Selamat datang dunia baru yang penuh dengan toleransi.
Menulis dan membaca tulisan tentang toleransi beragama harus hati-hati dengan kata-kata dan kalimat. Kesalahapahaman mudah muncul ketika kita membahas agama, khususnya tentang toleransi. Hal ini menjadi wajib diperhatikan karena ketika kita berbicara toleransi maka harus membuang sikap egois beragama dan berani mengakui persamaan nilai-nilai universal keagamaan, walau pada tataran praktek kita sering melihat hal yang sebaliknya.
Penulis merasa perlu membahas ini karena memiliki mimpi Indonesia dibangun dalam suatu masyarakat yang hidup harmonis membangun bangsa dan negara ini tanpa harus menghabiskan energi dan pikiran untuk menangani masalah pertentangan agama. Mengapa agama yang harus dibahas? Karena penulis menyadari, sangat menyadari, kalau hal “keduniawian’ kita masih bisa berbagi, namun dalam kehidupan beragama kita sering sekali terjebak pada keyakinan bahwa agama kita adalah syorga dan agama lain adalah neraka! Hal itu tidak akan menimbulkan masalah ketika keyakinan itu disimpan dalam sanubari masing-masing dan tidak menjadikan semangat “mengkafirkan” keyakinan orang lain.
Tulisan ini harus dimulai dari sebuah perumpamaan sebagai berikut :
“Saya akan tersinggung dan marah bila ada penganut agama lain menghina agama saya dengan berbagai cap seperti “neraka”, “teman setan”, “salah” dan “gelap”. Saya akan memberontak ketika ada penganut agama lain memaksakan keyakinannya kepada saya melalui ancaman dan kekerasan, saya akan membantah keras kalau ada beberapa nilai keyakinan saya dianggap irasional, klenik atau kuno”
“Saya akan menganggap agama saya aalah yang paling benar, saya akan terus menanamkan keyakinan itu melalui kehidupan saya sehari-hari. Saya akan terus melatih segala kekurangan saya dalam melakukan ibadah. Hal-hal yang berbau irasional dalam agama saya selalu saya anggap sebagai ujian keimanan. Logika saya akan saya “gembala” menuju tuntunan agama saya”
Nah…sekarang, bayangkanlah semua orang akan mengatakan hal yang sama pada dirinya sendiri tentang agama dan keyakinannya masing-masing. Lantas dimana “alasan” atau “pembenaran” kita untuk men”jastifikasi” agama orang lain. Kalau kita marah apabila agama kita diganggu, dihina dan dihujat, bagaimana dengan orang lain? Kalau kita meyakini agama kita sepenuh hati, bukankah orang lain juga memiliki hak untuk itu?
Ketika anak saya bertanya, “ayah kalau orang Islam akan masuk syorga?” saya menjawab “insyaAllah”. Lantas dia bertanya kembali,”Kalau yang tidak Islam berarti masuk neraka?” saya menjawab, “Nggak dong, mereka juga masuk Syorga, tapi syorga-nya agama mereka”. Anak saya kembali bertanya,”emang syorga itu banyak?”, saya hanya bisa menjawab,” Tiara, Tuhan tidak akan kesulitan dan tidak akan rugi membuat syorga yang maha luas dan maha banyak. Tiara kan tahu Allah Maha Kaya dan Maha Pengasih”.
Saya tidak pernah berpikir apakah anak saya akan memahami atau tidak pernyataan itu diusianya yang ke 8 tahun. Tapi saya hanya ingin anak saya mulai untuk menghargai keyakinan agama orang lain dengan tidak dijejali pernyataan “negatif” tentang agama lain dan “hanya” mengatakan pernyataan “positif” saja tentang agama saya. Saya ingin anak saya memiliki sikap dan pandangan “positif” tentang agamanya dan agama orang lain. Bahkan setelah memberikan landasan yang kuat tentang agamanya, saya ingin sekali memperkenalkan kepadanya tentang ajaran dan nilai-nilai agama lain yang ada di bumi ini.
Pada saat yang tepat, saya harus menerangkan bagaimana agama Kristen mengajarkan kasih sayang sesamanya melalui Bunda Theresia atau Bapak Mangunwijaya yang telah mengabdikan hidupnya untuk orang-orang miskin, terpinggirkan dan pengabdian mereka kepada kemanusiaan. Saya ingin memperkenalkan ajaran dan nilai dalam kitab Mahabarata serta Ramayana dan implementasinya pada diri Mahatma Gandhi, memberikan sedikit pengertian tentang Para Dewa sebagai representasi sifat-sifat Tuhan sehingga pandangannya menjadi jernih ketika melihat ritual dan ibadah kaum Hindu. Saya ingin juga mengajarkan “jalan tengah” sang Budha dengan segala ajaran dan filosofinya dalam menyikapi hidup yang serba menjebak dan melahirkan kesengsaraan. Saya akan berikan alternatif pemikiran tentang Reinkarnasi, Dharma dan Syorga Neraka dari semua sudut pandang semua agama.
Saya tidak ingin pengalaman saya yang hanya dijejali dengan berjuta pernyataan tentang agama saya tanpa sedikit pun diberi keleluasaan untuk belajar agama lain. Saya merasakan bagaimana saya terbiasa untuk melihat dunia ini “hitam-putih” saja. Pandangan sempit itu pernah membuat saya menjadi picik.
Bagaimana kita bisa dengan lantang meng-klaim bahwa agama kita paling toleran dibandingkan agama lainnya, sementara pernyataan kita tidak pernah lepas dari menghujat ajaran agama lain. Bagaimana kita bisa yakin dengan kebenaran agama kita sementara kita tidak pernah bahkan melarang untuk mempelajari agama lain. Bagaimana kita meyakini Nabi Muhammad sebagai tauladan yang paling toleran sementara tingkah laku kita sangat-sangat tidak “Muhammad” ?
Ada semacam ketakutan pada diri kita ketika ada keluarga, rekan dan sejawat kita mempelajari agama lain. Takut kalau-kalau mereka akan terpangruh dan berpindah keyakinan. Semakin besar ketakutan itu, bukankah berarti semakin kurang keyakinan kita akan kebenaran agama kita sendiri? Dan ketidakyakinan akan keteguhan mereka kepada agamanya sendiri? Semua orang berhak untuk mencari kebenaran sejati!
Membangun toleransi memang tidak selalu harus melalui mempelajari agama lain, saya paham itu. Tapi setidaknya dengan mempelajarinya, keyakinan saya akan kebenaran agama sendiri menjadi semakin kuat dan pemahaman saya tentang agama lain pun akan semakin mendalam. Sampai pada titik keyakinan…
“Bagi Tuhan tidak sulit membuat penduduk dunia ini meyakini satu agama yang di Ridhai-Nya, tapi Tuhan tidak melakukannya karena pasti ada berjuta hikmah di dalamnya. Lantas mengapa kita ingin lebih berkuasa dari Tuhan dengan ingin menyatukan keyakinan itu? Dan sangat mudah bagi Tuhan untuk menghancurkan agama lain yang tidak diinginkan-Nya, tapi mengapa Tuhan tidak melakukannya kalau tidak ada maksud tertentu. Lantas mengapa kita merasa paling “tuhan” dengan ingin menghancurkan agama, dan keyakinan lainnya?”
Semakin banyak saya mempelajari keyakinan dan agama lain maka saya semakin yakin bahwa mereka memiliki alasan-alasan “LOGIS” tersendiri untuk membenarkan keyakinannya, sama dengan kita sendiri yang melakukannya dengan agama kita masing-masing. Dan alangkah indahnya apabila kita bisa belajar untuk lebih toleransi antar pemeluk agama lainnya.
Ada penulis agama Hindu yang bukunya saya baca dan menulis beberapa penyataan dalam kitab dan kenyataan di dunia bahwa agama Hindu adalah agama paling toleran, begitu juga dari buku agama Budha yang saya baca, begitu juga dari buku-buku dan ceramah pemuka agama saya sendiri, Islam. Saya temukan juga pada beberapa buku Kristen yang mengatakan pentingnya toleransi. Tapi saya masih gelap dan miris dengan kenyataan yang terjadi di dunia ini.
Melalui pendidikan yang saya jalani, saya ingin memulai untuk membangun jiwa toleransi itu secara total. Saya membaca buku sejarah peradaban manusia, dan hampir seluruhnya berisi dengan perkembangan suatu agama baru, menyebarkannya dengan menghancurkan agama lainnya. Terus berulang dan berulang. Dendam dan nafsu yang dibalut dengan keyakinan sebagai “tentara tuhan”, “wakil tuhan”, “janji syorga”, “pengabdian tertinggi karena kaykinan” telah banyak menodai sejarah peradaban manusia itu sendiri dengan darah dan kesengsaran berkepanjangan.
Saya sempat berpikir seandainya agama itu tidak pernah ada, minimal satu penyebab kehancuran peradaban ini hilang dari muka bumi. Tapi ah…itu sesuatu yang sia-sia saja karena semua itu telah terjadi. Sekarang adalah tugas saya dan dunia pendidikan untuk memperbaikinya.
Selamat datang dunia baru yang penuh dengan toleransi.
Berbagi Pengalaman dan Pengetahuan Seputar Layanan Pendidikan Anak Cerdas Istimewa
Kamis, 22 Januari 2009
at
19.38
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar