Minggu, 28 Februari 2010

AKSELERASI, PROGRAM LAYANAN ATAU INSTITUSI?


Akselerasi, sebuah program layanan pendidikan terhadap anak kategori Cerdas istimewa (gifted) yang belum mendapatkan perhatian penuh dan sistematis, terintegrasi maupun komprehensif dari pemerintah.  Program ini masih berjalan dan terus membenahi diri kedalam dan melakukan berbagai usaha pendekatan kepada pemerintah untuk terus memperbaiki system dan fasilitas dalam melayani kepentingan anak CIBI.
Namun didalam perjalanannya, program ini tidak lepas dari berbagai hambatan dan kendala yang membuat program ini terus berbenah dan merapatkan diri untuk terus saling memberikan masukan dan perbaikan sesama sekolah penyelenggara program akselerasi. 
Beberapa hambatan yang dialami diantaranya adalah adanya anggapan bahwa akselerasi adalah institusi.  Bukan layanan. 
Karena memandang akselerasi sebagai institusi, maka masyarakat akan memandang seolah akselerasi sebagai “sekolah” dalam sekolah.  Hal ini bisa dimengerti karena dalam pelaksanaannya, program akselerasi membutuhkan penanganan yang “khusus” untuk memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kecerdasan mereka yang bersifat “gifted”.
Tuntutan untuk mendapatkan “perhatian khusus” ini merupakan konsekuensi dari dibukanya layanan untuk anak cerdas istimewa yang pada umumnya membutuhkan informasi lebih banyak, metode yang lebih variatif, fasilitas yang lebih lengkap maupun kualitas guru yang tinggi.  Tuntutan tersebut menjadi sebuah kewajiban untuk memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan karakteristik mereka pada umumnya.
Salah satu kesalahpahaman ini dibuktikan dengan keluarnya surat edaran dari Direktur PSMP no. 0015/C3/KP/2010 tanggal 6 Januari  2010 tentang Pemberitahuan PPDB yang ditujukan kepada kepada Dinas Pendidikan propinsi dan Kabupaten/Kota.  Dalam surat edaran tersebut direktorat melarang sekolah yang sedang merintis menjadi sekolah bertaraf internasional untuk membuka program akselerasi. 
Ketika membaca surat edaran tersebut, berbagai pertanyaan muncul dalam benak saya.  Salah satunya adalah alasan apa yang melatarbelakangi keluarnya surat edaran tersebut.  Apakah mungkin sebuah lembaga pemerintah setingkat direktur PSMP tidak memahami hakekat dari keberadaan akselerasi sebagai bentuk layanan terhadap anak yang “gifted”.
Pada lokakarya terbatas sekolah penyelenggara akselerasi yang dilaksanakan di Bekasi pada tanggal 27 Januari 2010 muncul muncul wacana bahwa sampai saat ini masih ada sekolah atau guru yang menganggap bahwa akselerasi adalah sebuah institusi yang terpisah dari sekolah.  Kesan ini kemudian berdampak dalam cara pengelolaan akselerasi di suatu sekolah.
Jika suatu sekolah menganggap bahwa akselerasi adalah sebuah lembaga, maka sekolah akan memperlakukan siswa “gifted” dari sudut pandang yang salah.  Sekolah merasa dengan menyelenggarakan program ini maka anak-anak yang berhak menerima layanan akselerasi adalah mereka yang ingin dan mampu secara materi, bukan karena ke’khusus’annya.  Mereka dipersiapkan oleh sekolah sebagai siswa yang berbeda dengan siswa lainnya dalam mendapatkan layanan sarana dan metode yang berbeda saja.
Anggapan itu kemudian membuat pengelolaan bersifat ekslusif pula, misalnya dengan kelas yang lebih lengkap dan canggih namun tidak memberikan layanan dalam memenuhi kebutuhan mereka sebagai siswa yang cerdas istimewa dalam bentuk variasi metode dan strategi pembelajaran.  Maka jangan heran kemudian ada anggapan bahwa program akselerasi ini tidak tepat dalam menangani anak cerdas istimewa.
Dampak lainnya adalah sekolah merasa bahwa memberikan layanan kepada anak cerdas istimewa ini hanya terbatas bagi mereka yang ada di kelas akselerasi.  Padahal dalam kenyataannya, siswa yang termasuk kategori cerdas istimewa tidak selamanya berada di kelas akselerasi.  Karena alasan tertentu, bisa jadi seorang siswa yang termasuk kategori cerdas istimewa tidak memilih kelas akselerasi, namun masuk ke kelas reguler. 
Siswa yang cerdas istimewa namun memilih untuk tidak masuk akselerasi pun harus mendapatkan layanan yang sama.  Mereka juga berhak untuk menerima layanan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan akan informasi atau ilmu yang sama dengan temannya yang masuk akselerasi.  Jika hal ini terjadi maka disuatu sekolah ada yang menutup kelas akselerasi karena siswa yang masuk ke kelas akselerasi kurang dari 10 orang.  Dan karena tidak ada kelas akselerasi, maka layanan yang seharusnya diterima anak cerdas istimewa tidak lagi dilakukan.
Padahal bila sekolah menyadari, kelas akselerasi hanyalah bentuk pengelompokkan yang bersifat kasuistis dimana bila siswa yang mau dan masuk kategori cerdas istimewa banyak dan membutuhkan perhatian lebih sehingga diperlukan sebuah kelas untuk mempermudah pengelolaan.  Namun hal itu tidak menjadi penutup bagi bentuk layanan serupa bila mereka tidak berada di kelas akselerasi.
Dampak lainnya adalah masih ada sekolah yang memaksakan dirinya untuk terus menyelenggarakan program akselerasi dengan cara menurunkan standar baku bagi siswa yang layak mendapatkan layanan akselerasi.  Misalnya dengan menurunkan standar IQ, akademis atau aspek lainnya demi memenuhi target jumlah tertentu untuk menyelenggarakan program akselerasi.  Kelas menjadi syarat mutlak bagi penyelenggaraan akselerasi, ini masih terjadi di sekolah lain yang menyelenggarakan program ini.
Guru yang menganggap akselerasi sebagai sebuah lembaga akan menyebabkan mereka salah paham terhadap program ini.  Berbagai modifikasi dan penyesuian kurikulum atau pengelolaan akselerasi dianggap sebagai keistimewaan yang bersifat eksklusif dan diskriminatif.  Ada yang menganggap bahwa guru yang mengajar diakselerasi adalah guru yang paling baik dan yang tidak mengajar diakselerasi adalah guru kelas dua.  Padahal untuk menjadi guru akselerasi memang membutuhkan kualifikasi tertentu yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan sekolah.
Penetapan standar ini tidak dalam arti kemampuannya memahami materi saja namun juga meliputi kemampuan guru dalam mengembangkan metode dan strategi belajar.  Dan yang paling penting adalah mereka memiliki pikiran terbuka untuk mau memahami karakteristik dari anak cerdas istimewa.
Namun pada hakekatnya, semua guru bisa dan harus mampu memberikan layanan yang sama terhadap kelas reguler.  Selain karena ada siswa cerdas istimewa di kelas reguler, namun juga karena hakekatnya adalah semua layanan yang diberikan kepada siswa akselerasi juga bisa diterapkan kepada siswa reguler dalam kadar dan tingkat tertentu.
Misalnya di kelas akselerasi, guru dituntut untuk mampu menempatkan siswa sebagai subyek pembelajaran dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencari sumber alternatif dari materi yang disampaikan guru untuk memenuhi keingintahuan mereka terhadap materi belajar.  Sebenarnya hal ini bisa dan harus diakukan guru juga di kelas reguler.

Dari uraian diatas, bila kita memandang akselerasi sebagai sebuah institusi maka sangat berpeluang terjadi kesalahpahaman dan kesalahan dalam pengelolaan program ini.  Semua pihak harus menyadari hakekat dari adanya layanan ini. 
Dengan memandang akselerasi sebagai layanan maka sebenarnya semua sekolah bisa memberikan layanan terhadap siswa cerdas istimewa tanpa harus merasa terhambat karena tidak mendapatkan ijin menyelenggarkan program akselerasi. 
Layanan terhadap siswa cerdas istimewa tidak selalu harus dalam bentuk meluluskan siswanya dalam jangka waktu dua tahun, namun dengan memberikan layanan kurikulum yang memadai bagi mereka yaitu dengan menyusun kurikulum yang diperluas dan diperdalam.  Kurikulum tersebut akan memberikan pedoman kepada guru dalam memberikan layanan kepada mereka dengan tepat.
Semoga artikel ini bisa menjadi wacana yang bisa didiskusikan oleh penyelenggara akselerasi untuk mendapatkan solusi dan sudut pandang baru terhadap layanan ini.
Selengkapnya...

Senin, 01 Februari 2010

HASIL RAPAT KONSULTASI DIREKTORAT JENDRAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DENGAN ASOSIASI SEKOLAH PENYELENGGARA AKSELERASI PUSAT


Jakarta,  1 Februari 2010 pukul : 14.00 – 16.00 WIB

Pertemuan diawali oleh pembukaan dari Sekretaris Jendral Asosiasi Sekolah Penyelenggara Akselerasi Pusat.
Kami  tidak  berbicara masalah layanan untuk anak yang memiliki kategori pintar, namun layanan ini adalah untuk anak yang termasuk kategori “gifted”.Tidak berbicara masalah layanan anak pintar, namun berbicara masalah layanan pendidikan bagi anak kategori gifted.  Dimana secara karakteristik anak-anak seperti ini memerlukan layanan yang sesuai dengan karakteristik mereka yang unik.
Layanan  ini memiliki payung hukum dan keilmuan sehingga dalam pelaksanaannya, kami berusaha untuk tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan.  Dalam teori memang banyak tipe layanan untuk anak gifted ini, namun bila melihat hukum dan system yang telah dipersiapkan dengan baik, kami memilih akselerasi sebagai bentuk layanan terhadap anak gifted tersebut.
Dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar, pembelajaran, anak-anak yang masuk program akselerasi tetap sama dengan KBM di kelas regular sehingga layanan ini tidak ekslusif.  Dari mulai waktu belajar, kegiatan non akademis, prosedur dan tahapan pembelajaran.  Sehingga pada hakekatnya akselerasi tidaklah  ekslusif seperti yang dibayangkan oleh banyak orang.
Kami anggap RSBI sebagai rumah dan akselerasi adalah anak yang membutuhkan layanan yang berbeda tergantung sifat, karakter dan tahapan perkembangan.  Tentunya, karena setiap anak memiliki sifat, karakter dan gaya belajar yang berbeda, oleh karena itu  maka adalah sebuah kewajaran bila kemudian threatment dan bentuk layanannya pun berbeda.
Asosiasi CI+BI Nasional sangat menyesalkan isi surat yang memuat larangan tersebut, karena keberadaan program akselerasi di sekolah-sekolah berdasarkan UU, PP, Permendiknas dan keputusan Dirjen Mandikdasmen. Dengan demikian keberadaan program adalah sah secara hukum, dan tindakan pelarangan adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu.
Berikut ini kami sampaikan beberapa aturan perundangan-undangan dan peraturan pemerintah yang menjadi landasan penyelenggaraan program akselerasi tersebut.
1.      UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 52 : Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan  aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
2.      UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3: “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik........”
3.      UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 4 : “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus”.
4.      UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51 ayat 1 : “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Penerapan prinsip MBS berarti sekolah memiliki kewenangan untuk mengembangkan mutu pendidikan berdasarkan kebutuhan input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
Penerapan MBS juga berarti memberikan delegasi kewenangan kepada sekolah untuk mengupayakan peningkatan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua, peserta didik, masyarakat dan pemerintah setempat. Ini berarti penyelenggarakan program aksel adalah salah satu upaya sekolah untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang bersangkutan.
5.      RPP tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan (draft Mei 2009), paragraf 2 pasal 146 ayat 1: “Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan formal TK/RA/BA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat.
6.      Framework for Action Salamanca Statement 1994 : The guiding principle of this Framework is that schools should  accommodate all children…. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from remote of nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalized areas or groups…. The challenge confronting the inclusive school is that of developing a child-centered pedagogy capable of successfully educating all children. (Framework for Action, no. 3, page 6)
7.      Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
8.      Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70/2009 Tentang Pendidikan Inklusif  Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
Pasal 1 : “Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.
Pasal 5  ayat (1) : “Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah”. Sekolah SSN atau RSBI adalah sekolah yang memiliki sumber daya yang memadai untuk menyelenggarakan pendidikan bagai peserta didik  didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dalam bentuk program akselerasi.
9.      Penyelenggaraan program akselerasi difasilitasi oleh Ditjen Dikdasmen pada tahun 1998/1999 melalui ujicoba pada tiga sekolah di DKI Jakarta dan Jawa Barat.  Pada tahun 1999 dikeluarkan SK Dirjen Dikdasmen tentang Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar kepada 1 SD, 5 SMP, dan 5 SMA di DKI dan Jawa Barat.

10.  Salah satu sekolah yang ditetapkan menjadi penyelenggara akselerasi adalah SMP Labschool Jakarta, melalui Surat Keputusan Dirjen Dikdasmen Depdikbud no. 191/C/Kep/MN/1999 tanggal 7 Juli 1999 tentang penetapan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP Yayasan Pembina IKIP Jakarta sebagai Penyelenggara Program Percepatan Belajar.
11.  Program akselerasi kemudian dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dalam Rakernas Depdiknas tahun 2000, menjadi salah satu Program Pendidikan Nasional. Selanjutnya, sejak tahun 2001 dilakukan diseminasi program percepatan belajar pada beberapa sekolah di beberapa propinsi di Indonesia. SK penyelenggaraan akselerasi tersebut kemudian diterbitkan oleh Dinas Pendidikan.
Dengan mengacu pada beberapa UU, PP dan Permendiknas, tampak bahwa pelarangan SMP RSBI mempunyai kelas Akselerasi jelas sangat bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada. Lebih lanjut, penyelenggaraan RSBI maupun Akselerasi dapat dilaksanakan seiring karena keduanya merupakan layanan upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Penyelenggaraan Akselerasi yang telah berlangsung sejak tahun 1999 sampai dengan saat ini telah menunjukkan output dan outcome yang sangat menggembirakan.
Perlu juga bapak ketahui, bahwa jumlah peserta didik yang memiliki potensi cerdas/berbakat istimewa yang bisa tertampung di program akselerasi baru berjumlah 9551 orang. Hal ini disebabkan masih terbatasnya jumlah sekolah yang menyediakan program akselerasi. Oleh karena itu sangat ironi, ketika pemerintah mengupayakan pemberian layanan terbaik bagi anak CI+BI, tetapi Direktur PSMP justru melarang SMP-RSBI untuk menyelenggarakan program akselarasi.
Oleh karena itu, dengan hormat, kami minta agar bapak membatalkan pelarangan  bagi SMP RSBI untuk menyelenggarakan program akselerasi, sesegera mungkin. Penerbitan surat tersebut itu telah meresahkan para penyelenggara dan serta mengganggu kelancaran serta ketenangan proses pendidikan bagi siswa program akselerasi.
Asosiasi CI+BI Nasional sangat terbuka untuk berdialog dan berdiskusi terkait dengan hal ini.
Atas perhatian dan kesediaan Bapak, kami sampaikan terima kasih

Pengurus Asosiasi CI+BI Nasional
Amril Muhammad, SE., M.Pd.
-Sekretaris Jenderal.-

Tanggapan dari Direktur Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Bpk. Didik Suhardi,S.H, M.Si
Kita sepakat semua ingin memberikan threatment yang benar kepada anak-anak gifted.  Asumsi kami, anak-anak yang masuk RSBI adalah anak-anak gifted. Tapi kenyataannya tidak semua anak SBI adalah anak gifted oleh karena itu kami akan membuat sebuah penjelasan tentang alas an keluarnya surat bernomor 00115/C3/KP/2010 yang berisi tentang Pemberitahuan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.
Anak RSBI, concept children sementara aksel mungkin adalah anak gifted sehingga asumsi kami, untuk kedepan, setelah sekolah menjadi SBI maka tidak ada lagi pengelompokkan kelas berdasarkan tingkat intelektualitas, unggulan, bilingual dan adanya sekolah yang ditumpangi sekolah lain.
Tentang layanan akselerasi, kami nyatakan dan semoga disepakati oleh semua pihak bahwa layanan akselerasi masih boleh dilaksanakan dengan terintegrasi dengan program RSBI sehingga layanan akselerasi dapat menjadi nilai tambah dalam pelaksanaan RSBI.
Menyinggung terintegrasinya akselerasi ke dalam RSBI tentunya PSMP akan melakukan pembinaan yang terintegrasi agar semua sekolah RSBI dapat memberikan layanan terhadap anak gifted dan akhirnya akselerasi tidak lagi terkesan eksklusif.
Terima kasih atas masukannya.

Selengkapnya...