Kamis, 25 Maret 2010

PARADIGMA PENDIDIKAN DAN PENGARUHNYA PADA POLA PENDIDIKAN DAN METODE PENDIDIKAN SEORANG GURU

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, selama ini kita selalu melaksanakan suatu metode pendidikan yang sentralistis dan menempatkan peserta didik sebagai obyek dari pendidikan. Sementara disisi lain, memandang guru sebagai subyek dan pemilik pengetahuan bagi siswa-siswinya.
Namun ada juga guru yang melakukan sebuah metode pendidikan melalui sistem kompetisi, dimana siswa diharuskan mengikuti pendidikan layaknya perlombaan lari atau tinju. Siswa dimasukkan kedalam sebuah sistem pendidikan yang mengharuskan peserta didiknya untuk terus bersaing mengalahkan siswa lainnya. Peringkat atau rangking yang kita kenal selama ini telah berhasil mengkotak-kotakan siswa kedalam status pintar dan bodoh, atau kalah dan menang.
Dipihak lain ada juga guru yang membuka seluas-luasnya kepada siswa untuk mengekspresikan kemampuan dan pengetahuannya, dimana guru menempatkan dirinya sebagai gembala yang mengikuti dan membimbing dari belakang (tut wuri handayani)
Metode pendidikan pada paragraf pertama dan kedua, mungkin sudah dianggap lumrah di Indonesia. Dimana seseorang menjadi guru hanya sekedar untuk meniru, menjiplak atau meneruskan metode atau cara dari guru-gurunya dimasa lampau. Kekurangtahuannya terhadap perkembangan dunia pendidikan akhirnya memaksa mereka hanya sekedar penerus metode yang telah mapan dan dinggap paling benar dan paling tepat.
Jangan heran, akhirnya sistem pendidikan tersebut telah melahirkan peserta didik yang hanya merasa berhasil ketika dirinya menjadi rangking pertama dengan mengalahkan teman-temannya. Sementara lahir pula siswa yang merasa dirinya “bodoh” karena mendapatkan peringkat akhir dan selalu menjadi beban bagi nilai rata-rata kelasnya.
Freire menyebutnya sebagai pendidikan antagonistik yang memiliki ciri-ciri :
Guru mengajar, murid belajar
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
Guru berpikir, murid dipikirkan
Guru bicara, murid mendengarkan
Guru mengatur, murid diatur
Guru memilih, murid menuruti
Guru bertindak, murid membayangkan tindakan guru
Guru memiliki kebiasaan, murid beradaptasi
Guru adalah subyek belajar, murid adalah objek pembelajaran
Oleh karena itu, lahirnya sebuah harapan, identifikasi dan tuntutan kepada guru untuk mampu menjadi sosok manusia ideal. Manusia yang dianggap mengetahui segala hal dan harus mampu menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Pertanyaannya, apakah guru menyadari benar dengan apa yang telah dan sedang dilakukannya ketika sedang mendidik peserta didik? Apakah guru menyadari bahwa metode pembelajaran yang dilakukannya di kelas akan sangat berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan peserta didiknya. Apakah guru mengetahui bahwa apa yang dilakukannya sekarang adalah bekal untuk peserta didik dimasa mendatang? Mampukah metode yang sekarang dipergunakan dalam mendidik akan berguna atau tepat untuk mempersiapkan anak didik kita untuk menjalani kehidupannya dimasyarakat saat ini atau bahkan dimasa mendatang?
Jangan-jangan…guru sendiri tidak pernah menyadari hal tersebut. Mungkin guru kita selalu terbebani administrasi di awal tahun pelajaran, dibebani materi ditengah tahun pelajaran dan terbebani oleh memeriksa hasil tes diakhir tahun pelajaran. Lalu kembali terbebani oleh siklus tahunan kembali.
Jangan-jangan ada pula seorang guru yang tidak pernah menyadari posisi dan perannya sebagai guru. Sebuah profesi yang sangat berperan dalam membentuk wajah masyarakat dan bangsa ini dikemudian kelak. Atau guru malah berpikir bagaimana menjalan tugasnya hanya untuk sekedar menjalankan kewajiban menyampaikan materi, melakukan evaluasi dan kemudian mengakhirinya dengan liburan panjang dan kesibukan menerima murid baru.
Pernahkah guru sejenak mengendapkan jiwa dan pikirannya untuk menata kembali tujuan hakiki dan peran abadi yang disandang oleh profesi bernama guru? Atau kita sedang sibuk mengejar sertifikasi walau harus sering meninggalkan siswanya dalam waktu yang lama? Pernahkah ada guru yang memahami bagaimana dirinya memandang dunia pendidikan secara utuh dan menyeluruh? Atau terlalu sibuk untuk menghitung struk gaji dan memikirkan bagaimana menutupi kekurangannya untuk 20 hari kedepan?
Guru adalah juga manusia…jelas! Manusia tidak luput dari berbagai kebutuhan dan permasalahan hidup sebagai mana juga dialami oleh manusia lain yang berprofesi selain guru. Namun terlepas dari itu semua…pernahkah kita menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah seorang guru. GURU?

PARADIGMA PENDIDIKAN
Mari sejenak kita berhenti dari rutinitas dan melakukan refleksi tentang cara pandang kita memandang dunia pendidikan secara menyeluruh. Dimulai dengan memahami paradigma pendidikan yang kemudian akan ter-refleksi-kan dalam bentuk visi dan misinya dalam menjalankan tugas sebagai guru. Dan pada akhrinya akan memperngaruhi apa tujuannya menjadi seorang guru dan membuat strategi dan metode agar tujuannya bisa tercapai.
Mari kita kenali kembali apa itu paradigma. Paradigma adalah suatu teori, perspektif atau kerangka berpikir yang menentukan bagaimana kita memandang, menginterpretasikan dan memahami aspek-aspek kehidupan. (Anita Lie, Cooperative Learning, 2008)
kita akan sulit membuat kue tart kalau resep yang dipakai adalah resep membuat lemper. Atau kita akan sulit menemuan jalan di Jakarta bila peta yang kita pakai adalah peta kota Bandung. Sama halnya dengan pendidikan, seorang guru akan sulit menentukan tujuan dari pekerjaan yang dilakukannya bila tidak menyadari paradigma yang dijadikan sebagai acuannya.
Untuk sekedar mengingatkan, dalam dunia pendidikan kita mengenal ada tiga paradigma pendidikan besar yang banyak dianut oleh pelaku pendidikan, tiga paradigma tersebut adalah:
1. Paradigma konservatif
2. Paradigma liberal
3. Paradigma pendidikan kritis

Paradigma konservatif
Adalah kelompok yang memandang pendidikan sebagai proses transfer nilai, budaya dan kondisi yang sudah ada. Paradigma ini cenderung mempertahankan status quo, kondisi seperti apa adanya.
Paradigma ini memandang siswa adalah seperti tabula rasa, ruang kosong yang harus diisi oleh segala hal yang menunjang dan mempertahankan kondisi yang tengah berjalan. Bagi penganut paradigma ini, guru adalah sumber pengetahuan dan berhak menentukan warna dan pola peserta didiknya.
Berdasarkan asumsi ini maka guru akan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan ciri:
1. Memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa
2. Mengisi botol kosong dengan pengetahuan
3. Mengkotak-kotakan siswa
4. Memacu siswa dalam kompetisi
Paradigma ini dipelopori oleh teori TABULA RASA-nya Jhon Locke yang mengasumsikan bahwa anak adalah kertas kosong yang siap diisi oleh segala ilmu pengethuan, kebijaksanaan dari guru. Sehingga apapun yang diberikan dan dilakukan guru akan sangat mempengaruhi pada pola tingkah laku dan pikiran anak.
Bersambung…..
Saat ini, paradigma ini masih sangat terasa dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Selengkapnya...

Selasa, 23 Maret 2010

KURIKULUM BERDIFERENSIASI BAGI ANAK AKSELERASI (Bagian 2 )

Pengertian Kurikulum Berdiferensiasi

Istilah diferensiasi dalam pengertian kurikulu menunjuk pada kurikulum yang tidak berlaku umum, melainkan dirancang khusus untuk kebutuhan tumbuh kembang bakat tertentu (semiawan 1992). Pengembangan kurikulum berdiferensiasi terutama menunjuk seuatu kebutuhan berkenan dengan tumbuh kembangnya kreatifitas seseorang.
Berbeda dengan kurikulum reguler yang berlaku bagi semua siswa, kurikulum berdiferensiasi bertujuan untuk menampung pendidikan berbagai kelompok belajar, termasuk kelompok siswa berbakat. Melalui program khusus, siswa berbakat akan memperoleh pengayaan dari materi pelajaran, proses belajar dan produk belajar.
Clendeing&davies (1983) menjelaskan bahwa yang dimaksud differentiated adalah isi pelajaran yang menunjuk pada konsep dan proses kognitif tingkat tinggi, strategi instruksional yang akomodatif dengan gaya belajar anak berbakat dan rencana yang memfasilitasi kinerja siswa.

Untuk menerapkan kurikulum yang tepat bagi anak berbakat, kita harus memperhatikan penerjemahan prinsip-prinsip teori ke dalam praktek secara holistik sedemikian rupa sehingga pendidikan anak berbakat menjadi lengkap. Hal ini dapat diwujudkan apabila kita memfokuskan pada elemen-elemen sebagai berikut:
Anak berbakat dengan cara berbeda dengan kelompok lain dan memang penting untuk ditampung dan dikembangkan (Keating, 1976). Lagi pula perbedaan dalam rerata dapat menjadi besar dalam perbedaan jenis bukan derajat dari pengajaran.
Anak berbakat membutuhkan kedalaman bidang pelajaran. Pendidik harus mengarahkan kebutuhan melalui pengayaan yang cenderung menjadi suatu tambahan yang superfisial dalam kurikulum.
Banyak program keberbakatan, pada umumnya dibedakan dari program reguler. Hal ini diambil dengan dasar pertimbangan:
1. Prinsip ekonomi
2. Konsentrasi pada keterampilan tingkat tinggi
3. Konsentrasi pada keterkaitan antara keutuhan pengetahuan
4. Membuka sekolah non tradisional
5. Belajar mandiri untuk anak berbakat
6. Komitmen terhadap belajar masa depan

Komponen kurikulum berdiferensiasi

1. Materi pengalaman belajar yang menumbuhkan kreatifitas harus dipilih untuk digemukkan dan dipadatkan dengan cara:
• Menambah bagian-bagian baru yang menarik dan merupakan tantangan bagi siswa berbakat
• Mengubah bagian-bagian yang kurang sesuai
• Mengurangi kegiatan-kegiatan yang rutin dan bersifat mengulang
2. Terjadinya penanjakan dinamis mental dan tindakan kreatif (creative action)
3. Berorientasi pada proses, kegiatan aktif dan penerapan tugas, serta memberi peluang kepada siswa untuk memilih sendiri kegiatan belajar sesuai dengan minat dan kemampuannya
4. Komponen yang bersifat tekhnis, seperti fasilitas, komposisi guru, pendekatan proses belajar mengajar dan penggunaan metode mengajar yang bervariasi.

Matra Kurikulum Berdiferensiasi
1. Matra Umum
Merupakan kumpulan kegiatan belajar dasar untuk pengembangan lebih lanjut dan memenuhi kebutuhan ana secara umum, sehingga kurikulum berdiferensiasi ini sebenarnya bertitik tolak pada kurikulum umum yang berlaku bagi semua siswa. Pengalaman belajar dari kurikulum umum ini memberikan keterampilan dasar, pengetahuan, pemahaman, nilai dan sikap yang akan memungkinkan seseorang berfungsi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
2. Matra Yang Didiferensiasikan
Berkaitan dengan ciri khas perkembangan anak berbakat dan merupakan kurikulum yang dikembangkan secara mendalam. Sifatnya terutama memenuhi harapan, kepentingan, tuntutan kebutuhan peserta didik unggul, terutama berkaitan dengan kehidupan kreatifnya. Perubahan kurikulum bisa bersifat vertikal, dimana siswa yang lebih cepat irama belajarnya diperkenalkan pada isi kurikulum tertentu pada umur yang lebih muda daripada umur teman-temannya yang normal, yang dikenal dengan loncat kelas, maju berkelanjutan. Sedangkan perubahan kurikulum yang bersifat horisontal menyajikan materi dengan keluasan, kedalaman dan intensitas yang lebih ditingkatkan dari biasanya, yang disebut dengan eskalasi.
3. Matra Subliminal
Terdiri dari pengalaman belajar yang dijabarkan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Disekolah berkenaan dengan iklim akademis, relasi interpersonal antar sesama, sistem penghargaan dan hukuman.
(Bersambung…..)
Selengkapnya...

LAPORAN KEGIATAN SEMINAR NASIONAL POTENSI LUAR BIASA SEJUTA ANAK CERDAS ISTIMEWA INDONESIA

LAPORAN KEGIATAN SEMINAR NASIONAL
POTENSI LUAR BIASA SEJUTA ANAK CERDAS ISTIMEWA INDONESIA
(Bagaimana Kita Membantu Mewujudkannya)

A. Pendahuluan
Pada hakekatnya, pendidikan adalah proses dan wahana bagi pembentukan diri seseorang secara keseluruhan dan kesadaran. Oleh karena itu, pendidikan menjadi hak dari setiap individu dalam usaha menjadikan manusia lebih beradab dan maju.
Salah satu yang berhak untuk mendapatkan layanan tersebut adalah anak yang termasuk dalam kategori Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI). mereka tidak saja berhak mendapatkan pendidikan, namun juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter mereka. Sebagaimana dijamin dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no.23 tahun 2003, pasal 5 ayat 4 yang berbunyi : “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus”.
Pendidikan khusus atau layanan khusus ini pada dasarnya adalah upaya untuk memenuhi memaksimalkan potensi yang mereka miliki sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi kehidupan dirinya, keluarga, masyarakat dan negara. Karena bila hal itu tidak dilakukan, tidak mustahil keberadaan mereka tidak saja menjadi sia-sia, namun juga bisa menjadi masalah dikemudian hari.


B. Waktu pelaksanaan
Hari/tanggal : Selasa/ 23 Februari 2010
Tempat : Ruang Sumba Hotel Borobudur jalan Lapangan Banteng Selatan, Jakarta.
Waktu : 08.00 – 15.30 wib

C. Pemateri :
Pemateri diisi oleh berbagai kalangan yang peduli dengan keberadaan anak CIBI diantaranya adalah :
1. Prof. Johannes Surya yang memaparkan tentang potensi yang bisa digali oleh keberadaan anak CIBI.
2. Prof. Komarudin Hidayat dengan paparan hakekat pendidikan dan berbagai teori yang melatarbelakangi adanya layanan pendidikan bagi anak CIBI.
3. Antonius Tanan Rektor Ciputra Entrepreneurship University yang berbicara tentang pentingnya mengajarkan jiwa entrepreneurship kepada anak CIBI.
4. Dipandu oleh moderator Soegeng Sarjadi dari SS Syndicate.
Acara lengkap Terlampir

D. Acara :
Terlampir

E. Peserta :
1. Para akademisi yang peduli terhadap anak CIBI
2. Para praktisi pendidikan (guru, kepala sekolah dan mahasiswa)
3. Para siswa CIBI
4. Pengusaha dari berbagai perusahaan nasional dan internasional

F. Penutup :
Demikian laporan ini disampaikan sebagai pertanggungjawaban dari penulis setelah mengikuti kegiatan seminar tersebut. Seminar tersebut telah mampu menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang keberadaan dan potensi anak cerdas istimewa.
Semoga laporan ini juga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan layanan pendidikan bagi anak CIBI.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Bandung, 25 Februari 2010
Yang membuat Laporan


Imam Wibawa Mukti,S.Pd
(Koordinator Progam Akselerasi SMP Taruna Bakti)
Selengkapnya...

Minggu, 21 Maret 2010

POLA ASUH KELUARGA DALAM MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SISWA

Saya pernah menulis tentang beberapa karakter unik anak Cerdas istimewa dan beberapa solusi penanganannya berdasarkan pengalaman saya selama mendampingi Anak Cerdas Istimewa (ACI) melalui program akselerasi. Namun yang lebih menarik sebenarnya adalah bagaimana pengalaman penulis dan pengurus program akselerasi dalam menghadapi berbagai karakter orang tua anak akselerasi yang juga memiliki karakter “khusus” dibandingkan dengan orang tua dari siswa reguler.
Saya belum menemukan alasan mengapa merasa kalau orang tua siswa akselerasi juga memerlukan pendampingan dan penanganan khusus selama anaknya mengikuti program akselerasi ini. Namun saya mungkin bisa menduga - dugaan yang dilandasi pengalaman langsung dalam menghadapi berbagai tipe dan karakter orang tua siswa akselerasi – bahwa hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal berikut :
Pertama, orang tua belum memahami keunikan, kelebihan dan kelemahan dari anak cerdas istimewa itu sendiri. Banyak orang tua yang baru menyadari bahwa anaknya memiliki “anugrah” dari Tuhan berupa kecerdasan diatas anak-anak lain yang seusianya ketika anaknya akan memasuki sekolah yang melaksanakan program akselerasi.
Selama SD mungkin ada anak yang tidak pernah mengikuti psikotest sehingga beberapa potensi tersembunyi anaknya belum mampu teridentifikasi. Sering orang tua hanya memperhatikan sifat anak yang cenderung negatif ketimbang sifat positifnya. Ketika anak mendapatkan nilai yang baik atau berperilaku sopan, orang tua memandang itu sebagai sebuah kewajiban dan perilaku yang normal sehingga kurang memberikan respon positif untuk menghargainya.
Namun ketika anak berbuat kesalahan atau berperilaku negatif seperti malas belajar dan sering membangkang, maka orang tua langsung bereaksi dengan memberikan punishment berupa stigma negatif tersebut kepada anak. Oleh karena itu tidak sedikit kemudian terheran-heran ketika anaknya dinyatakan direkomendasikan masuk program akselerasi sebagai bentuk layanan terhadap ACI.
Kalaupun ada yang melakukan psikotest terhadap anaknya, data yang diperoleh tidak dijadikan acuan dalam menindaklnjuti penanganan atas kelebihan dan kelemahan anak yangberhasil diidentifikasi oleh hasil psikotest tersebut. Bisa jadi karena orang tua tidak pernah melihat bentuk atau wujud dari keunikan anak-anaknya.
Kedua, orang tua masih merasa bahwa pola asuh yang dilaksanakan selama ini telah berhasil membawa anaknya menngaruhi tantangan dan hambatan dalam belajar. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan anaknya menjalani pendidikan dasar.
Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya memiliki keunikan, maka orang tua cenderung untuk tetap melakukan pola asuh yang sama dengan alasan pola lama yang dianggap berhasil dan memberikan perhatian khusus dikhawatirkan akan berdampak pada perubahan tingkah laku anak.
Ketiga, orang tua kurang memahami arti kata “perlakukan khusus” dan “istimewa” pada label cerdas istimewa. Khusus atau istimewa sering diidentifikasikan dengan kata “eksklusif” yang berarti siswa akan “dipisahkan”, “disterilkan”, “diisolasi” dari kehidupan nyata dengan membuat sebuah lingkungan terpisah dengan lingkungan sosial lainnya.
Padahal kata “khusus” dan “istimewa” dalam konteks akselerasi adalah semata dalam pengertian pemberian dan pemenuhan hak pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dari anugrah yang diberikan Tuhan berupa kemampuan intelektual yang tinggi. Jadi bukan dalam bentuk fasilitas maupun pembedaan perlakuan, namun lebih berfokus pada pengaturan atau manajemen pendidikan dalam rangka pemenuhan kebutuhan siswa dalam menerima informasi dan pengetahuan yang lebih cepat dan lebih mendalam dibandingkan siswa lainnya.
Hal itu menjadi penting bukan saja untuk memaksimalkan potensi mereka yang berguna bagi masyarakat, namun juga untuk meminimalisir dampak negatif apabila anak cerdas istimewa ini tidak ditangani secara proporsional.

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Anak Cerdas Istimewa
Dari uraian diatas saya bisa sedikit melihat bagaimana karakter pola asuh orang tua dari tampilan anak-anak sehari-hari. Misalnya ketika melihat anak yang cepat panik, bingung dan inferior ketika menemukan sebuah permasalahan, maka saya bisa sedikit mengira bahwa pola asuh orang tua dirumah cenderung dominan dalam mengatur pola hidup anaknya. Dominasi ini bisa berupa ketat mengatur jadwal kegiatan anak, dalam memberikan instruksi atau menentukan sesuatu itu baik atau benar.
Terdapat beberapa pola hubungan orang tua dengan anak yang akan berdampak pada pembentukan dan perkembangan anak atau bagaimana perlakuan orang tua terhadap anak berpengaruh pada profil tingkah laku anak.
Dalam buku Landasan Bimbingan dan Konseling (Dr. Syamsu Yusuf,LN dan Dr. A. Juntika Nurihsan) menyadur alizabeth Hurlock (Child Development, 1956), diuraikan tabel tentang hubungan tersebut. Adapun uraian tersebut berisi sebagai berikut:
Pola perilaku :
OVERPROTECTION (terlalu melindungi)
Perilaku orang tua :
1. Kontak yang berlebihan dengan anak
2. Perawatan dan oemberian bantuan kepada anak yang terus menerus meskipun anak sudah mampu merawat diri sendiri.
3. Mengawasi kegiatan anak secara berlebihan
4. Memecahkan masalah anak
Profil tingkah laku anak :
1. Perasaan tidak aman
2. Agresif dan dengki
3. Mudah gugup
4. Melarikan diri dari kenyataan
5. Sangat bergantung
6. Ingin menjadi pusat perhatian
7. Mudah menyerah
8. Lemah dalam kekuatan memperjuangkan aspirasi dan daya tahan terhadap rasa frustasi
9. Kurang mampu mengendalikan emosi
10. Menolak tanggung jawab
11. Kurang percaya diri
12. Mudah terpengaruh
13. Peka terhadap kritik
14. Bersikap “yes men”
15. Suka bertengkar
16. Troublemaker
17. Sulit bergaul
18. Sering mengalami “homesick”


Pola perilaku :
Permissiveness (membebaskan)
Perilaku orang tua :
1. Memberikan kebebasan untuk berpikir dan berusaha
2. Menerima gagasan atau pendapat
3. Anak merasa diterima dan merasa kuat
4. Terima dan memahami kelemahan anak
5. Cenderung lebih suka memberi dari pada menerima
Profil tingkah laku anak :
1. Pandai mencari solusi dan jalan keluar
2. Mudah bekerja sama
3. Penuh percaya diri
4. Penuntut dan kurang sabaran

Pola perilaku :
Rejection (penolakan)
Perilaku orang tua :
1. Bersikap masa bodoh
2. Bersikap kaku
3. Kurang memperdulikan kesejahteraan anak
4. Menampilkan sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak
Profil tingkah laku anak :
1. Agresif (mudah marah, gelisah, tidak patuh/keras kepala, suka bertengkar dan nakal)
2. Submisive (kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu, suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut)
3. Sulit bergaul
4. Pendiam
5. Sadis

Pola perilaku :
Acceptance (menerima)
Perilaku orang tua :
1. Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak
2. Menempatkan anak dalam posisi yang penting di dalam rumah
3. Mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak
4. Bersikap respek terhadap anak
5. Mendorong anak untuk menyatakan perasaannya dan pendapatnya
6. Berkomunikasi dengan anak-anak secara terbuka danmau mendengar masalahnya
Profil tingkah laku anak :
1. Mau bekerja sama
2. Bersahabat
3. Loyal
4. Emosinya stabil
5. Caria dan optimis
6. Menerima tanggung jawab
7. Jujur
8. Dapat dipercaya
9. Memiliki perencanaan yang jelas untuk masa depan
10. Bersikap realistis


Pola perilaku :
Domination (mendominasi)
Perilaku orang tua :
Mendominasi anak
Profil tingkah laku anak :
1. Bersikap sopan, dan sangat hati-hati
2. Pemalu, penurut, inferior dan mudah bingung
3. Tidak mudah bekerjasama

Pola perilaku :
Submission (serba boleh)
Perilaku orang tua :
1. Senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak
2. Membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah
Profil tingkah laku anak :
1. Tidak patuh
2. Tidak bertanggung jawab
3. Agresif dan teledor
4. Bersikap otoriter
5. Terlalu percaya diri

Pola perilaku :
Punitiveness (sangat dispilin)
Perilaku orang tua :
1. Mudah memberikan hukuman
2. Menanamkan kedisiplinan secara keras
Profil tingkah laku anak :
1. Impulsif
2. Sulit mengambil keputusan
3. Nakal
4. Sikap bermusuhan atau agresid
Selengkapnya...

Selasa, 16 Maret 2010

FACEBOOK : MENDEKATKAN YANG JAUH DAN MENJAUHKAN YANG DEKAT!


Tulisan ini hanya sekedar pengingat saja.  Tidak ada unsur penghakiman atau terkesan mendramatisir situasi yang tengah berkembanga.  Syukur seandainya apa yang ditulis disini tidak pernah terjadi pada diri kita masing-masing.  Kalau memang terjadi, saatnya melakukan beberapa perbaikan supaya hidup kita bisa lebih berkualitas.
Sadar atau tidak sadar, facebook sudah menjadi bagian hidup dari banyak masyarakat di dunia.  Telah begitu banyak orang yang sangat tergantung pada jejaring sosial yang satu ini.  Hampir semua orang memanfaatkan jejaring ini dalam menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, baik teman sekolah, rekan kerja atau sekedar kenalan baru.
Tidak hanya itu, bahkan beberapa orang menjadikan facebook menjadi gaya hidup baru yang wajib menemani dimanapun berada.  Menjadi sarana untuk eksis, sekedar berkeluh kesah, bercerita tentang kegiatan, curhat atau juga secara tidak langsung menunjukkan berbagai keberhasilan hidup. 
Berharap mendapatkan respon dari orang lain, kita terus meng-“update status” dengan berbagai cara, dari mulai yang lebay, alay, kontroversial, romantis dan serius.  Dan untuk sekedar mendapatkan banyak “notification” kita juga terus mengomentari status orang lain.
Kehebatan facebook juga adalah kemampuannya dalam mencari dan merenda kembali hubungan dengan teman yang tidak pernah bertemu, sahabat yang sudah jarang bersua bahkan menjalin hubungan dengan teman istimewa yang pernah mengisi sebagian hidup kita dimasa lalu.  
Lantas, apa yang harus kita waspadai dengan semua ini?
Berapa kali kita membuka facebook dalam sehari, dimana kita membuka facebook selama ini, dan apa yang kita lakukan dengan facebook adalah beberapa hal yang harus kita evaluasi. 
Berapa kali kita membuka facebook dalam sehari?  Ini penting untuk sekedar mengingatkan bahwa sama halnya dengan televisi, facebook menyebabkan kecanduan bagi para penggunanya.  Hampir dalam setiap kegiatan kita selalu menyempatkan diri membukanya, mengamatinya dan menikmatinya.  Namun kita sering lupa bahwa semua itu sering menyebabkan orang lain merasa terabaikan dan tersisihkan.
Mungkin kita tidak menyadarinya.  Ketika kita sedang bersama seseorang di dekat kita, obrolan dan kegiatan menjadi agak terhambat karena kita membagi konsentrasi kita antara orang itu dan facebook ditangan kita.  Bahkan kita sering meminta orang lain untuk menunggu sampai kita merasa nyaman untuk menutup facebook.  Bayangkan seorang suami yang mendengarkan curhat isterinya sambil membuka facebook, atau seorang anak yang dinasehati orang tuanya sambil membuat status baru di facebook, atau pimpinan kerja harus diabaikan ketika rapat karena beberapa orang berkomunikasi melalui facebook.
Jangan heran bila kemudian beberapa institusi melarang karyawannya untuk bermain facebook di jam kerja.  Beberapa sekolah memblok fasilitas facebook didalam jaringan internet di sekolahnya.  Atau beberapa organisasi masyarakat sampai meng-haram-kan facebook.  Tentunya ini adalah dampak negatif dari candu yang menyebar dari penggunaan facebook.
Pertanyaan berikutnya, dimana selama ini kita membuka facebook?  Dengan laptop dan handphone, kesempatan membuka facebook menjadi lebih mudah sehingga hampir disemua tempat memungkinkan seseorang untuk mempergunakan facebook.  Kembali…tanpa sadar kita sering membuka facebook ditempat yang seharusnya tidak dilakukan.  Ketika menjelang shalat Jum’at tidak jarang penulis melihat beberapa orang masih sempat membuka facebook.  Mungkin itu juga terjadi ditempat ibadah lainnya.  Bahkan disekolah sekalipun seorang siswa masih bisa menyempatkan diri untuk melongok facebooknya beberapa saat.
Ini candu!  Bukan masalah boleh atau tidak boleh, bukan masalah mengekang hak, bukan masalah gagap tekhnologi, tapi masalah mental bangsa ini secara umum.  Dalam hal apapun, kita sering berlebihan dalam menyikapi perkembangan jaman.  Kita masih ingat bagaimana dulu kita keranjingan “tetris”, “friendster” dan sekarang “facebook”.
Yang terakhir, apa yang selama ini kita lakukan dengan facebook?  Mari mulai sekarang kita sedikit membatasi pemanfaatan facebook seandainya memang kurang memberikan dampak positif yang signifikan bagi kepentingan kerja dan keluarga.  Keluarga, mungkin menjadi salah satu korban dari terjangkitnya candu facebook.
Keluarga adalah orang yang terdekat dalam hidup kita.  Jangan sampai karena facebook, jangan karena kita bisa merasa lebih dekat dengan orang-orang diluar sana, kita menjadi lupa dengan orang-orang disekeliling kita.  Apalagi seandainya, suami, isteri dan anak-anak juga menjadi pengguna aktif dari facebook.  Bisa kita bayangkan masing-masing sibuk dengan relasi yang jauh disana, namun menjadi mengabaikan hubungan personal antara anggota keluarga.
Hai…ingat…!!  Mereka ada disana, dan keluarga ada disini!
Mereka adalah sahabat, teman dan relasi, tapi yang disini adalah anak, isteri atau suami.
Mari kita renungkan kembali.  Apakah aktifitas berlebihan kita dengan facebook menjadikan kita lebih berkualitas atau tidak?

Maret 2010


Selengkapnya...

Senin, 08 Maret 2010

6 TIPE ANAK CERDAS ISTIMEWA

Tipe anak gifted menurut Betts dan Neihart (1988) dalam Dabis dan Rimm menyebutkan 6 tipe anak gifted. Macam-macam tipe anak Cerdas ini perlu diketahui mengingat tidak semua anak CIBI memiliki ciri dan karakter yang sama sehingga hal tersebut cukup membingungkan guru, orang tua atau masyarakat.
Guru masih banyak yang menganggap bahwa anak CIBI harus rajin, tekun, taat dan patuh. Oleh karena itu ketika guru melihat ada anak yang memiliki ciri berlawanan dengan anggapan tersebut maka guru menganggap anak tersebut tidak cocok disebut CIBI. anggapa ini pun akhirnya akan berdampak pada cara guru dalam melakukan pendampingan terhadap anak CIBI.
Orang tua juga sering membandingkan anaknya yang termasuk kategori CIBI dengan anak CIBI lainnya. Membanding-bandingkan ciri ini akan melahirkan tuntutan yang berlebihan atau harapan melebihi kemampuan anak CIBI itu sendiri. Orang tua yang memiliki anak bandel atau pemberontak akan menganggap anaknya tidak CIBI hanya karena orang tua tersebut membandingkan dengan anak CIBI lain yang memiliki ciri penurut, taat dan rajin.

Hal yang sama akan ditemui dimasyarakat. Masyarakat akan menjadi heran, aneh dan kaget bila melihat beberapa anak CIBI memperlihatkan sebuah ciri yang tidak sesuai dengan anggapan mereka. Lalu masyarakat akan mengambil kesimpulan bahwa program layanan yang ada dan membimbing anak CIBI adalah gagal! EDISI : SEMINAR NASIONAL “POTENSI LUAR BIASA SEJUTA ANAK CERDAS ISTIMEWA INDONESIA
(Bagian 2)


Menjadi sangat penting kita mulai mempelajari dan melakukan pengamatan untuk kemudian memandang anak CIBI dalam sudut pandang yang benar-benar baru.

Adapun tipe ini disampaikan pada Seminar Nasional Potensi Luar Biasa Sejuta Anak Cerdas Istimewa, pada tanggal 23 Februari 2010 di Jakarta.

1. Tipe I (The Succesful)
Dalam dunia pendidikan, menurut Betts dan Neihart, anak-anak gifted yang terindentifikasi sebanyak 90 persen adalah dari kelompok tipe ini. Mereka adalah anak-anak yang mampu meraih yang sangat baik, dan dapat mengikuti sistem pendidikan konvensional dengan baik. Mereka mendengarkan dan mempelajari dengan baik apa yang diajarkan baik di sekolah maupun di rumah. Dalam berbagai tes atau ujian mereka juga meraih skor yang tinggi, disamping itu mereka dapat terpilih dan mendapatkan tempat dalam program pendidikan anak gifted.
Terhadapnya, lingkungan baik pihak sekolah maupun orang tua sangat percaya bahwa dirinya dapat meraih prestasi sebaik-baiknya. Ia sangat disenangi oleh sekolah, orang tua dan diterima dengan baik oleh teman-teman sebanyanya. Ia juga tidak mengalami masalah dalam pergaulan. Perkembangan sosial emosionalnya sangat baik. Terhadap anak-anak ini pula, orang disekitarnya tidak melihat apa kekurangannya. Namun sebetulnya ia kurang bisa belajar secara mandiri. Ia mendapatkan prestasi karena dukungan dan bimbingan. Bukan karena mengembangkan minatnya secara mandiri. Kelihatannya ia memiliki konsep diri yang positif, sebagai bentukan karena ia mempunyai prestasi yang baik dan lingkungan yang dapat menerima dirinya dengan baik. Mereka memang menyabet nilai kompetensi yang tinggi saat sekolah. Namun sebetulnya mereka tidak bisa mengembangkan talentanya secara mandiri.

2. Tipe II (The Challenging)
Tipe ini sering tidak teridentifikasi oleh sekolah atau orang tua karena mereka tidak menunjukkan prestasi yang baik. Mereka biasa melakukan segala sesuatu secara spontan dan seringkali spontanitas itu dianggap kegiatan yang mengacaukan, tidak teratur dan tidak patuh. Anak kelompok ini biasanya memiliki tingkat kreatifitas yang sangat tinggi, namun tidak belajar untuk memanfaatkan kebolehannya. Anak ini lebih banyak frustasi karena sistem pendidikan tidak memberikan keleluasan dan perhatian kepada mereka baik kreatifitasnya maupun talentanya.
Kelompok gifted ini adalah kelompok anak yang beresiko tinggi, karena luput dari perhatian dan tidak ditangani dengan baik dan berakibat pada putus sekolah, perilaku bermasalah dan masuk ke dalam sirkuit kenakalan remaja dan penyalahgunaan obat terlarang.

3. Tipe III (The Underground)
Kelompok ini adalah kelompok yang menyembunyikan talenta dan kemampuannya. Umumnya terjadi pada kelompok gifted perempuan diusia sekolah lanjutan pertama. Mereka cenderung menyembunyikan kemampuannya untuk bisa diterima oleh teman sebayanya. Pada lelaki biasanya terjadi ketika masa usia SMA karena mereka meresppon perkembangan sosial yang terjadi disekelilingnya. Ciri mereka biasanya diawal tahun pelajaran cenderung mampu memaksimalkan kemampuannnya, namun ketika menjelang akhir mereka mengalami penurunan yang drastis dan bahkan menolak kelebihan yang ada pada dirinya.
Anak seperti ini adalah kelompok anak yang merasa tidak nyaman, tidak aman dan merasa cemas. Bahkan tekanan tidak hanya muncul dari dirinya sendiri, namun juga dari lingkungan. Teman sebayanya menekan kemampuan mereka untuk bisa menerima kelebihan mereka. Tidak hanya itu bahkan orang tua dan guru sekalipun memberikan tekanan yang tidak kalah beratnya kepada mereka.

4. Tipe IV (The Dropouts)
Kelompok ini memiliki potensi yang tinggi namun tidak mendapatkan dukungan yang baik dari sekolah dan orang tua. Mereka cenderung tidak bisa memunculkan prestasinya dengan harapan dan kemampuannya sendiri. Sistem pendidikan di sekolah menyebabkan ke-frustasi-an dan pada akhirnya membawanya pada penarikan diri dan kondisi depresi.
Tipe ini merupakan dampak dari tidak adanya penanganan yang baik untuk anak kelompok II atau The Chalanging yang berlanjut kepada frustasi dan depresi. Frustasi dan depresi ini bisa muncul di sekolah tingkat lanjut namun pada dasarnya telah dimulai sejak pendidikan dasar. Droupout bukan saja dalam bentuk prestasi sekolah yang menurun namun juga secara mental dan emosional.
Kelompok ini memang merupakan kelompok anak gifted yang terlambat diidentifikasi. Di sekolah dasar ia tidak terdekteksi sebagai anak gifted. Akhirnya anak seperti ini tidak memiliki mitivasi internal yang sangat lemah. Kelompok ini membutuhkan kerjasama dengan yang baik dengan orang yang dewasa yang memang dipercayai. Orang tua juga memerlukan bimbingan khusus agar dapat menghadapinya dengan baik. Kepada anak ini perlu dilakukan tes untuk melihat dibagian apa kekuatannya.

5. Tipe V (The Double Labeled)
Merupakan kelompok gifted yang memiliki gangguan secara fisik, emosional tatupun gangguan belajar (learning disabilities). Anak kelompok ini memerlukan program khusus untuk modifikasi program yang sesuai dengan kondisinya. Seringkali ia tidak menunjukkan prestasi sebagaimana anak gifted pada umumnya karena mereka lebih sering dilihat dari sisi lemahnya, bukan kekuatannya.
Misalnya tulisan yang jelek disebabkan karena motorik halusnya terganggu atau perilakunya yang kacau sehingga tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Anak-anak ini juga seringkali kesulitan menyelesaikan tugas-tugasnya karena ketidakbiasaannya sebagai akibat gangguan yang memang kasat mata.
Bila sekolah dan orang tua tidak mampu menemukan sumber kekurangannya lalu berlanjut secara terus menerus maka akan memunculkan kefrustasian, merasa tidak dihargai, tak dibantu dan merasa terasing. Bahkan si anak sendiri mungkin tidak mengakui dan menyadari sumber masalahnya sendiri secara spesifik.
Sekolah dan orang tua sering tidak mengakui bahwa sesungguhnya anak itu luar biasa karena memang secara fisik dan tampilam, mereka tidak mampu memperlihatkannya secara baik. Karena tidak teridentifikasi, pihak sekolah hanya melihat dan menangani kekurangannya saja namun faktpr kelebihannya tidak terkelola dengan baik.

6. Tipe VI (The Outonomous Learner)
Anak gifted yang sangat mandiri dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang sangat kuat. Ia dapat mengembangkan diri secara kreatif dan mampu memanfaatkan segala sesuatu yang ditawarkan dalam pendidikan. Apa yang didapatkan dari sekolah dapat ia kembangkan sendiri sebagai sesutau yang baru. Ia tidak tergantung kepada orang lain dan sangat independen. Ia dapat menentukan sendiri apa yang ingin dicapainya, mempunyai sikap diri yang positif. Ia juga mampu mengekspresikan perasaan, tujuan dan cita-citanya dengan baik dan bebas. Ia sangat disayangi oleh lingkungan dan mendapatkan dukungan positif. Biasanya ia terpilih menjadi pemimpin dalam kelompoknya, baik di sekolah maupun d masyarakat.

Dari uraian diatas semoga kita bisa mendapatkan wawasan baru dalam memandang keberadaan anak Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa. Dengan demikian baik guru atau orang tua dapat melakukan identifikasi dan penanganan secara cepat dan tepat.
Bandung, Maret 2010
Selengkapnya...

Kamis, 04 Maret 2010

BEBERAPA BENTUK KENDALA PENGHAMBAT KREATIFITAS SISWA

KENDALA DARI GURU
Mengutip dari Cropley (1989), prof.Dr.S.C. Utami Munandar mengemukakan beberapa karakteristik guru yang cenderung akan menghambat kreatifitas dan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat atau mengembangkan kreatifitasnya, diantaranya adalah :
1. Penekanan bahwa guru selalu benar.
2. Penekanan berlebih pada hapalan.
3. Penekanan pada belajar secara mekanis tekhnis pemecahan masalah.
4. Penekanan pada evaluasi ekternal (oleh guru) dan kurang mementingkan evaluasi oleh siswa itu sendiri.
5. Penekanan secara ketat untuk menyelesaikan pekerjaan.
6. Penekanan berlebihan pada konformitas terhadap norma kelompok.
7. Perbedaan secara kaku antara bekerja dan bermain dengan menekankan makna dan manfaat bekerja, sedangkan bermain adalah sekedar untuk rekreasi.

KENDALA DARI BUDAYA
Dalam bukunya “Conceptual Blockbusting” J.L. Adams mengungkapkan beberapa kendala budaya terhadap kreatifitas diantaranya :
1. Menganggap bahwa berkhayal atau melamun adalah membuang-buang waktu.
2. Suka atau sikap bermain hanya untuk anak-anak dan membuang-buang waktu.
3. Kita harus berpikir logis, kritis, analistis, dan tidak mengandalkan pada perasaan, firasat, dan intuisi.
4. Setiap masalah dapat dipecahkan dengan pemikiran ilmiah dan dengan uang.
5. Keterikatan dan kepercayaan terhadap tradisi.
6. Adanya atau berlaku tabu-tabu yang berkembang di masyarakat.

KENDALA DARI KELUARGA


Termasuk lingkungan dekat seperti lingkungan rumah baik dari aspek fisik ataupun sosial. Berikut adalah kendala-kendala yang muncul dari lingkungan terdekat dari siswa yang menghambat pengembangan kreatifitas, yaitu:
1. Kurang adanya kerjasama dan saling percaya antara anggota keluarga dan dalam pertemanan.
2. Orang tua yang otokrat dan tidak terbuka terhadap ide-ide anak.
3. Ketidaknyamanan dalam keluarga dan lingkungan.
4. Gangguan dari lingkungan, keributan dan kegelisahan.
5. Kurang ada dukungan untuk mewujudkan gagasan-gagasan.

KENDALA DARI SISWA ITU SENDIRI
Kendala persepsi
1. Sulit mengidentifikasi masalah.
2. Selalu lari dari masalah.
3. Tidak mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
4. Hanya terpaku pada harapan, stereotip atau pe-label-an yang terlalu dini.
5. Tidak peka terhadap masukan sensorik.

Kendala emosi
1. Tidak adanya tantangan sehingga tidak menarik perhatian.
2. Semangat yang berlebihan sehingga ekspektasi terlalu tinggi.
3. Takut membuat kesalahan karena perfeksionis.
4. Tidak tenggang rasa terhadap keteraturan dan keamanan.
5. Lebih suka menilai gagasan ketimbang mengemukakan gagasan.
6. Tidak dapat rileks atau ber-inkubasi.

Kendala imajinasi
1. Pengendalian yang terlalu ketat terhadap alam prasadar dan tidak sadar.
2. Tidak memberi kesempatan pada daya imajinasi.
3. Tidak mampu membedakan antara realitas dan fantasi.

Kendala intelektual
1. Kurang informasi atau mendapat informasi yang salah.
2. Tidak lentur menggunakan stratgei pemecahan masalah.
3. Perumusan masalah tidak tepat.

Kendala pengungkapan
1. Keterampilan bahasa kurang untuk mengungkapkan gagasan.
2. Kelambanan dalam ungkapan secara tertulis.

Sumber bacaan:
Kreatifitas dan keberbakatan (Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat)
Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Bandung, 4 November 2009
Selengkapnya...

KARAKTERISTIK, PERILAKU POSITIF DAN PERILAKU NEGATIF ANAK GIFTED



1.       Sangat waspada terhadap sesuatu yang kurang berkenan
Salah satu karakter ini akan menimbulkan sebuah sikap cepat tanggap terhadap segala yang terjadi dalam kehidupan sekelilingnya.  Mereka sangat peka dengan segala sesuatu yang tidak berkenan pada dirinya.  Oleh karena itu jangan terkejut bila salah satu ciri mereka juga adalah mudah menangis dan sensitif. 
Selama ini anak CIBI yang mudah menangis selalu mendapatkan stigma negatif dengan julukan cengeng, manja dan kurang mandiri.  Mereka sangat peka dengan situasi disekitarnya.  Mereka mudah tersenuth perasaannya bila melihat ketidakadilan dan kesalahan dalam hidupnya.
Siswa seperti ini sangat potensial menjadi aktivis lingkungan, pejuang hask asasi dan profesi sejenis yang berhubungan dengan kepedulian sosial.  Oleh karena itu orang tua dan guru harus mampu memaksimalkan kemampuan mereka tersebut agar mereka bisa memahami langkah dan cara mereka menyalurkan kemampuannya tersebut.
Namun perilaku negatif juga bisa muncul dari karakter anak seperti ini, diantaranya adalah mereka mudah untuk mengkritik orang lain secara membabi buta.  Anak yang memiliki kemampuan verbal yang baik, akan dengan mudah mengungkapkan ketidaksetujuannya kepada semua orang tanpa memandang usia dan status.  Mereka akan spontan mengatakannya, baik kepada orang tua maupun guru. 
Bila guru atau orang tua tidak memahami hal tersebut, maka bisa menjadi masalah karena akan menganggap anak seperti ini kurang ajar.  Mereka cenderung curiga terhadap sesuatu yang baru dan meragukan bagi dirinya.  Mereka tidak puas hanya dengan menerima apa adanya.  Mengajukan pertanyaan dan pernyataan yang bernada memberontak atau membangkang.
Cara menghadapi anak seperti ini adalah dengan meluangkan waktu untuk berdiskusi dan mendengarkan saja.  Biarkan bibir mereka terus bicara untuk mengungkapkan persepsi, interpretasi dan pandangannya tentang hal yang mereka gugat.  Kita hanya berbicara ketika mereka meminta.  Dengan demikian kita juga memberikan peluang kepada mereka untuk secara mandiri melakukan rekonstruksi pikiran dan pengetahuan mereka dan mereka memahami apa yang mereka pikirkan.
Kesalahan umum menangani anak seperti ini adalah ketika orang tua dan guru berdiri pada posisi merasa paling tahu.  Padahal kita harus memposisikan sebagai orang yang paling tidak tahu untuk kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk melatih mereka kembali menyusun berbagai informasi yang mereka miliki.
Ini sulit, tapi wajib di coba!
Pernah penulis menerima kritik ketika mengajarkan tentang kisah “Boston tea party”.  Penulis salah menyebutkan nama Boston, dan seorang anak CI langsung mengatakan bahwa yang saya katakan itu salah.  Tanpa ada ketakutan, keraguan dan dinyatakan secara spontan,”SALAH!”
Sekolah juga pernah mendapatkan surat dari seorang anak CI yang menggugat hukuman sekolah yang diberikan kepada siswa kelas IX karena mereka tidak hapal hymne sekolah.  Dia memprotes kebijakan sekolah yang menghukum siswa kelas tiga dengan alasan sekolah tidak pernah mengingatkan kembali hymne sekolah yang hanya diajarkan sekali selama menjadi siswa, yaitu pada saat Masa Orientasi Sekolah.

2.       Selera humor yang tinggi
Melawak berbeda dengan selera humor.  Sering kita jumpai anak-anak CIBI senang dengan guru yang suka bercanda dan menuntut guru untuk selalu tampil sesantai mungkin.  Namun yang harus diwaspadai adalah, mereka cenderung tidak menyukai humor kasar dan cabul.  
Humor mereka harus digiring untuk mampu berpikir kreatif, out of box atau cerdas menyikapi keadaan.  Humor mereka cenderung memiliki tingkat kesulitan dan kepelikannya sendiri.  Terkadang penulis juga kesulitan untuk memahami humor mereka yang cenderung sulit dimengerti.  Misalnya ada anak yang bertanya, “ Pak mengapa jaman orde baru, banyak orang yang mengobati sakit giginya ke Singapura?”.  Lalu anak itu menjawab kembali,”karena di Indonesia pada waktu itu tidak semua orang boleh buka mulut…”.
Perilaku positif dari karakter ini adalah mereka cenderung memiliki tingkat kepekaan diri untuk bisa menerima kesalahannya sendiri.  Mereka mampu merespon setiap humor dan merasakan apa maksud dari humor tersebut jika memang mereka merasa seperti yang di anekdotkan tersebut.  Kemampuan membaca diri dalam bentuk humor menjadi penting bagi kematangan emosional seseorang sehingga mereka mampu melakukan sosialisasi dengan baik dengan lingkungannya.
Namun perilaku negatif dari karakter ini adalah dengan melontarkan lelucon dengan mengorbankan orang lain.  Lelucon ini bisa menyangkut fisik, nama atau kebiasaan yang melekat pada diri seseorang.  Kemampuan anak CIBI dalam menangkap fenomena dan gejala yang muncul dari lingkungan lalu digabungkan dengan selera humor yang tinggi akan memunculkan sebuah lelucon segar sekaligus menohok setiap orang yang di”tembak.
Ejekan atau lelucon ini tidak hanya antar teman sebaya namun juga bisa kepada guru yang mereka nilai tidak sesuai dengan harapan mereka.  Dan karakter ini pada akhirnya akan berpotensi memunculkan konflik antar rekan dan dengan guru.  Tanpa ada bimbingan dan arahan dari guru yang juga memiliki selera humor yang tinggi tidak mustahil karakter ini akan dianggap sebagai masalah besar dalam kehidupan sosial anak dan sekolah.

3.       Mampu memahami keterkaitan satu dengan yang lain
Teori sering diberikan oleh guru secara terpisah dan dalam waktu yang tidak berurutan, namun kelebihan anak CI adalah mereka mampu menghubungkan dan mengaitkan sebuah peristiwa satu dengan peristiwa lainnya.  Mereka dapat menyatukan “puzzle-puzzle” keilmuan berupa teori untuk kemudian memandangnya sebagai satu-kesatuan yang utuh.  Anak CIBI bisa mempertanyakan sebuah teori ekonomi bila ada ketidakcocokan dengan teori yang ada didalam pelajaran sejarah.  Padahal keduanya tidak berhubungan secara langsung, namun mereka bisa mengaitkannya satu dengan yang lain.
Dengan kelebihannya tersebut, maka anak CIBI sebenarnya mampu untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri secara mandiri.  Berbagai pengalaman dan pengetahuannya mampu mereka hubungan dan dipergunakannya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, baik dalam pertemanan, belajar dan sosial.
Salah satu yang bisa dikembangkan adalah dengan melatih mereka untuk membuat karya tulisa ilmiah sederhana sehingga mereka akan mampu mengembangkan kemampuannya tersebut secara teratur dan sistematis.
Namun ada dampak negatif yang umumnya melekat pada karakter ini adalah mereka cenderung suka ikut campur urusan orang lain.  Bila mereka melihat sebuah tindakan teman, guru atau orng tuanya tidak sesuai dengan harapannya, mereka akan cenderung langsung mengatakannya dan mengemukakan alasan serta solusinya.   Mereka cenderung sulit untuk mendengar karena mereka akan merasa dirinya mampu memberikan solusinya.
Dalam hubungan individu, anak seperti ini akan sulit untuk bisa dan mampu untuk mendengarkan segala sesuatu dengan utuh dan komprehensif karena akan cenderung menganggap dia merasa mampu menemukan solusinya dengan cepat.

4.       Dorongan berprestasi yang tinggi
Dorongan yang tinggi untuk berprestasi melekat pada diri semua anak, khususnya anak CIBI.  namun demikian, lingkungan sekitar sering mematikan dorongan tersebut dengan berbagai stigma negatif kepada anak atau siswa yang belum mampu menunjukkan kemampuannya secara maksimal.
Pada diri anak CIBI, dorongan untuk berpretasi ini sangat nampak dalam karakter yang cenderung negatif seperti arogan, tidak mau mengalah, atau tidak sabaran dalam menghadapi kelambanan yang dilakukan oleh rekan-rekannya.  Dorongan-dorongan ini pula yang berpotensi memunculkan dampak negatif pada diri anak-anak CIBI karena dianggap sulit bergaul atau tidak mau bersosialisasi.
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan anak CIBI lebih suka konsentrasi dengan aktivitasnya sendiri ketimbang bergabung dengan teman sebayanya karena alasan “tidak nyambung”  sehingga mereka memilihi untuk bergaul dengan orang yang lebih tua usianya.
Ketidakcocokan ini bukan kesalahan anak tersebut, namun lebih kepada kemampuan mereka untuk menangkap sesuatu secara cepat.  Sehingga kemampuannya tersebut, digabungkan dengan kemampuannya dalam menggabungkan beberapa hal sebagai kesatuan kemudian membuatnya tidak merasa cocok dengan pola pikir rekan sebayanya.
Namun demikian, dengan bimbingan yang baik dan benar maka kemampuannya ini bisa dilihat dalam penyelesaian tugas sekolah.  Mereka akan cenderung melakukan sesuatu secara baik dan cenderung perfectionis.  Bila tugas yang diterimanya dirasakan tidak menarik dan tidak menantang kemampuannya secara  maksimal, bahkan bisa jadi mereka tidak menyelesaikan tugas tersebut sama sekali.

5.       Kemampuan verbal yang tinggi
Mungkin kita pernah merasa kurang nyaman ketika menapatkan seorang anak yang belum dewasa memiliki kemampuan berbicara, menentang atau mengkritik orang lain secara lugas.  Atau kita dibuat terkagum-kagum dengan kemampuan seorang anak yang mampu berbicara lancar dan belum tentu bisa dilakukan oleh teman sebaya pada umumnya.
Hal tersebut menjadi salah satu ciri dari anak CIBI.  kemampuan verbal atau oralnya lebih cepat berkembang dibandingkan dengan kemampuan rekan-rekannya.  Walaupun dalam beberapa kasus, ada beberapa anak CIBI yang mengalami keterlambatan dan keterampilan verbalnya.
Anak dengan kemampuan seperti ini bisa memberikan argumen, pertanyaan atau sanggahan secara lugas dan sistematis.  Sering orang tua atau guru idbuat pusing dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam sebuah persoalan.  Pertanyaan itu bisa menjadi alat bagi mereka untuk mengukur apakah seseorang itu dapat dipercaya oleh dirinya untuk dijadikan salah satu sumber informasi.
Oleh karena itu jangan heran mereka cenderung bisa melakukan penolakan terhadap kehadiran seseorang hanya karena penilaiannya kepada kemampuan orang lain dalam berbicara.  Dampak negatif lainnya adalah mereka mampu memanipulasi orang lain dengan kemampuannya.  Hal ini bisa dalam bentuk ketergantungan secara personal maupun dalam pergaulan sosial.
Dengan kemampuan verbalnya, anak CIBI

Bersambung...

EDISI : SEMINAR NASIONAL “POTENSI LUAR BIASA SEJUTA ANAK CERDAS ISTIMEWA INDONESIA
(Bagian 1)
Selengkapnya...