu kelebihan e-learning adalah memberikan kesempatan bagi pelajar untuk memegang kendali atas kesuksesan belajar masing-masing, artinya pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan kapan akan mulai, kapan akan menyelesaikan dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih dahulu. (Allan J.Handerson,2003)
Dari kegiatan tersebut, guru bisa mengidentifikasi ciri atau karakter siswa yang perlu mendapatkan layanan secara khusus dengan memberikan instruksi khusus dan langsung dengan berkoordinasi bersama orang tua dengan siswa yang telah mampu belajar secara mandiri.

c). Tele-Conference
Dilakukan apabila guru dan siswa tidak berada di tempat yang sama. Langkah-langkah pelaksanaannya sebagai berikut:
• Dua atau tiga hari sebelum berangkat, penulis memberitahukan kepada siswa untuk membawa laptop ke sekolah.
• Pada saat pembelajaran IPS Terpadu, guru menelpon atau mengirim sms supaya anak-anak siap dengan semua perangkat e-learning, seperti masuk ke YM, membuka blog atau facebook.
• Guru memberikan pengarahan secara umum di facebook dan instruksi langsung di YM conference.
• Siswa melaksanakan pembelajaran dengan arahan jarak jauh dengan bimbingan dari guru tentang target pembelajaran dalam dua jam pelajaran.
• Hasilnya dikirim melalui e-mail.

5. Pengaruh e-learning Terhadap Proses Pembelajaran
Sebagai sebuah layanan, e-learning dilaksanakan tidak sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab guru sebagai pengajar, namun lebih berorientasi pada proses pendidikan yang dapat dibangun dengan memanfaatkan media e-learning.
Yang dirasakan langsung oleh penulis dalam pelaksanaan e-learning adalah melatih siswa untuk mampu melaksanakan program pembelajarannya secara mandiri. Hal ini terjadi karena dalam pembelajaran dengan media e-learning, guru tidak dapat berinteraksi secara intens dengan siswa secara fisik, sehingga siswa dididik untuk menanamkan komitmen pada diri pribadi untuk dapat terlibat secara langsung dalam pembelajaran e-learning.
Beberapa dampak lain yang dirasakan diantaranya ialah :
Pertama, siswa dapat merencanakan secara mandiri penyelesaian tugas yang dibebankan oleh guru. Melalui e-learning, secara tidak langsung penulis berusaha mendidik siswa untuk termotivasi dalam belajar, karena bila berhubungan dengan teknologi, siswa biasanya memililki animo yang cukup tinggi. Pengaruh lainnya yang penulis rasakan adalah siswa mulai gemar membaca, walaupun media bacaannya adalah internet. Dengan segala kelebihan yang dimiliki internet, siswa sangat mudah mengakses berbagai sumber informasi yang sulit mereka dapatkan bila membaca buku atau majalah. Bagi yang kesulitan belajar secara mandiri maka guru menyediakan modul yang diberikan kepada siswa, seingga mereka dapat mengerjakan dan langsung mengirimkan hasil pekerjaannya melalui e-mail. Setelah mendapat rekomendasi nilai dari guru, siswa dapat mengerjakan tugas berikutnya. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat merancang waktu dan metode tugas yang dibebankan secara leluasa disesuaikan dengan kesibukan dan kegiatannya masing-masing. Namun sebagai proses pendidikan, guru tentunya harus lebih intens untuk melakukan pemeriksaan tugas siswa, karena bila hal tersebut terabaikan maka siswa yang tingkat kemandiriannya rendah, akan sulit terdeteksi kemajuan belajarnya. Caranya adalah dengan cara memberikan modul pembelajaran yang menjadi alat monitoring dan evaluasi bagi guru, siswa dan orang tua. Dengan demikian, semua komponen dan pelaku pembelajaran secara aktif ikut terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Selama ini apabila pembelajaran di kelas, yang aktif terlibat dalam proses pembelajaran hanya siswa dan guru.
Kedua, siswa mulai mengenal beberapa situs yang menyediakan berbagai informasi yang berhubungan dengan pembelajaran. Selama ini siswa pada umumnya hanya mengenal wikipedia sebagai sumber pengetahuan, hal ini dapat dilihat dari tugas yang dikerjakan siswa apabila harus mencari materi di internet. Padahal bila siswa dan guru aktif untuk mencari, maka sumber pengetahuan di internet relatif tidak terbatas, mulai dari buku pelajaran, sejarah, teknologi dan lain sebagainya.
Ketiga, diskusi dan pertukaran informasi tidak dibatasi oleh kelas atau angkatan. Hal ini terjadi bila proses pembelajaran terjadi di rumah masing-masing pada hari Jumat dan Sabtu malam. Di saat itu, yang tergabung sudah tidak lagi dipisahkan oleh kelas, namun melibatkan semua siswa dari semua kelas, baik reguler, bilingual maupun akselerasi. Hal ini sangat bermanfaat bagi perkembangan dan perluasan wawasan dan sosialisasi di mana siswa menjadi lebih mengenal satu sama lain di dunia maya dengan mendiskusikan satu subjek yang sama. Dari diskusi tersebut, banyak sekali permasalahan yang terungkap secara bebas dan mendapatkan tanggapan lebih variatif.
Keempat, siswa terasa lebih leluasa mengemukakan pendapat dan pertanyaan dibandingkan ketika proses pembelajaran terjadi di kelas. Hal ini mungkin terjadi karena secara fisik guru dan siswa tidak bertatap muka langsung sehingga siswa tidak khawatir dengan ekspresi guru bila pertanyaan atau jawabannya terasa konyol. Siswa juga tidak mengalami ”tekanan mental” dari rekan-rekannya bila ada pertanyaan yang agak aneh atau menyimpang dari materi. Kedua hal tersebut sangat terasa karena penulis justru banyak menerima jawaban dari siswa yang di kelasnya justru sangat pendiam dan ketika ditanya mengapa dia lebih berani, ternyata pengaruh faktor teman dan guru lebih dominan menjadi penghalang mereka dalam berpartisipasi dalam mengajukan pertanyaan atau jawaban.
Kelima, materi yang dipelajari lebih mendalam dan meluas. Karena materi yang dibahas adalah materi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maka pertanyaan dan diskusi melalui e-learning biasanya dihubungkan dengan pengamatan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Banyak pertanyaan yang kemudian melebar dan langsung bersentuhan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya ketika membahas hukum, motif maupun prinsip ekonomi, maka pertanyaan mereka dihubungkan dengan kondisi ekonomi nasional maupun global. Apalagi bila mereka menemukan informasi terbaru tentang materi yang dibahas, maka seketika hal tersebut mereka tanyakan dan menjadi bahan diskusi bersama.
Keenam, untuk itu, maka guru dituntut pula untuk terus berpacu bersama siswa menambah wawasan dan pengetahuan melalui tukar informasi terbaru yang mereka dapatkan di internet. Dengan demikian, guru bisa mengakui bahwa ilmu yang selama ini dimiliki sangat terbatas, apalagi seandainya guru hanya mengandalkan buku pegangan dari penerbit yang tahun penerbitan dilakukan setahun atau dua tahun sebelumnya sebagai sumber pembelajaran.
Ketujuh, guru dapat melakukan tukar informasi tanpa merasa sungkan di hadapan murid. Terkadang apabila ada pertanyaan yang sulit dijawab, biasanya guru langsung mencari jawabannya di internet, sementara apabila pertanyaan tersebut dilontarkan di dalam kelas biasanya guru membutuhkan waktu untuk mencari jawabannya, itupun kalau guru tidak lupa baik sengaja maupun tidak sengaja.

6. Beberapa Prinsip Penyelenggaraan e-learning
Pertama kali penulis mencoba menyelenggarakan pembelajaran melalui media e-learning, yang ada dalam benak adalah bagaimana meningkatkan layanan pendidikan kepada siswa. Sejalan dengan bergulirnya waktu dan seringnya pelaksanaan e-learning, maka penulis menyadari ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan e-learning di sekolah, diantaranya ialah :

a. Penyelenggaraan e-learning tidak berarti mengurangi atau menghilangkan hakekat belajar yang selama ini terjadi di kelas, namun justru harus mampu memperkuat dan menopang penyelenggaraan di kelas. E-learning yang penulis laksanakan selama ini dilakukan sebagai suplemen (penambah), komplementer (pelengkap) dan substitusi (pengganti) dari pembelajaran yang terjadi di kelas. Karena salah satu pentingnya interaksi langsung antara siswa dengan guru dikelas adalah memberikan ruang bagi siswa dan guru untuk memaknai dari setiap informasi yang diperoleh di internet. Begitu banyak informasi yang dapat diperoleh oleh siswa di jaringan internet yang mungkin belum saatnya atau belum sepenuhnya di mengerti oleh siswa SMP. Misalnya tentang adanya persengkongkolan internasional dalam menciptakan ketimpangan sosial ekonomi dunia saat ini, atau tentang berbagai gambar atau artikel yang menyudutkan suatu golongan, bangsa atau agama tertentu. Di sini guru berfungsi sebagai mediator bagi siswa untuk berdiskusi membahas materi tersebut secara bijak, tidak dengan cara menghakimi benar-salah suatu opini yang terjadi di masyarakat, namun yang jauh lebih penting adalah menanamkan kemampuan siswa dalam menyaring, memilih dan memilah jenis informasi yang disesuaikan dengan materi yang mereka pelajari.

b. Pelaksanaan e-learning harus mampu menciptakan suatu metode pembelajaran yang efektif, efisien dan sederhana. Karena apabila dengan segala kekurangan yang ada, e-learning malah menimbulkan kesulitan dan ketidakajegan dalam raihan hasil pembelajaran, maka tujuan e-learning sebagai media yang mempermudah suatu kegiatan menjadi bias. E-learning hanyalah salah satu dari berbagai media atau metode yang bisa dilakukan oleh guru dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, sehingga pelaksanaannya harus direncanakan dan dipersiapkan dengan lebih baik. Diawal percobaan memang akan terjadi beberapa kendala, namun berbagai kendala yang terjadi harus segera diatas sehingga pemborosan waktu dan fasillitas tidak lagi menjadi hambatan untuk pembelajaran berikutnya.

c. e-learning harus mampu memberikan layanan kepada siswa secara lebih personal. Siswa memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang membutuhkan perhatian dan layanan secara individual. Namun dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih bersifat klasikal, maka pemenuhan hak tersebut belum maksimal terlayani. Dengan adanya e-learning, guru sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk memberikan layanan sesuai dengan kemampuan dan keunikan dari setiap siswa. Misalnya ada siswa akselerasi atau reguler yang cerdas, maka guru dapat memberikan layanan materi secara lebih mendalam dan meluas. Hal tersebut dimungkinkan karena bagi siswa cerdas, sekolah biasanya mempergunakan kurikulum berdiferensiasi, yaitu kurikulum nasional yang telah mengalami penambahan dan pengembangan baik berupa pengayaan maupun mendalaman. Begitu juga dengan siswa yang memiliki masalah dalam konsentrasi atau kesulitan belajar. Guru dapat memberikan tugas yang lebih ringan namun membuka kesempatan kepada siswa untuk memilih materi yang diminatinya.

d. Prinsip terakhir adalah kecepatan. Kecepatan di sini dalam pengertian pelayanan penyampaian informasi dari guru kepada siswa atau sebaliknya. Cepat juga dapat berarti memberikan kesempatan kepada siswa yang rajin dan cerdas untuk dapat menyelesaikan materi dalam jangka waktu lebih singkat. Hal ini penting karena apabila pembelajaran di kelas, guru harus memperhatikan kemampuan siswa secara umum, sehingga siswa yang cerdas dan rajin harus menunggu dan menyesuaikan diri dengan rekannya yang lain.

7. Kendala dan solusi dalam pelaksanaan e-learning di sekolah
Dalam penyelenggaraan e-learning di sekolah, penulis merasakan beberapa kendala yang dialami, diantaranya yaitu :

a. Siswa belum terfasilitasi dengan laptop yang memadai untuk dipergunakan di sekolah. Selama ini, siswa hanya membawa laptop bila guru memberitahukan sehari sebelumnya. Terkadang ada siswa yang tidak membawa laptop karena harus bergantian dengan orang tua atau saudaranya. Kekurangan ini bisa disiasati oleh penulis dengan aturan minimal ada satu laptop untuk dua siswa. Dengan demikian, kedua siswa tersebut bisa bersinergi untuk saling membantu dalam melaksanakan tugas. Dan penulis pun memberikan kesempatan kepada siswa supaya dapat meneruskannya secara mandiri dirumah.
b. Kurangnya software penunjang yang dapat mempercepat proses e-learning. Penulis belum memahami benar beberapa software yang masih harus disiapkan sekolah atau penulis sendiri dalam penyelenggaraan e-learning. Untuk permasalahan tersebut, penulis akan membuat proposal pengajuan kepada pihak sekolah untuk terus membenahi fasilitas yang ada sehingga e-learning akan terselenggara lebih baik.
c. E-learning belum sepenuhnya diselenggarakan oleh semua guru di SMP Taruna Bakti, sehingga materi yang bisa diakses oleh siswa selama ini baru terbatas pada materi IPS Terpadu, IPA, TIK, Seni, Bahasa Inggris. Hal ini pun masih bersifat parsial atau terpisah antara materi yang satu dengan materi lainnya. Setiap guru memiliki blog masing-masing yang harus diiingat siswa, sehingga agak mempersulit siswa dalam mengakses materi tersebut. Ke depan, guru harus mulai membuat sebuah media yang sama sehingga siswa dapat dengan mudah mengakses semua materi di tempat yang sama. Website SMP Taruna Bakti selama ini belum maksimal dimanfaatkan karena banyak hal teknis yang kurang dimengerti oleh guru.

D. KESIMPULAN
Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan e-learning sebagai media pembelajaran tidaklah sesulit yang dibayangkan banyak orang. Masalah pokok dalam pelaksanaan e-learning bukan terletak pada kemampuan guru dalam mengoperasional beberapa program komputer dan internet, namun pada kemampuan mengkombinasikan beberapa program yang telah diketahui untuk dijadikan sistem yang terpadu. E-mail, messenger, facebook, blog, wordpress, bukanlah barang yang baru bagi kebanyakan guru karena dalam keseharian hampir semua guru maupun pelajar telah mempergunakannya. Yang terpenting adalah bagaimana kemudian guru menggabungkan dan merancangnya menjadi sebuah sistem terpadu dan menunjang pelaksanaan e-learning.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua guru yang sampai saat ini masih ragu untuk menyelenggarakan e-learning karena takut tidak paham program, asing dengan bahasa internet dan komputer, atau khawatir dengan hasil pembelajaran yang kurang baik. Semoga juga tulisan ini dapat menjadi bahan masukan kepada semua pihak yang berkepentingan dalam pengambilan kebijakan mengenai pentingnya e-learning bagi pembelajaran dengan terus membenahi hal-hal yang selama ini dirasakan masih menjadi kendala, seperti pengadaan komputer, pengadaan jaringan maupun peningkatan sumber daya guru dalam memanfaatkan teknologi bagi pendidikan di Indonesia.
Setiap proses membutuhkan waktu dan energi, namun dengan semangat dan optimisme penulis yakin dalam jangka waktu yang tidak lama lagi, e-learning akan mampu mempercepat peningkatan sumber daya manusia Indonesia. Semoga.

Bandung, April 2009

Penulis

Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Website : www.smptarunabakti.com
Email : imamwibawamukti@yahoo.co.id
Blog : e-ducationsmptarbak.wordpress.com
Selengkapnya...

Rabu, 15 Juli 2009

SELAMATKAN SISWA CERDAS ISTIMEWA! (3)

Setelah kurang lebih sepuluh tahun program akselerasi berjalan, masih banyak diantara pengelola pendidikan, termasuk penyelenggara sekolah yang menjalankan program akselerasi, belum memahami hakekat keberadaan program akselerasi ini.
Beberapa kesalahan paradigma ini diantaranya :

1. Menganggap program akselerasi hanya sekedar aksesoris sekolah yang dapat memiliki niali jual kepada masyarakat untuk meningkatkan status sekolah. Sekolah seperti ini bisa dilihat dari mulai cara perekrutan, pengelolaan dan proses pembelajaran di kelas akselerasi. Dan ketika ada program lain yang lebih "menjual" maka sekolah akan berpaling pada program baru tersebut dan menganggap program akselerasi tidak lagi diperlukan.
2. Kurangnya kesadaran dari pihak sekolah tentang eksistensi atau keberadaan siswa yang cerdas istimewa yang secara asasi memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Kekurangsadaran tersebut menyebabkan guru, kepala sekolah atau pengelola program akselerasi menjadikan program ini sebagai beban dan memandang siswa cerdas istimewa sebagai siswa yang tidak perlu mendapatkan "Layanan Khusus". Sekolah seperti ini akan nampak pada penanganan proses pembelajaran yang tidak membedakan rencana, metode, sarana maupun evaluasi kepada siswa akselerasi.
3. Sekolah, khususnya Negeri sering panik dengan berbagai informasi yang berhubungan dengan instruksi baru atau program baru yang dibuat pemerintah. SKS, RSBI dan lainnya terkadang dijadikan alasan perlunya perombakan dan penghapusan program akselerasi.
4. Sekolah belum mampu menjadi "Corong" dari hakekat dan esensi dari dibangunnya program akselerasi bagi pemenuhan hak siswa cerdas istimewa dan karakter dari siswa itu sendiri. Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa program akselerasi hanyalah program yang eksklusif dan kecerobohan dalam dunia pendidikan. Namun sayangnya, mereka yang menolak program akselerasi sering kali tidak mampu memberikan solusi yang tepat dan aplikatif di dunia pendidikan. Mereka berasumsi, menyimpulkan dan meng"judge" SALAH. Ketika ditanya bagaimana solusi, maka yang keluar hanyalah berjuta teori yang belum tentu bisa dilaksanakan pada tataran praktek langsung.
5. Karena menganggap eksklusif, maka masih ada pengelola atau pembuat kebijakan menganggap bahwa program akselerasi ini tidak inklusi! Inklusi adalah sebuah sistem yang dibangun dengan maksud untuk memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh elemen dalam masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Tidak hanya anak cerdas istimewa, namun juga siswa lainnya seperti yang memiliki cacat, penderita hiv, mantan pemakain narkoba, anak miskin, anak jalanan dan lain-lainnya. Keberadaan kelas akselerasi masih juga dianggap eksklusif, padahal kelas tersendiri atau digabung dengan kelas reguler merupakan tataran taktis dan tekhnis. misalnya karena ada 20 siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, maka kelas akselerasi dinilai jauh lebih efektif ketimbang digabung dengan reguler, karena mereka memang membutuhkan layanan yang agak berbeda dengan anak pada umumnya. Namun ketika hanya ada 3 atau 4 orang, maka bisa jadi kelas akselerasi tidak lagi diperlukan karena akan jauh lebih efektif bila digabung dengan kelas reguler.
Oleh karena itu, maka mulai sekarang kita harus :
1. Lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang anak CI/BI, akselerasi dan inklusi.
2. Sekolah mulai dan terus membenahi diri sehingga berbagai anggapan miring tentang akselerasi bisa disanggah dengan bukti.
3. Terus melakukan monitoring dan evaluasi yang ketat dalam pelaksanaan akselerasi untuk menghindari adanya penyimpangan tujuan dari program akselerasi.
Semoga tulisan pendek ini berguna bagi kita semua.

akselerasismptarbak.blogspot.com
Selengkapnya...

SELAMATKAN SISWA CERDAS ISTIMEWA! (2)

Assalamualaikum Wr, Wb

Program Akselerasi adalah sebuah program di sekolah kami dikarenakan kebutuhan dan memang ada aturan mainya seperti UU, selama aturan mainnya belum diganti dengan yang baru maka kami dilapangan masih tetap menjalankan prgram ini, plus minus dilapangan kita kembalikan kepada komsumen, orangtua sebagai pemakailah yang tahu lebih banyak keuntungan.
Kepercayaan mereka kepada sekolah dalam menjalankan program akselerasi sangat penting, karena itu program ini masih tetap berlanjut disekolah kami (SMP Plus Islamic Village), Untuk peminat tidak diragukan lagi cukup banyak, hanya karena seleksinya ketat sehingga yang bisa masuk kelas ini hanya sedikit. Saya menyakini program ini masih tetap dibutuhkan, pengalaman kami dari tahun 2001 hingga sekarang sudah dapat kami amati siswa aksel kami yang berada di perguruan tinggi, dan apresiasi orangtua kepada kami luar biasa positif, kata mereka kelas ini sangat efisien dan tidak buang-buang waktu anak mereka.
Kemarin tanggal 15 juli 2009 ketika kami bertemu dengan teman-teman guru program aksel dari sekolah lain di Tangerang ( SMAN 2 Tangsel, SMAN 3 Tangsel, SDS Model) semua masih tetap konsisten melaksanakan program ini, hasil UN siswa aksel ternyata bagus-bagus dan di terima di perguruan tinggi negeri.
Berbagai komentar miring tentang aksel biarlah, masih banyak yang berkomentar positif, Mari pak Amril kami yang dilapangan akan terus berjuang dan membantu untuk tetap dapat melayani siswa2 cerdas sebagai aset bangsa dan negara.
Untuk data siswa aksel di Provinsi Banten, saya sedang mengumpulkan datanya. nanti bila sudah terkumpul akan saya kirim ke bapak.

Wassalam

Abdu Napudin
Ketua Pokja CI+BI Banten
Selengkapnya...

SELAMATKAN SISWA CERDAS ISTIMEWA! (1)

Beberapa sekolah menginformasikan tentang adanya upaya untuk menutup
program aksel di tempat mereka. ada yang mengajukan alasan penerapan
SKS sehingga otomatis yang pintar bisa cepat selesai. ada pula yang
mengajukan alasan SBI/RSBI yang pembelajaran MIPA juga menggunakan
bahasa inggris dan berbasis IT.

Lalu bagaimana aksel ke depan. kalau kita liha UU no. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional jelas-jelas menyatakan bahwa anak cerdas/
berbakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus. sampai ini
belum ada rumusan yang jelas...seperti apa yang dimaksud dengan
pendidikan khusus itu. dari sisi ini sebenarnya program aksel yang
sekarang berjalan dapat dianggap memiliki kekhususan, yaitu
dikelompokkan berdasarkan tingkat IQ serta menyelesaikan pendidikan
lebih cepat daripada reguler..

tapi...yang berjalan sekarang pun, terus diobok-obok dengan alasan
inklusivitas dan ketidakseimbangan pengembangan diri karena terlalu
fokus pada kemampuan akademik. belum lagi ada tulisan di sebuah blog
yang menyatakan...."tutup akselerasi..masukan ke program inkulisi.
Padahal kalau dilihat di lapangan, lebih banyak anak-anak aksel yang
bisa bersosialisasi dengan teman-teman lainnya secara baik. jadi
kenapa mereka harus dianggap tidak baik. kalaupun memang ada, mari
kita sama-sama benahi.

bukan mau anak-anak ini menjadi anak CI+BI, tetapi karena anugerah
Allah SWT, mereka memiliki kemampuan itu. tapi dengan perkembangan
yang terjadi belakangan ini, mereka seperti makhluk yang tidak boleh
hidup tenang di bumi Indonesia. padahal mereka sudah banyak menyumbang
bagi kehormatan negeri ini melalui ajang-ajang olimpiade dan
sebagainya.

mari selamatkan mereka...agar sumber daya terbaik bangsa ini tak jadi
merana atau pergi yang kadang tak mau kembali.

SELAMATKAN ANAK CI-BI INDONESIA.

Salam.

Amril Muhammad
Selengkapnya...

Selasa, 14 Juli 2009

DAFTAR SISWA AKSELERASI ANGKATAN 6 DAN SMA LANJUTAN

Adi : Bpk Penabur
Anggin : Taruna Bakti

Dinar : Angela
Dwiky : Taruna Bakti
Erin : 3 (RSBI)
Fajar : Taruna Bakti
Genki : Taruna Bakti
Arif : Taruna Bakti
Hafizh : Taruna Bakti
Kamila : Taruna Bakti
Ifa : 3 (RSBI)
Lira : Taruna Bakti
Malik : 3
Mulky : 5
Garid : 3 (RSBI)
Dzaky : Taruna Bakti
Benit : Taruna Bakti
Sena : 3 (RSBI)
Shanry : Taruna Bakti

Selamat ya....semoga kalian terus mampu mempertahankan prestasi dan menjadi manusia sukses dimanapun kalian tinggal dan selalu memberikan kontribusi positif untuk lingkungan sekitar.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd

Selengkapnya...

Jumat, 10 Juli 2009

MEMBANGUN KEPRIBADIAN ANAK DENGAN CINTA

Dengan cinta maka orangtua dapat menerima anak apa adanya. Terlepas dari apakah
orangtua melihat kelebihan anak ataukah tidak, terlepas dari apakah
orangtua menyukai cacat (kelemahan) anak atau tidak. Tentu saja hal ini
hanya mungkin bagi orangtua yang memiliki tanggungjawah. Orangtua yang
baik tidak akan menuntut anaknya untuk sama dengan anak lainnya. Karena
setiap individu adalah unik. Kita dapat membentuk kepribadian anak
kita, tetapi bukan untuk menyamakan karakter mereka.
. Seperti kita lihat
sahabat Umar ra, Abu Bakar ra dan sebagainya, mereka tidak memiliki
karakter yang sama meskipun masing-masing mereka merupakan
pribadi-pribadi yang islami. Keunikan mereka justru menjadian mereka
ibarat bintang-bintang yang gemerlapan di langit, terangnya bintang
yang satu tidak memudarkan terangnya bintang yang lain. Begitu pula
halnya dengan kreatifitas, setoap sahabat adalah insan kreatif.
Masing-masing mereka memiliki dimensi kreatifitas sendiri-sindiri.
Salman Al-Farisi penggagas perang parit, Umar bin Khattab penggagas
ketertiban lalu lintas, Abu Bakar Ash-Shiddiq penggagas tegaknya sistim
ekonomi islam, Khalid bin Walid penggagas strategi perang moderen dan
banyak lagi. Tinggal yang menjadi masalah sekarang adalah, kita para
orangtua kurang bersungguh-sungguh untuk menemukan bakat-bakat dan
minat-minat yang dimiliki oöeh anak. Seolah-olah kita para orangtua
lebih suka anak kita menjadi fotokopi orang lain, ketimbang dia tumbuh
sebagai suatu pribadi yang utuh. Kalau anak-anak Amerika dengan
shibghah (celupan) individualis liberalis dapat mengatakan : I want to
be me ! Mengapa anak-anak kita, anak muslim tidak dapat mengatakan :
Ana Abdullah ( Saya abdi Allah) ! Kalau kepribadian menentukan
kreativitas, maka seorang muslim pada hakekatnya memiliki potensi
kreatif lebih besar dibandingkan ummat-ummat lainnya. Karena
kepribadian islam tiada tandingannya.
Menumbuhkan dan Mengem-bangkan Motivasi
Kepribadian yang
kuat biasanyaa memiliki motivasi yang kuat pula. Tapi karena
kreatifitas itu dimulai dari suatu gagasan yang interaktif, maka
dorongan dari luar juga diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan.
Dalam hal ini para orangtua banyak berperan. Dengan komunikasi dialogis
dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan merasa dipercaya,
dihargaai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung,
dilibatkan dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan
ini anak akan memiliki dorongan yang kuat untuk secara berani dan
lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain komunikasi dialogis dan
mengdengar aktif, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah
seharusnya kita memberikan perhatian serius kepada aktifitas yang
tengah dilakukan oleh anak kita. Seperti misalnya melakukan aktifitas
bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan shoum dan shalat
bersama anak-anak kita, mengapa untuk aktifitas yang lain kita tidak
dapat melakukannya ? Bukanlah lebih mudah untuk mentransfer suatu
kebiasaan yang sama ketimbang harus memulai suatu kebiasaan yang sama
sekali baru ? Dengan demikian sesungguhnya seorang muslim memiliki
peluang yang lebih besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif.
Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai orangtua muslim senantiasa
berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai hal dan
sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Agar mereka
lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif. Suatu
hal yang perlu dicatat dalam memotivasi anak agar kreatif, lakukanlah
serekreatif mungkin dan hindarilah kesan-kesan rekonstruktif.
Mensistimatisir Proses Pembentukan Anak Kreatif
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam pembentukan anak kreatif adalah :
Pertama :
Persiapan waktu, tempat, fasilitas dan bahan yang memadai. Mengenai
waktu dapat berkisar antara 5- 30 menit setiap hari, sangat tergantung
pada bentuk kreatifitas apa yang hendak dikembangkan. Begitu pula
halnya dengan tempat, ada yang memerlukan tempat yang khusus dan ada
pula yang dapat dilakukan di mana saja. Fasilitas tidak harus selalu
canggih, tergantung sasaran apa yang hendak dicapai. Bahan pun tidak
harus selalu baru, lebih sering justru menggunakan bahan-bahan sisa
atau bekas.
Kedua :
Mengatur selang seling kegiatan. Kegiatan diatur sedemikian rupa agar
dalam melakukan aktifitas tersebut anak-anak terkadang melakukan
aktivitas secara individual, tetapi adakalanya juga melakukan aktifitas
secara kelompok. Terkadang anak-anak melakukan aktivitas secara
kompetitif, terkadang juga secara kooperatif.
Ketiga :
Menyediakan satu sudut khusus untuk anak dalam melakukan aktifitas Kita
dapat menyediakan satu sudut di rumah untuk menghamparkan sajadah dan
kemudian shalat diatasnya. Mengapa kita tidak dapat menyediakan sudut
khusus untuk kreatifitas anak-anak kita ?
Keempat :
Memelihara iklim kreatifitas agar tetap terpelihara Caranya dengan
mengoptimalkan point-point yang telah disebutkan pada kunci no 2 untuk
mempertahankan kreatifitas anak.
Mengevaluasi Hasil Kreativitas
Selama ini kita
sering terjebak untuk menilai kreatifitas melalui hasil atau produk
kreatifita. Padahal sesunggunya proses itu lebih penting ketimbang
hasilnya. Pentingnya penilaian kita terhadap proses kreatifitas, bukan
berarti kita tidak boleh menilai hasil kreatifitas itu sendiri.
Penilaian tetap dilakukan, hanya saja ada satu hal yang harus kita
perhatikan dalam menilai. Hendaknya kita menilai hasil kreatifitas
tersebut dengan menggunakan perspektif anak dan bukan menggunakan
perspektif kita sebagai orang tua. Kalau kita mendapati seorang anak
berusia 3 tahun dan kemudian dia dapat menyebutkan angka dari 1 sampai
10 apakah kita akan mengatakan, “Ah, kalau cuma kaya’ begitu saya bisa
!” Tentu saja satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam mengevaluasi
prosos dan hasil kreatifitas adalah “Open Mind” atau dengan “Pikiran
yang terbuka”. Apalagi anak seringkali mengemukakan gagasannya atau
menelurkan suatu hasil kreatifitas yang tidak lazim. Setiap kali kita
mengevaluasi hasil tersebut, kita harus selalu memberikan dukungan dan
juga penguatan. Dan begitu juga sebaliknya, jauhi celaan dan hukuman
... agar anak kita tetap kreatif.


Tulisan diangkat dari Ummi 8/VI/ 1994
Selengkapnya...

Jumat, 03 Juli 2009

Mengenal Aral Kreativitas

Kreatifitas adalah jantung dari inovasi. Tanpa kreatifitas tidak akan ada inovasi. Sebaliknya, semakin tinggi kreatifitas, jalan ke arah inovasi semakin lebar pula. Sayangnya, banyak pendapat keliru tentang kreatifitas. Misalnya, kreatifitas itu hanya dimiliki segelintir orang berbakat. Lebih salah kaprah lagi, kreatifitas itu pembawaan sejak lahir. John Kao, pengarang buku Jamming: The Art and Discipline in Bussiness Creativity, (1996), membantah pendapat ini. "Kita semua memiliki kemampuan kreatif yang mengagumkan. Dan benar kreatifitas bisa diajarkan dan dipelajari," kata Kao.
Kreatifitas selalu dimiliki orang berkemampuan akademik dan kecerdasan yang tinggi. Ini juga pendapat keliru. Berbagai penelitian membuktikan, sekalipun kreatifitas bisa dirangsang dan ditingkatkan dengan latihan, namun tidak berarti orang cerdas dan berkemampuan akademik tinggi otomatis bisa kreatif. Lagi pula, untuk jadi kreatif ternyata tidak cukup berbekal skill dan kemampuan kreatif belaka. John G. Young, pengarang buku berjudul Will and Won't: Autonomy and Creativity Blocks (2002), berkesimpulan bahwa kreatifitas juga membutuhkan kemauan atau motivasi. Mengapa?

"Sebab memiliki ketrampilan, bakat, dan kemampuan kreatif tidak otomatis membuat seseorang melakukan aktivitas yang menghasilkan output kreatif. Ia bisa memilih tidak melakukan aktivitas kreatif. Jadi faktor dorongan atau motivasi sangat penting di sini," tegas Young.

Creativity blocks

Pendapat-pendapat di atas diperkuat oleh Madhukar Shukla, pengarang buku The Creative Muse: Story of Creativity and Innovation. Ia menyatakan, "Beda antara orang kreatif dan yang tidak hanyalah pada kemampuan orang kreatif dalam menghalau aral (penghalang) kemampuan kreatifitas."

Paparan-paparan para pakar di atas makin menegaskan bahwa semua orang memiliki karunia yang menakjubkan dalam hal kreatifitas. Namun, sekalipun semua orang berpotensi dan punya bakat kreatif, ada penghalang tertentu yang menyebabkan adanya kecenderungan orang yang satu bisa lebih kreatif daripada yang lain. Ini menghantarkan kita pada pertanyaan; bagaimana cara menghilangkan aral atau penghalang-penghalang kreatifitas tersebut?

Tentu saja langkah awalnya adalah dengan mengenali anatomi aral kreatifitas. Ringkasnya, aral kreatifitas (creativity block) adalah kondisi internal maupun eksternal (lingkungan) yang menghalangi proses kreatif. Aral internal berasal dari dalam diri individu sendiri dan bisa berbentuk pola pikir, paradigma, keyakinan, ketakutan, motivasi, dan kebiasaan.

Ada kalanya seseorang mempunyai bakat-bakat kreatif dan tertantang untuk mengembangkannya. Sayang, lingkungan sekitar bukannya mendukung dan mewadahi, namun malah menghalanginya. Kondisi lingkungan yang menghambat kreatifitas dan ini bisa berupa aral sosial, organisasi, dan kepemimpinan. Secara singkat, pembahasan kedua jenis aral kreatifitas tersebut adalah sbb:

Aral pola pikir

Dalam konteks kreatifitas, dikenal dua pola berpikir. Pertama adalah pola pikir produktif yang artinya jika dihadapkan pada suatu masalah, seseorang akan berusaha menemukan cara berpikir berbeda, cara pandang baru (sekalipun tidak selalu orisinil), sikap dan perilaku berbeda, merespon dengan cara-cara non konvensional, bahkan unik. Pola semacam inilah yang membuka jalan dan selalu merangsang kreatifitas seseorang.

Kedua, adalah pola pikir reproduktif yang artinya jika dihadapkan pada masalah, seseorang akan cenderung merespon dengan cara yang sama, mengulang pola pikir atau cara pemecahan lama yang sudah terbukti berhasil. Itu sebabnya pola pikir reproduktif menjadi salah satu penyebab utama kekakuan berpikir, dan dengan demikian menjadi aral kreatifitas.

Seringkali, pola pikir reproduktif berlangsung secara mekanikal atau nyaris otomatis. Dan ini terkondisikan oleh hasil pendidikan model skolastik atau lingkungan yang menuntut cara-cara berpikir praktis dan sangat terstruktur. Sampai pada saat kita mentok dalam upaya pencarian variasi solusi, di titik itulah baru kita sadari keterbatasan pola pikir reproduktif.

Aral paradigma

Tak beda jauh dengan aral pola pikir adalah aral paradigma. Sebagai cara mempersepsi, memahami, dan menafsirkan dunia sekelilingnya, atau alat untuk melahirkan gambaran batin, paradigma seseorang sangat mempengaruhi kreatifitas. Seorang dengan paradigma anti konflik umumnya kurang menyukai perubahan, atau bahkan membenci perubahan yang lebih dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan daripada dipersepsi sebagai peluang perbaikan. Padahal, kreatifitas seringkali merupakan aktivitas yang melampaui kemapanan. Kreatifitas dapat terlahir atau terstimulasi melalui benturan, persinggungan, percampuran, dan penyatuan berbagai unsur yang berbeda atau bahkan saling bertentangan.

Aral keyakinan

Turunan dari paradigmaadalah keyakinan yang bisa menjadi pendorong atau justru menjadi faktor penghambat kreatifitas. Kreatifitas sering memunculkan output baru yang berlawanan atau bahkan mengalahkan hal lampau, mengalahkan senioritas, mengalahkan pengalaman, atau mengalahkan hirarki. Dalam hal keyakinan yang dianut menabukan inisiatif, mengharuskan penghormatan pada senioritas, hirarki, atau pengalaman misalnya, maka manifestasi kreatifitas umumnya relatif terhambat. Nah, sampai batas mana individu bisa mengelola aral ini, sampai pada batas itulah ia bisa menyediakan ruang kreatifitas bagi dirinya sendiri.

Aral ketakutan

Barangkali aral kreatifitas yang paling mudah dikenali adalah rasa takut. Aral ini bisa berupa takut diabaikan, takut dicemooh, takut dievaluasi, takut dihakimi, takut dianggap bodoh, takut pada ketidaksempurnaan, takut mencoba, takut ambil risiko, takut ide tidak berjalan seperti yang diharapkan, takut gagal, dll. Salah satu sebab mengapa banyak rapat-rapat kurang maksimal atau kurang kreatif adalah karena masih kuatnya aral ketakutan yang membelenggu para pesertanya. Pendek kata, kebanyakan rasa takut membuat seseorang cenderung enggan mewujudkan potensi dan mengembangkan kreatifitasnya.

Aral motivasional

Motif sangat mempengaruhi sikap, perilaku, keinginan, atau tindakan-tindakan sengaja lainnya. Tanpa motivasi orang cenderung tidak terdorong dan tidak tergerak untuk meraih sesuatu yang diinginkannya. Padahal kreatifitas sering menuntut satu rangkaian persiapan, pemikiran, pendefinisian persoalan, dan pemecahannya. Semuanya membutuhkan --dalam derajat tertentu-- usaha dan kerja keras. Bila motivasi rendah, orang cenderung kurang menyukai kerja keras, kurang tekun, dan enggan memanfaatkan kemampuan kreatifnya untuk memecahkan tantangan.

Aral kebiasaan

Sebagai perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan, maka kebiasaan pun jelas berpengaruh pada kreatifitas. Orang-orang kreatif umumnya memiliki kebiasaan- kebiasaan yang menstimulasi kreatifitas. Sementara orang- orang yang kurang kreatif juga memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang sayangnya bisa meredam kreatifitas. Misalnya; suka menghindari masalah (bukannya mencari solusi), malas berpikir, menghindari tantangan, menghindari tanggung jawab, menghakimi ide-ide baru, berpuas diri, menghindari hal-hal imajinatif, dll. Dihadapkan pada kebiasaan-kebiasaan maka tantangan kreatifitas tidak ada artinya.

Aral sosial

Kreatifitas kadang bukan semata aktivitas individual sehingga langsung atau tidak juga dipengaruhi aspek sosial. Situasi sosial tertentu cukup apresiasif dan menghargai kreatifitas dengan layak sehingga bisa lebih memotivasi indvidu-individu untuk produktif dan kreatif. Sementara situasi sosial lainnya relatif kurang apresiasif atau bahkan mengekang. Pendidikan tradisional misalnya, sering dianggap sebagai salah satu produk sosial yang kurang memberi tempat bagi kreatifitas.

Aral organisasi

Kini organisasi bisnis menempatkan kreatifitas sebagai motor sekaligus bahan bakar inovasi. Sekalipun peran kreatifitas diakui besar, namun banyak organisasi gagal menyediakan lingkungan atau iklim yang kondusif bagi kreatifitas. Organisasi yang konservatif biasanya kurang merangsang kreatifitas. Sebut pula batasan-batasan seperti hirarki, aturan yang tidak fleksibel, ketiadaan wadah bagi ekspresi kreatif, egoisme antar departemen, buruknya komunikasi, atau situasi organisasi yang sangat terpolitisasi. Potensi kreatif individu sering tidak maksimal dalam iklim seperti ini.

Aral kepemimpinan

Dalam kehidupan sosial dan organisasional, faktor gaya kepemimpinan juga berpengaruh secara signifikan terhadap proses kreatifitas. Jika pemimpin organisasi kurang memberi ruang kebebasan, kurang bisa momotivasi, tidak mampu memberi tantangan, tidak mampu mengelola hasrat kreatif, kurang memberi penghargaan, tidak memberi kepercayaan, tidak mendukung, dan tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif, maka kreatifitas individu-individu dalam organisasi jelas akan terhambat. Seberapa kreatif individu- individu dalam tim, namun jika tidak didukung oleh kemampuan manajemen kreatif pemimpinnya, hasilnya juga kurang menggembirakan.

Sumber: Mengenali Aral Kreatifitas oleh Edy Zaqeus
Selengkapnya...