Kamis, 22 Januari 2009

Selamat datang dunia baru yang penuh dengan toleransi.
Menulis dan membaca tulisan tentang toleransi beragama harus hati-hati dengan kata-kata dan kalimat. Kesalahapahaman mudah muncul ketika kita membahas agama, khususnya tentang toleransi. Hal ini menjadi wajib diperhatikan karena ketika kita berbicara toleransi maka harus membuang sikap egois beragama dan berani mengakui persamaan nilai-nilai universal keagamaan, walau pada tataran praktek kita sering melihat hal yang sebaliknya.
Penulis merasa perlu membahas ini karena memiliki mimpi Indonesia dibangun dalam suatu masyarakat yang hidup harmonis membangun bangsa dan negara ini tanpa harus menghabiskan energi dan pikiran untuk menangani masalah pertentangan agama. Mengapa agama yang harus dibahas? Karena penulis menyadari, sangat menyadari, kalau hal “keduniawian’ kita masih bisa berbagi, namun dalam kehidupan beragama kita sering sekali terjebak pada keyakinan bahwa agama kita adalah syorga dan agama lain adalah neraka! Hal itu tidak akan menimbulkan masalah ketika keyakinan itu disimpan dalam sanubari masing-masing dan tidak menjadikan semangat “mengkafirkan” keyakinan orang lain.

Tulisan ini harus dimulai dari sebuah perumpamaan sebagai berikut :
“Saya akan tersinggung dan marah bila ada penganut agama lain menghina agama saya dengan berbagai cap seperti “neraka”, “teman setan”, “salah” dan “gelap”. Saya akan memberontak ketika ada penganut agama lain memaksakan keyakinannya kepada saya melalui ancaman dan kekerasan, saya akan membantah keras kalau ada beberapa nilai keyakinan saya dianggap irasional, klenik atau kuno”
“Saya akan menganggap agama saya aalah yang paling benar, saya akan terus menanamkan keyakinan itu melalui kehidupan saya sehari-hari. Saya akan terus melatih segala kekurangan saya dalam melakukan ibadah. Hal-hal yang berbau irasional dalam agama saya selalu saya anggap sebagai ujian keimanan. Logika saya akan saya “gembala” menuju tuntunan agama saya”
Nah…sekarang, bayangkanlah semua orang akan mengatakan hal yang sama pada dirinya sendiri tentang agama dan keyakinannya masing-masing. Lantas dimana “alasan” atau “pembenaran” kita untuk men”jastifikasi” agama orang lain. Kalau kita marah apabila agama kita diganggu, dihina dan dihujat, bagaimana dengan orang lain? Kalau kita meyakini agama kita sepenuh hati, bukankah orang lain juga memiliki hak untuk itu?

Ketika anak saya bertanya, “ayah kalau orang Islam akan masuk syorga?” saya menjawab “insyaAllah”. Lantas dia bertanya kembali,”Kalau yang tidak Islam berarti masuk neraka?” saya menjawab, “Nggak dong, mereka juga masuk Syorga, tapi syorga-nya agama mereka”. Anak saya kembali bertanya,”emang syorga itu banyak?”, saya hanya bisa menjawab,” Tiara, Tuhan tidak akan kesulitan dan tidak akan rugi membuat syorga yang maha luas dan maha banyak. Tiara kan tahu Allah Maha Kaya dan Maha Pengasih”.
Saya tidak pernah berpikir apakah anak saya akan memahami atau tidak pernyataan itu diusianya yang ke 8 tahun. Tapi saya hanya ingin anak saya mulai untuk menghargai keyakinan agama orang lain dengan tidak dijejali pernyataan “negatif” tentang agama lain dan “hanya” mengatakan pernyataan “positif” saja tentang agama saya. Saya ingin anak saya memiliki sikap dan pandangan “positif” tentang agamanya dan agama orang lain. Bahkan setelah memberikan landasan yang kuat tentang agamanya, saya ingin sekali memperkenalkan kepadanya tentang ajaran dan nilai-nilai agama lain yang ada di bumi ini.
Pada saat yang tepat, saya harus menerangkan bagaimana agama Kristen mengajarkan kasih sayang sesamanya melalui Bunda Theresia atau Bapak Mangunwijaya yang telah mengabdikan hidupnya untuk orang-orang miskin, terpinggirkan dan pengabdian mereka kepada kemanusiaan. Saya ingin memperkenalkan ajaran dan nilai dalam kitab Mahabarata serta Ramayana dan implementasinya pada diri Mahatma Gandhi, memberikan sedikit pengertian tentang Para Dewa sebagai representasi sifat-sifat Tuhan sehingga pandangannya menjadi jernih ketika melihat ritual dan ibadah kaum Hindu. Saya ingin juga mengajarkan “jalan tengah” sang Budha dengan segala ajaran dan filosofinya dalam menyikapi hidup yang serba menjebak dan melahirkan kesengsaraan. Saya akan berikan alternatif pemikiran tentang Reinkarnasi, Dharma dan Syorga Neraka dari semua sudut pandang semua agama.
Saya tidak ingin pengalaman saya yang hanya dijejali dengan berjuta pernyataan tentang agama saya tanpa sedikit pun diberi keleluasaan untuk belajar agama lain. Saya merasakan bagaimana saya terbiasa untuk melihat dunia ini “hitam-putih” saja. Pandangan sempit itu pernah membuat saya menjadi picik.

Bagaimana kita bisa dengan lantang meng-klaim bahwa agama kita paling toleran dibandingkan agama lainnya, sementara pernyataan kita tidak pernah lepas dari menghujat ajaran agama lain. Bagaimana kita bisa yakin dengan kebenaran agama kita sementara kita tidak pernah bahkan melarang untuk mempelajari agama lain. Bagaimana kita meyakini Nabi Muhammad sebagai tauladan yang paling toleran sementara tingkah laku kita sangat-sangat tidak “Muhammad” ?
Ada semacam ketakutan pada diri kita ketika ada keluarga, rekan dan sejawat kita mempelajari agama lain. Takut kalau-kalau mereka akan terpangruh dan berpindah keyakinan. Semakin besar ketakutan itu, bukankah berarti semakin kurang keyakinan kita akan kebenaran agama kita sendiri? Dan ketidakyakinan akan keteguhan mereka kepada agamanya sendiri? Semua orang berhak untuk mencari kebenaran sejati!
Membangun toleransi memang tidak selalu harus melalui mempelajari agama lain, saya paham itu. Tapi setidaknya dengan mempelajarinya, keyakinan saya akan kebenaran agama sendiri menjadi semakin kuat dan pemahaman saya tentang agama lain pun akan semakin mendalam. Sampai pada titik keyakinan…
“Bagi Tuhan tidak sulit membuat penduduk dunia ini meyakini satu agama yang di Ridhai-Nya, tapi Tuhan tidak melakukannya karena pasti ada berjuta hikmah di dalamnya. Lantas mengapa kita ingin lebih berkuasa dari Tuhan dengan ingin menyatukan keyakinan itu? Dan sangat mudah bagi Tuhan untuk menghancurkan agama lain yang tidak diinginkan-Nya, tapi mengapa Tuhan tidak melakukannya kalau tidak ada maksud tertentu. Lantas mengapa kita merasa paling “tuhan” dengan ingin menghancurkan agama, dan keyakinan lainnya?”

Semakin banyak saya mempelajari keyakinan dan agama lain maka saya semakin yakin bahwa mereka memiliki alasan-alasan “LOGIS” tersendiri untuk membenarkan keyakinannya, sama dengan kita sendiri yang melakukannya dengan agama kita masing-masing. Dan alangkah indahnya apabila kita bisa belajar untuk lebih toleransi antar pemeluk agama lainnya.
Ada penulis agama Hindu yang bukunya saya baca dan menulis beberapa penyataan dalam kitab dan kenyataan di dunia bahwa agama Hindu adalah agama paling toleran, begitu juga dari buku agama Budha yang saya baca, begitu juga dari buku-buku dan ceramah pemuka agama saya sendiri, Islam. Saya temukan juga pada beberapa buku Kristen yang mengatakan pentingnya toleransi. Tapi saya masih gelap dan miris dengan kenyataan yang terjadi di dunia ini.

Melalui pendidikan yang saya jalani, saya ingin memulai untuk membangun jiwa toleransi itu secara total. Saya membaca buku sejarah peradaban manusia, dan hampir seluruhnya berisi dengan perkembangan suatu agama baru, menyebarkannya dengan menghancurkan agama lainnya. Terus berulang dan berulang. Dendam dan nafsu yang dibalut dengan keyakinan sebagai “tentara tuhan”, “wakil tuhan”, “janji syorga”, “pengabdian tertinggi karena kaykinan” telah banyak menodai sejarah peradaban manusia itu sendiri dengan darah dan kesengsaran berkepanjangan.
Saya sempat berpikir seandainya agama itu tidak pernah ada, minimal satu penyebab kehancuran peradaban ini hilang dari muka bumi. Tapi ah…itu sesuatu yang sia-sia saja karena semua itu telah terjadi. Sekarang adalah tugas saya dan dunia pendidikan untuk memperbaikinya.
Selamat datang dunia baru yang penuh dengan toleransi. Selengkapnya...

Kamis, 15 Januari 2009

GURU DAN “KEKERASAN” DISEKOLAH

Kekerasan dalam tanda koma!
Telah menjadi berita yang sering didengar, seorang guru melakukan kekerasan terhadap siswanya di sekolah. Ada apa dengan pendidikan di Indonesia? Apakah penegakan disiplin identik dengan kekerasan? Ataukah memang kekerasan adalah sebuah keniscayaan bagi dunia pendidikan? Dan apakah kekerasan ini merupakan sebuah tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi sebagai ciri sebuah bangsa dengan mental jajahan?
Dari berita yang kita lihat, seorang guru melakukan pemukulan terhadap siswanya secara estafet dari satu siswa ke siswa lainnya. Demonstratif di depan siswa lainnya, lalu mengatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah sebagai upaya penegakan disiplin dan diselimuti rasa sayang untuk masa depan siswa.
Ah…seandainya “kasih” dan “sayang” harus diwujudkan dalam bentuk tamparan dan pukulan, saya lebih baik tidak pernah mengenal dua kata itu! Karena sebenarnya alasan apapun hanyalah pembenaran dari suatu tindakan yang salah. Tidak ada alasan logis dan benar secara hukum bila kita melakukan kekerasan., bahkan orang tua pun bisa kena sangsi bila melakukan kekerasan terhadap anaknya. Apalagi seorang guru yang tidak memiliki hubungan darah apapun dengan siswanya.

Kemunduran Peran dan Fungsi Guru?
Dunia pendidikan dilandasi oleh filosofi “Tut Wuri Handayani”, apa artinya? Guru bukanlah pemilik kebenaran dan pengetahuan tentang kehidupan. Siswa bukanlah obyek dari sebuah proses pendidikan. Guru dan siswa memiliki posisi yang sama sebagai manusia pembelajar, memiliki nilai kebenaran universal dalam diri mereka sebagai seorang individu bebas dan guru berjalan di belakang untuk mengawasi dan mengembalikan proses yang menyimpang dari nilai-nilai budaya dan kebenaran yang ada dimasyarakat. Ki Hajar Dewantara tidak menekankan (walau harus dilakukan) “Ing Ngarso Sung Tulodo” karena merasa guru belum tentu mampu menjadi tauladan yang baik bagi siswanya, dan tidak juga menekankan “Ing Madyo Mangun Karso” (walau tetap harus diusahakan) karena motivasi internal harus menjadi landasan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itulah proses pendidikan kita disebut sebagai proses belajar mengajar.
“Proses Belajar Mengajar” memiliki makna, proses belajar bagi siswa dan guru dalam memaknai setiap ilmu yang ditemukan dan dialami, proses mengajar bagi guru dalam memberikan pendampingan kepada siswa untuk menyikapi dan memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari serta proses belajar untuk terus berkembang dalam mengajar bagi guru itu sendiri.
Lantas dimana pembenaran untuk melakukan kekerasan sebagai dalih untuk menegakkan disiplin?
Mungkin dunia pendidikan harus melakukan introspeksi kedalam dan memaknai kembali peran guru sebagai orang yang “Tut Wuri Handayani”. Profesionalisme yang terus didengung-dengungkan oleh pemerintah harus diikuti oleh berbagai kebijakan dalam sebuah sistem yang kuat dan mampu melakukan pembinaan profesi serta memfasilitasi guru dalam mengembangkan kemampuannya secara mandiri.
Sertifikasi yang pada awalnya untuk memberikan pengakuan kepada guru yang mampu menunjukkan karya dan prestasi profesi yang baik, telah berfungsi menjadi beban tambahan yang harus dipikul guru dengan seabrek syarat administrasi yang gampang dimanipulasi, ketidakpastian terhadap profesi guru yang berstatus honorer, himpitan ekonomi di dunia yang terus mengalami krisis, segudang suri tauladan yang dicitrakan, pekerjaan di berbagai tempat sebagai lahan mencari pendapatan, tugas administrasi yang bertele-tele, KTSP, KBK dan permasalahan lain menjadi masalah klasik yang menujukkan ketidakkosistenan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dan pembangunan sistem dunia pendidikan yang parsial dan lebih bernuansa politis ketimbang sebuah kebijakan jangka panjang. (Ngomong-ngomong kebijakan anggaran pendidikan 20% itu akan panjang ngga ya? Eh…BBM naik lagi setelah pemilu selesai? Walahualam!)

Pergeseran Paradigma Masyarakat Terhadap Peran dan Fungsi Guru
Eit…tunggu dulu…!
Masalah kekerasan yang terjadi merupakan permasalahan yang nampak seperti gunung es. Masalah lainnya sebagai penyebab dampak kekerasan ini adalah hasil dari suatu sistem yang tidak ajeg. Tidak jelas dan akumulasi dari sakitnya masyarakat itu sendiri.
Guru, sebagai bagian dari masyarakat tidak bisa dilepaskan dari segala permasalahan yang terjadi di masyarakat. Orang tua misalnya. Banyak orang tua yang “menyerahkan” anaknya sepenuh hati dan rela mengeluarkan uang banyak asal anaknya pendapatkan “pendidikan” yang layak dan kalau bisa sehari penuh menjejalinya dengan berbagai ilmu dan etika masyarakat yang berlaku (sambil menunggu orang tua pulang bekerja). Itu tidak salah, namun pernahkan orang tua juga mengevaluasi sampai sejauh mana menerpakan etika, nilai dan norma itu di rumah? Nilai dan etika mana yang dipakai? Samakah norma itu dengan norma yang ditanamkan di sekolah? Atau malah berbeda dan menimbulkan kebingungan di benak anak-anak?
Pada satu sisi guru memang mendapat mandat sebagai pendidik nilai masyarakat, tapi akan menjadi suatu benturan ketika dirumah ada orang tua yang menganggap bahwa mencontek adalah lumrah dan mengatakan kepada anaknya bahwa “bapak juga dulu menjadi dokter karena sering mencontek, nak”.
Dimata anak, sekolah telah menjadi “musium dan penjara” moral dengan guru sebagai sipir moral tersebut ditengah-tengah arus perubahan budaya dan revolusi dunia informasi yang tengah melanda dunia. Pandangan anak akan korupsi, budaya mencontek, tawuran dan etika pergaulan bebeas telah menjadi sebuh trend. Nilai kejujuran, patriotisme, kerja keras dan pemahaman akan pentingnya ideologi telah tergerus oleh arus perubahan budaya dunia dan Indonesia menjadi konsumen mentah-mentah produk asing. Anak kemudian menganggap bahwa menentang guru berarti sebuah perjuangan. Anak yang berhasil mengelabui guru menjadi pahlawan dan eksis dimata mereka.
Perbedaan perlakuan di rumah, nilai yang berkembang di masyarakat dan kekakuan sekolah dalam menerapkan disiplin semakin membuat siswa frustasi dan mengalami kebingungan mencari landasan dan prinsip dalam bergaul dan bermasyarakat. Ada gap yang sangat curam antara nilai “suci” yang sekolah tanamkan dengan realitas di masyarakat.
Guru menjadi dilematis! Menerapkan disiplin dan etika yang dianggap siswa telah usang? Membiarkan siswanya menemukan sendiri nilai kebenarannya berdasarkan pengalamannya? Semua mengandung konsekuensi yang tidak kecil.
Salahkah Guru Memukul?
Ini bukan pembelaan!
Kekerasan itu salah ! memberikan sangsi bagi siswa yang bandel dianggap sebagai tugas mulia dalam peran dan fungsinya sebagai guru. Padahal selain hukuman, yang jauh lebih penting adalah menghargai siswa sebagai manusia yang juga memiliki banyak peluang untuk dihargai.
Lihat siswa dalam sudut pandang setengah isi ketimbang setengah kosong. Dan yakinlah kita akan menganggap kesalahan mereka hanyalah riak kecil proses pendewasaan yang tidak layak dihukum dengan kekerasan bentuk apapun!
Siswa melanggar hukum? Ada petugas yang berwenang menanganinya!
Ada jenis “pukulan” yang lebih membahayakan! Menjadi ancaman serius dalam dunia pendidikan. Menjadi hantu yang tidak nampak namun sangat terasa merusak harga diri siswa. “Bullying” (akan dibahas di tulisan tersendiri mengingat sangat rumitnya permasahan ini di dunia sekolah).
Kepada rekan guru…jangan pernah memukul! Harga diri siswa akan berontak dan melukai perasaan dan sisi kemanusiaannya. Atau kita sendiri harus berhadapan dengan hukum, masyarakat, media massa yang tengah berubah dan juga sedang berproses untuk menjadi dewasa!
Mari…hentikan kekerasan di sekolah! Apapun alasannya!

Kembali Menata Diri
Disadari atau tidak, sekolah tetap dianggap sebagai lembaga yang diharapkan mampu menjadi agen transformasi nilai dan budaya suatu masyarakat untuk menjadi lebih baik dikemudian hari dan menjadi lebih bijak menjalani kehidupan yang semakin penuh tantangan. Sekolah pun dijadikan sandaran masyarakat untuk dapat melahirkan suatu generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya, sementara tantangan dan gelombang perubahan semakin deras menerpa kehidupan sekolah dan siswa itu sendiri.
Apa yang baik menurut kita hari kemarin belum tentu baik hari ini atau yang baik hari ini belum tentu cocok untuk esok hari. Nilai dan budaya masyarakat terus berubah, namun pendidikan masih terus jalan ditempat, khususnya dalam memperlakukan siswa dalam sebuah proses “memanusiakan” mereka.
Apabila kita menganggap mereka bukan manusia yang utuh, mengagap mereka hanyalah sebuah angka yang masuk dan harus dikeluarkan dalam suatu proses pembelajaran, maka guru pun akan terbiasa memperlakukan mereka sebagai sebuah bahan mentah yang harus ikut sebuah proses tetap dan keluar dengan kualitas yang bagus (menurut siapa dan apa indikatornya?). Kemudian pendidikan di sekolah menjadi proses pembelajaran yang tidak lebih dari sebuah proses produksi yang dijaga ketat dalam sebuah sistem statis dan anti perubahan dengan mengabaikan sisi kemanusia mereka.
Mereka punya rasa, emosi, daya ingat dan kemampuan untuk melampiaskan rasa itu (baik atau buruk) dengan berbagai aktivitas. Mungkin ketika mereka mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari seorang guru, dia diam dan merasa lebih aman untuk diam (suatu pola pendidikan budak, tanpa kesempatan siswa membela diri secara logis, sistematis dan bertanggungjawab. Dan itu masih dilaksanakan di era kemerdekaan ini) namun siapa yang menjamin apabila mereka tidak melampiaskannya dengan membuat keonaran di masyarakat, di sekolah, di rumah atau pada diri mereka sendiri baik fisik maupun mental.
Apa yang terjadi apabila mereka mendapatkan kesan dan memori yang mendap di otak mereka adalah kekerasan, ketidakadilan atau bahkan kekecewaan yang terpendam sekian lama selama sekolah? Generasi seperti apa yang akan dilahirkan? Dan siapa yang harus bertanggung jawab?

Jangan Hanya Menghakimi Guru
Sekali lagi, guru pun manusia!
Guru bukan seonggok mesin yang perasaan dan perilakunya bisa diubah seketika sekehendak hati. Banyak hal yang harus menjadi perhatian mengapa tindakan kekerasan itu senantiasa terjadi di sekolah. Bahkan bisa jadi hal ini tidak mengalami trend naik, namun pemberitaan di era “kebebasan?” ini menjadikan permasalahan ini mengemuka dengan sangat kentara di masyarakat.
Guru kemudian menjadi tersangka utama dari setiap peristiwa kekerasan. Pernahkah berpikir bahwa guru pun adalah korban kekerasan yang lebih besar. Suatu penyakit dari yang namanya ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah untuk memperhatikan dunia pendidikan selama ini, sehingga siapapun yang menjadi guru selalu merupakan alternatif terakhir dalam hidupnya?
Ini bukan pembenaran, hanya upaya dari kita untuk, guru sendiri untuk mampu introspeksi ke dalam dan berteriak untuk menuntut perubahan ke luar. Kembali menata diri sekaligus melakukan perubahan sistem dunia pendidikan.
Dan sambil menunggu perubahan itu, bapak/Ibu guru, tolonglah…jangan melakukan kekerasan!

Imam Wibawa Mukti,S.Pd Selengkapnya...

Rabu, 14 Januari 2009

MENGENAL BELAJAR SISWA DALAM MENGATASI KEGAGALAN

Oleh:
Pudjo Sumedi AS *)
Abstrak: Pada umumnya siswa yang dalam belajar menggunakan strategi yang diharapkan dapat menutupi ketidakmampuannya dan melindungi diri dari kemarahan guru atau olok-olok dan ejekan teman-temannya bila keliru menjawab pertanyaan. Rasa takut pada siswa yang mendorong menggunakan strategi tersebut menyebabkan siswa tidak dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam menggunakan nalarnya, sehingga akan mempengaruhi kualitas belajar siswa. Ada bermacam-macam strategi siswa dalam belajar, yaitu: (a) Strategi pencetus – pemikir (Producer – thinker strategy), (b) Strategi komat-kamit (Mumble strategy), (c) Strategi meminimaksimalkan (Minimax strategy), (d) Strategi coba dan benar dengan tebakan dan pengamatan (Tried and true strategy), dan (e) Strategi aduk angka (Numeral shoving strategy). Dengan memahami alasan pemilihan strategi siswa dalam belajar dan jenis-jenis strategi yang digunakan, diharapkan guru dapat memilih cara mengajar yang lebih tepat dengan lebih memberi kebebasan dalam belajar.
Kata kunci: strategi belajar siswa,kemarahan guru, olok-olok dan ejekn teman, cara mengajar, kebebasan belajar.
A. Pendahuluan
"Ochikobore" (tidak tercapainya standar kompetensi dalam belajar) merupakan masalah di Jepang. Di masyarakat muncul sindiran terhadap kekurangberhasilan pendidikan di Jepang dengan ungkapan ochikobore sichi – go-san. Maksud ungkapan itu adalah hanya 70 persen siswa SD yang sebetulnya layak dikatakan tamat SD walaupun faktanya 100 persen tamat. Untuk SLTP hanya mencapai 50 persen berhasil dan di SMU hanya 30 persen. Hal itu berarti + 70 persen tamatan SMU tidak layak melanjutkan pendidikan universitas. Padahal Jepang termasuk bangsa yang paling berhasil dalam menciptakan SDM melalui sistem pendidikannya. Sedangkan di Amerika Serikat, negara yang melakukan banyak ide dan sistem baru tentang pendidikan seperti Individual Priscribed Instruction (IPI), Computer Assisted Instruction (CAI), dan Module putus sekolah masih cukup tinggi.
Menurut John Holt (1981) dalam bukunya ‘How Children Fail’, dinyatakan bahwa siswa yang masuk pendidikan menengah, hampir 40 persen putus sekolah. Bahkan, yang lain pun banyak yang gagal, baik yang benar-benar gagal maupun gagal terselubung. Mereka menyelesaikan pendidikan hanya karena sudah sepakat agar naik kelas dan lulus dari sekolah, tanpa mempedulikan apakah mereka memperoleh ilmu atau tidak. Dengan kata lain tanpa mempertimbangkan kemampuan dan keterampilan siswa pada suatu jenjang pendidikan tertentu.
Sementara di Indonesia mutu pendidikan baik dilihat dari aspek akademik maupun nonakademik menunjukkan angka yang jauh lebih rendah dari Jepang maupun Amerika.
Dilihat dari segi akademik misalnya, salah satu indikator mutu pendidikan, yaitu NEM (Nilai Ebtanas Murni) masih jauh di bawah standar yang diinginkan. Sebagai ilustrasi, klasifikasi mutu SLTP pada tahun 1995/1996 menunjukkan 9 persen baik dan baik sekali (NEM di atas 6,5), 28,9 persen sedang (NEM 5,5 sampai dengan 6,5), dan 62,1 persen kurang (NEM kurang dari 5,5).
Dari aspek non-akademik, mutu pendidikan juga banyak mendapat kritik, khususnya berkaitan dengan masalah kedisiplinan, moral dan etika, kreativitas, dan kemandirian yang tidak mencerminkan tingkat kualitas yang diharapkan oleh masyarakat luas. Rendahnya mutu pendidikan ataupun terjadinya ochikobore tidak terlepas dari kondisi tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, strategi mengajar dan strategi belajar siswa itu sendiri.
Dari sekian banyak kondisi yang disinyalir sebagai penyebab rendahnya mutu pendidikan serta terjadinya ochikobore, masalah strategi siswa dalam mengikuti pelajaran jarang dibahas oleh para ahli pendidikan. Oleh karena itu, berikut ini disajikan jenis-jenis strategi yang sering digunakan oleh siswa dalam proses belajar-mengajar. Faktor-faktor yang mempengaruhinya dan penyebab kegagalan siswa dalam belajar.
Bahasan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan guru dalam memutuskan program pembelajaran serta pemilihan strategi pengajaran, sehingga dapat mengurangi kegagalan siswa.
B. Bagaimana Siswa Belajar
Setiap hari jutaan anak dan ribuan orang dewasa berinteraksi dalam hubungan antara siswa dan guru. Namun, tidak diketahui apakah interaksi yang mereka lakukan berpengaruh terhadap proses belajar-mengajar.
Tidak ada teori belajar atau praktik pendidikan yang mengetengahkan apakah yang sebenarnya terjadi ketika guru bertanya kepada siswanya di kelas. Apakah yang didengar siswa bila ia dipanggil? Apakah yang dipikirkannya, fantasinya dan yang diharapkannya? Kebiasaan seperti apa yang dilakukannya? Adakah pengaruh yang ditimbulkannya terhadap guru? Seringkali guru tidak mengerti jawaban siswa atau ia hanya menganggap jawaban tersebut adalah betul atau salah. Itulah sebabnya, memahami anak adalah hal yang sangat penting dalam proses belajar-mengajar. Dengan mempelajari strategi yang dipakai oleh siswa dalam mengikuti pelajaran, pertanyaan-pertanyaan di atas dapat terjawab.
Menurut John Holt (1980), "Strategy deals with the ways in which children try to meet or dodge the demands that adult make on them in school". (Strategi adalah cara siswa memenuhi atau menghindari tuntutan yang dikenakan kepadanya oleh orang dewasa di sekolah).
1. Strategi belajar yang dipakai oleh siswa
Lima dari banyak strategi belajar yang menurut Holt (1980) sering dipakai siswa dalam mengikuti pelajaran di kelas. Pertama Producer-thinker strategy (Strategi pencetus – pemikir). Istilah producer (pencetus) dipakai untuk menunjukkan siswa yang hanya mementingkan jawaban yang benar, dan untuk mendapatkan jawaban itu mereka berbuat apa saja misalnya memakai peraturan dan rumus secara sembarangan. Siswa semacam ini biasanya langsung mencuat dengan jawaban yang benar dan seringkali mundur ke sikap mengalah dan putus asa bila tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Istilah thinker (pemikir) adalah siswa yang berusaha memahami arti, kenyataan, atau apa saja yang sedang dipelajarinya. Pemikir biasanya lebih bersedia bekerja keras. Sayangnya, pengguna strategi pemikir lebih sedikit jika dibandingkan dengan pencetus (producer strategy).
Kedua, Mumble strategy (Strategi komat-kamit). Strategi ini sering dipakai siswa dalam pelajaran bahasa di kelas yang besar. Strategi ini sangat bermanfaat untuk guru yang cerewet tentang aksen dan bangga akan aksen dirinya sendiri. Jika siswa diminta mengulangi kalimat, ada yang hanya membuka mulut tanpa mengucapkan bunyi yang jelas atau benar, dan tanpa memahami artinya. Guru akan menyangka semua siswanya mengikuti pelajaran dengan baik.
Ketiga, Minimax strategy (Strategi meminimaksimalkan). Dengan strategi ini, siswa memanfaatkan peluang untuk menang seluas-luasnya (memaksimalkan), dan menekan serendah-rendahnya (meminimalkan) kekalahan kalau terpaksa harus kalah. Contoh : seorang siswa diminta untuk menentukan di titik mana ia harus menaruh suatu beban pada palang keseimbangan (balance beam) sehingga terjadi keseimbangan. Bila teman-temannya berpendapat bahwa palang itu tidak akan seimbang dengan titik pilihannya, makin lama ia makin tidak yakin akan pilihannya. Akhirnya, setelah semuanya berbicara dan ia harus memecahkan masalah itu, ia pun berkata dengan riang: "Saya pribadi juga berpendapat bahwa tidak akan terjadi keseimbangan."
Keempat, Tried and true strategy of guess and look (Strategi coba dan benar dengan tebakan dan pengamatan). Siswa seringkali terus terang dengan strategi yang dipakainya untuk mendapatkan jawaban dari guru. Untuk melakukan tes terhadap siswa dalam hal jenis kata, guru membuat tiga kolom di papan tulis, masing-masing dengan judul kata benda, kata sifat dan kata kerja. Kemudian memberi pertanyaan termasuk jenis kata apa suatu kata. Salah seorang siswa berkata, "Ibu telah menunjukkan jawabannya." Mungkin guru itu terkejut dan bertanya apa maksudnya. Sebenarnya guru tersebut tidak menunjuk, tetapi ia berdiri di samping kolom yang menjadi jawaban. Begitu guru mengucapkan suatu kata, siswa menyimak menghadap ke mana muka guru untuk menebak jawaban yang benar. Siswa tidak sepenuhnya belajar jenis kata, namun lebih mempelajari gerakan atau tingkah guru dalam mengajar. Bahkan dalam penyusunan soal tes, siswa sering mengamati jenis pertanyaan yang biasanya dibuat oleh guru, sehingga siswa hanya belajar bagian tertentu dari pelajaran tersebut.
Kelima, Numeral shoving strategy (Strategi aduk angka). Siswa sering memakai strategi ini dalam pelajaran matematika atau berhitung. Walaupun anak-anak menjawab dengan benar, mereka seringkali tidak betul-betul mengerti masalahnya. Jika kita menanyakan dari mana mereka memperoleh jawaban itu, segera disadari bahwa mereka hanya mengaduk-aduk bahan pelajaran saja.
Pada kenyataannya, siswa memakai strategi secara konsisten. Siswa yang terpandai memakai strategi tersebut, demikian juga siswa yang bodoh, dapat dipastikan selalu menggunakan strategi dalam belajar. Bahkan, setiap siswa cenderung akan memakai strategi tersebut bila dalam keadaan tertekan. Salah satu cara menjelaskan strategi ini adalah dengan menyebutkannya sebagai yang mementingkan jawaban (answer-centred) dan yang mementingkan persoalan (problem-centred). Perbedaan di antara kedua jenis siswa ini dapat dilihat dari persoalan yang dihadapinya. Kebanyakan anak sekolah cenderung mementingkan persoalan adalah answer-centred dari pada problem-centred. Mereka memandang masalah sebagai semacam pengumuman yang jawabannya ada di suatu tempat misterius nun jauh di sana, dan mereka harus pergi ke sana untuk mencarinya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Belajar Siswa
Faktor utama yang mempengaruhi anak-anak menggunakan salah satu strategi belajar adalah guru. Lester Smith (1976) bersikukuh: "Practically everything we do in school tends to make children answer-centred" (Hampir semua hal yang kita lakukan di sekolah cenderung membuat anak-anak menjadi answer-centred). Ada tiga alasan yang berhubungan dengan masalah ini. Pertama, jawaban yang benar selalu mendapat ganjaran. Sekolah merupakan semacam tempat pemujaan bagi jawaban yang benar, dan cara untuk maju adalah mempersembahkan sebanyak-banyaknya jawaban benar di meja pemujaan. Kedua, kebanyakan guru pun answer-centred. Apa yang dilakukan guru adalah akibat apa yang telah diajarkan kepadanya, atau hal itulah yang selalu dilakukannya. Ketiga, bahkan guru yang tidak answer-centred pun mungkin tidak melihat perbedaan antara yang answer-centred dan yang problem-centred, apalagi mengerti betapa pentingnya hal itu. Jadi, cara mengajar siswa dan terutama substansi yang diberikan kepada anak-anak, akan mendorong mereka menggunakan strategi yang bersifat answer-centred.
Strategi belajar merupakan akibat dari karakter siswa. Mereka menggunakan berbagai strategi dalam belajar disebabkan adanya suatu perasaan tertentu yang ingin diatasi, adanya harapan-harapan yang ingin dimiliki, adanya tantangan di kelas dan tantangan lain yang dirasakan. Suatu hal yang menjadi perhatian utama siswa adalah adanya keinginan untuk mempertahankan diri sendiri. Rasa ketakutan akan sangat berpengaruh pada strategi belajarnya.
Hampir dapat dipastikan, bahwa strategi belajar siswa akan konsisten pada kepentingan diri dan pertahanan diri, yang semuanya ditujukan untuk menghindarkan diri dari kesulitan, rasa malu, hukuman, celaan, atau kehilangan status. Berbagai pertanyaan akan muncul pada siswa manakala mereka harus menjawab suatu pertanyaan. Pertanyaan yang muncul antara lain "Apakah yang akan terjadi padaku bila menjawab salah? Tidakkah guru akan marah? Apakah teman-teman tidak akan mentertawakan saya?
Siswa seharusnya dibebaskan dari rasa ketakutan atau kekhawatiran sehingga mampu menggunakan kemampuan dan penalarannya seoptimal mungkin. Sebagai ilustrasi misalnya tentara akan mampu mengontrol ketakutan, hidup di tengah ketakutan, menaklukkan rasa takutnya, dan sangat dimungkinkan justru ketakutannya menimbulkan strategi perang yang baik. Namun, ada perbedaan yang sangat mendasar antara sekolah dan perang.
Siswa dalam menyesuaikan diri dengan perasaan takut akan berakibat buruk dan menghancurkan kemampuan mereka. Sedangkan prajurit yang ketakutan dapat menjadi penyerang yang terbaik, namun pelajar yang ketakutan akan selalu menjadi siswa yang bodoh.
3. Belajar yang sesungguhnya (Real Learning)
Kegiatan seperti mencari kosakata, menghafal sebuah puisi, mengoperasikan komputer, dan aktivitas-aktivitas lainnya termasuk dalam kegiatan belajar. Kegiatan belajar dapat dilakukan di mana saja baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan belajar tidak selalu berarti senyatanya sungguh-sungguh belajar (real learning).
Real Learning atau belajar yang sesungguhnya berhubungan dengan perbedaan antara "apakah yang diharapkan dapat diketahui oleh anak" dengan "apakah yang sebenarnya mereka ketahui".
John Holt (1981) mengatakan dalam bukunya How Children Fail: "What seem simple, natural and self evident to us, may not seem to a child." (yang kelihatan sederhana, alami dan percaya diri kita, tidak demikian dilihat oleh anak). John Holt memberi contoh tentang pemahaman angka 10. Orang dewasa telah terbiasa dengan angka 10 sehingga tidak pernah membayangkan perbedaan angka satu dan nol untuk bilangan sesuatu, apakah lebih besar atau sama. Kita harus akui, kesulitan guru terjadi pada saat pertama mengenalkan angka kepada anak-anak, agar mereka tidak merasa mendapat teka-teki yang tidak jelas. Dikhawatirkan, pada saat pertama dikenalkan angka 10 anak-anak akan kaget sehingga mereka tidak pernah memahami atau akan membekukan penalarannya waktu memikirkan hal tersebut.
Seorang guru Bahasa Inggris di SLTP, harus sangat bijak dalam mengajarkan Countable and Uncountable Nouns. Siswa berpikir bahwa benda yang Countable adalah benda yang dapat diberi bilangan satu, dua dan seterusnya. Dalam otak siswa tidak pernah atau tidak terbiasa memikirkan perbedaan Countable dan Uncountable Nouns, karena tidak dikenal dalam Bahasa Indonesia.
4. Yang Dipikirkan Siswa dalam Mengikuti Pelajaran
Orang dewasa sering tidak mengetahui apakah yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh anak. Jika anak tidak dapat memahami hal yang sangat umum, hal itu dimungkinkan karena bahasa yang digunakan sulit dipahaminya, atau paling tidak disebabkan adanya kontradiksi antara kebiasaan yang mereka alami dengan yang kita bicarakan. Kita tidak dapat mengatakan anak itu bodoh bila ia tidak dengan cepat memahami ide kita ketika diminta membagi angka 6 dengan ½. Contoh : siswa yang memahami definisi pembagian akan menjawab dengan benar yaitu 12. Namun, bagi siswa yang merasa telah ahli dalam perkalian pecahan yang dipelajari beberapa hari sebelumnya, mereka akan mengartikan pembagian dengan definisi yang berbeda. Kalau membagi 6 kedalam tengahan, berapa besar tiap-tiap tengahan, sehingga mereka berfikir berapa separuhnya 6, maka jawabannya adalah 3. Di sini guru menemukan kesulitan, karena tidak menjelaskan perbedaan definisi pembagian, sehingga definisi kedua ini tidak dapat diterapkan pada kasus tersebut.
Penjelasan yang keliru oleh guru akan menyebabkan salah pengertian siswa. Oleh karena itu, sebaiknya menanyakan masuk akal atau tidak atau dapat dipahami atau tidak daripada menanyakan salah atau benar.
5. Penyebab Kegagalan Siswa
Setelah diketahui tentang Ochikobore yang terjadi, masalah tersebut harus dipecahkan dan diatasi. Sungguhpun Ochikobore bukan semata-mata merupakan produk guru, namun guru tidak boleh mengelak dari tanggung jawabnya.
Banyak siswa gagal dalam belajar karena mereka tidak dapat menangkap bahasa guru. Selain itu, seringkali kemampuan siswa di sekolah tidak terlihat karena mereka merasa takut. Hal ini menyebabkan guru keliru dalam menilai kemampuan siswa. Adanya perasaan takut yang mempengaruhi, menyebabkan siswa menggunakan berbagai strategi dalam belajar untuk menjaga diri agar tidak dimarahi oleh guru. Guru sering meremehkan kemampuan dan kreativitas siswa dengan memerintahkan mereka berbuat sesuatu atas inisiatif guru.
Guru menciptakan kekhawatiran bagi siswa, khawatir membuat kesalahan, tidak memenuhi harapan orang lain atau teman, tidak dapat menggembirakan, gagal, dan menjadi salah.
B. Kesimpulan dan Saran
Berbagai strategi belajar sering digunakan oleh siswa dalam rangka membela diri karena sebenarnya mereka dalam kondisi takut. Mereka takut kena marah guru, takut diolok-olok teman, dan takut mendapat nilai jelek. Untuk mengurangi kegagalan siswa atau ochikobore, guru diharapkan lebih memberikan perhatian pada strategi siswa dalam belajar, disamping berupaya membantu menghilangkan berbagai rasa takut yang ada pada siswa dengan memberikan kebebasan dalam belajar. Guru diharapkan lebih memahami kemampuan siswa yang sesungguhnya sehingga mampu menyusun program yang sesuai untuk langkah pembelajaran selanjutnya.
Seharusnya, sekolah menjadi tempat di mana anak-anak mempelajari apa yang sesungguhnya ingin mereka ketahui dan bukan apa yang mereka harus ketahui.
Seorang anak yang ingin mengetahui sesuatu akan selalu mengingat dan menggunakannya sekaligus. Sebaliknya, anak yang belajar untuk menyenangkan atau melakukan sesuatu atas perintah orang lain, akan segera lupa sewaktu keperluan tersebut telah lewat.
Untuk menghilangkan atau mengurangi rasa takut siswa, peran guru harus diubah yang selama ini lebih selaku instruktor menjadi fasilitator. Tugas guru adalah membantu anak dalam belajar. Perbedaan-perbedaan individu pantas untuk mendapat perhatian. Hal ini sulit dilakukan bila jumlah siswa di kelas terlalu besar. Disarankan agar standar jumlah siswa di kelas disesuaikan dengan kemampuan kontrol guru agar "out put" dari sekolah mencapai kualitas yang memadai. Prinsip persamaan hak (equality) dalam pendidikan sudah waktunya ditingkatkan dari pemerataan kesempatan belajar ke arah pemerataan kualitas belajar.
Pustaka Acuan
W.O. Lester Smith. 1976. Education, Penguin Books Ltd
John Holt. 1981. How Children Fail, Pipman Publishing Coporations
John Holt. 1980. How Children Learn, Pipman Publishing Coporations
John Holt. 1970. The Understanding School, Pipman Publishing Coporations
Lindgren Henry C. 1972. Educational Psychology in the class room, Modern Asia Edition Selengkapnya...