Kamis, 04 November 2010

BELAJAR DARI FILM PERANG BUBAT

Pemda jabar bermaksud untuk membuat sebuah Film dengan mengangkat tema “Perang Bubat”. Sebuah perjalanan sejarah yang kebenarannya masih harus melalui penelitian lebih lanjut dan pembuktian yang memenuhi unsure-unsur keilmuan, karena sampai sekarang masih banyak ragam sudut pandang. Perbedaan ini bisa dilihat dari beberapa sumber tertulis Kidung Sundayana yang menceritakan rasa simpatinya terhdap Kerajaan Sunda yang mendapat perlakukan tidak terpuji dari Patih Gajah Mada yang terkesan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, namun dalam Pararaton, justru peran Gajah Mada terkesan samar dalam peristiwa tersebut. (Pikiran Rakyat, 4 Januari 2010).
Pendapat pro kontra pun merebak. Yang setuju dengan proyek pembuatan film ini beralasan bahwa peristiwa sejarah ini layak dan penting untuk diketahui oleh masyarakat banyak, minimal sebagai bahan kajian sejarah dengan mengakomodasi berbagai sudut pandang. Dan yang tidak setuju menganggap film ini akan berpotensi melahirkan konflik dan mempertajam rasa “permusuhan” yang telah terpendam selama ini antara orang Jawa Barat dan Jawa Timur. Alasan lainnya adalah karena masih banyak versi cerita tentang peristiwa tersebut dan kurangnya bukti yang bisa dijadikan landasan ilmiah bagi pembenaran dari salah satu versi yang ada.
Sebagai masyarakat awam yang tidak memiliki keilmuan yang mendalam tentang sejarah Perang Bubat dan jarak yang sangat panjang dengan peristiwa tersebut, namun tertarik untuk sedikit terlibat dalam mendiskusikan wacana ini sebagai proses pembelajaran bagi warga Negara diseluruh negara dengan tujuan untuk memberikan wawasan tambahan dan pandangan alternatif dari peristiwa yang dianggap membawa efek spikologis negative terhadap hubungan antara warga Jawa Barat dengan Jawa Timur, padahal peristiwa tersebut telah terpisahkan lebih dari tiga abad yang lalu.
Namun, haruskah kita tetap terjebak pada peristiwa masa lalu dan mengungkung kita sehingga menghambat kemajuan kita sebagai sebuah bangsa besar. Saatnya kita memandang sejarah tidak semata sebagai satuan peristiwa berdasarkan urutan waktu dan ketokohan, namun lebih memandangnya sebagai cermin bagi kita dalam menatap masa depan. Waktunya kita bisa mengambil pelajaran dan pengetahuan dari setiap sejarah, seperti yang pernah diucapkan presiden pertama kita,”Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
MENGAPA HARUS FILM
Munculnya wacana untuk membuat film yang bertemakan sejarah yaitu peristiwa “perang Bubat” layak kita sambut dengan arif dan bijak sebagai sebuah tawaran tontonan yang menghibur sekaligus mendidik anak bangsa untuk lebih mengenal sejarah bangsanya yang besar. Apalagi animo masyarakat Indonesia terhadap perfilman nasional sedang dalam taraf meningkat dan mereka rindu film-film yang mewakili bangsanya, jati diri sebuah bangsa yang besar dan pernah dibuktikan dengan perjalanan panjang nenek moyangnya dalam membangun peradaban besar dan adiluhung.
Kekhawatiran yang menyatakan bahwa film ini berpotensi memunculkan konflik, tidak berdasar sama sekali karena masyarakat Indonesia saat ini sudah sangat berubah dengan masyarakat yang dulu. Berbagai sumber alternatif informasi dan pengetahuan beredar luas dimasyarakat, begitu juga dengan akses mereka untuk memperoleh informasi tersebut sangat mudah dan murah. hal ini telah membuat masyarakat Indonesia lebih terbuka dengan berbagai kemungkinan serta lebih bijak dalam memandang permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan sejarah bangsa ini.
Kita bisa lihat bagaimana respon masyarakat ketika film G30s/PKI ditayangkan dan ketika sejarah kemudian berubah, apakah ada konflik atau kekerasan? Hampir tidak ada! Begitu juga ketika kita dijejali dengan film Janur Kuning yang menonjolkan ketokohan seseorang, namun setelah sejarah lebih terbuka, masyarakat kita bijak menjadikan berbagai wacana sebagai perbandingan dan kemudian dengan arif masyarakat membuat kesipulannya sendiri di warung-warung kopi atau di warung tegal dengan santai.
Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk khawatir dengan konflik yang muncul dengan beredarnya film ini. bahkan film ini bisa menjadi sumber wacana baru dan memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat sehingga informasi yang didapat jauh lebih beragam dan berbobot. Setiap orang yang memiliki keilmuannya bisa menjadikan film ini sebagai pijakan awal dalam membuka wacana secara lebih mudah. Melalui film, uraian dan teori sejarah menjadi lebih mudah dipahami melalui audio visual ketimbang dengan modul dan buku tebal. Setiap bagian cerita dalam film dapat diperbandingkan dengan versi lain. Sama halnya dengan film Sangkuriang yang dibuat film dalam berbagai versi, masyarakat kita tetap bisa menerimanya dengan terbuka.
Begitu juga dengan usulan harus melakukan penelitian yang komprehensif dan mendalam sebelum membuat film agar bisa mengakomodasi berbagai sumber. Pertanyaan harus berapa lama? Jangan-jangan hasilnya malah ketidakjelasan dan kekaburan yang lebih parah dan film kemudian batal diproduksi. Lantas kita kehilangan momentum untuk belajar dari sejarah yang penting untuk kita gali, renungkan, diskusikan dan dipahami dengan bijak. Dan “rasa dendam” itu dibiarkan menyala tanpa makna. Alangkah lebih baiknya bila pembuatan film ini segera dimulai dengan literature dan sumber yang ada kemudian disesuaikan dengan alur cerita sebuah film dan digulirkan kepada masyarakat dan menampung berbagai sumber lain sebagai perbandingan. Jadi film ini akan dijadikan awal bagi sebuah pendidikan yang panjang bagi semua pihak dalam menilai sejarah. Film ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah kebenaran, namun harus menjadi pelopor bagi sebuah diskusi bagi proses pencarian kebenaran lainnya dari bangsa ini.
Tantangan berikutnya bagi pemerintah daerah adalah mensosialisasikan rencana ini dan pelajaran yang bisa diraih masyarakat bila film ini jadi dibuat. Dengan sosialisasi tersebut maka masyarakat tidak akan lagi merasa rugi dengan materi dan uang yang dikeluarkan untuk pembuatan film itu. Kita perlu mendidik dan melatih masyarakat untuk tidak mengukur segala hal dari sudut pandang jumlah rupiah. Toh kita tidak marah ketika APBN kita pergunakan 20%-nya untuk bidang pendidikan karena kita menyadari bahwa uang tidak selalu berurusan dengan perut tapi juga otak dan jatidiri bangsa.
Tentunya pemerintah juga perlu memikirkan alternatif lainnya untuk tidak terlalu membebankannya terhadap anggaran pemerintah , namun juga memberikan kesempatan kepada semua pihak yang merasa tergugah untuk terlibat dalam sebuah misi besar ini. pemerintah harus mau melibatkan pihak swasta untuk bersama memikul tanggung jawab ini sehingga pembiayaan dan rasa tanggung jawab ini bisa juga dirasakan oleh semua pihak.
Namun demikian, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah, beberapa diantaranya adalah tidak terlalu membebani film ini dengan berjuta pesan dan titipan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan terselubung seperti menjadi iklan tokoh tertentu, program tertentu atau perusahaan tertentu. Sudah banyak program televise yang popular kemudian ditinggalkan pemirsanya karena terlalu banyak hal yang tidak sesuai dengan kehendak masyarakat namun lebih mewakili kepentingan pemerintah. Membosankan!
Hal lainnya adalah adegan demi adegan yang akan muncul di film. Dengan landasan sebagai media hiburan dan pendidikan tentunya pemerintah harus jeli melihat kemungkinan munculnya adegan yang terkesan di luar batas kewajaran mengingat cerita yang diangkat akan bernuansa laga dan legenda. Hal ini tidak berarti bahwa film akan berubah menjadi membosankan karena secara tekhnik dan trik, pekerja film yang cerdas tentunya akan menampilkan sesuatu yang bernilai tanpa harus mengeksplorasi kekerasan secara telanjang.
Semoga uraian diatas bisa mewakili kelompok masyarakat yang menginginkan adanya perubahan dalam pandangan masyarakat Indonesia terhadap sejarah dan maknanya bagi kehidupan berbangsa. Semoga!

Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Guru SMP Taruna Bakti Bandung
Selengkapnya...