Jumat, 10 Juli 2009

MEMBANGUN KEPRIBADIAN ANAK DENGAN CINTA

Dengan cinta maka orangtua dapat menerima anak apa adanya. Terlepas dari apakah
orangtua melihat kelebihan anak ataukah tidak, terlepas dari apakah
orangtua menyukai cacat (kelemahan) anak atau tidak. Tentu saja hal ini
hanya mungkin bagi orangtua yang memiliki tanggungjawah. Orangtua yang
baik tidak akan menuntut anaknya untuk sama dengan anak lainnya. Karena
setiap individu adalah unik. Kita dapat membentuk kepribadian anak
kita, tetapi bukan untuk menyamakan karakter mereka.
. Seperti kita lihat
sahabat Umar ra, Abu Bakar ra dan sebagainya, mereka tidak memiliki
karakter yang sama meskipun masing-masing mereka merupakan
pribadi-pribadi yang islami. Keunikan mereka justru menjadian mereka
ibarat bintang-bintang yang gemerlapan di langit, terangnya bintang
yang satu tidak memudarkan terangnya bintang yang lain. Begitu pula
halnya dengan kreatifitas, setoap sahabat adalah insan kreatif.
Masing-masing mereka memiliki dimensi kreatifitas sendiri-sindiri.
Salman Al-Farisi penggagas perang parit, Umar bin Khattab penggagas
ketertiban lalu lintas, Abu Bakar Ash-Shiddiq penggagas tegaknya sistim
ekonomi islam, Khalid bin Walid penggagas strategi perang moderen dan
banyak lagi. Tinggal yang menjadi masalah sekarang adalah, kita para
orangtua kurang bersungguh-sungguh untuk menemukan bakat-bakat dan
minat-minat yang dimiliki oöeh anak. Seolah-olah kita para orangtua
lebih suka anak kita menjadi fotokopi orang lain, ketimbang dia tumbuh
sebagai suatu pribadi yang utuh. Kalau anak-anak Amerika dengan
shibghah (celupan) individualis liberalis dapat mengatakan : I want to
be me ! Mengapa anak-anak kita, anak muslim tidak dapat mengatakan :
Ana Abdullah ( Saya abdi Allah) ! Kalau kepribadian menentukan
kreativitas, maka seorang muslim pada hakekatnya memiliki potensi
kreatif lebih besar dibandingkan ummat-ummat lainnya. Karena
kepribadian islam tiada tandingannya.
Menumbuhkan dan Mengem-bangkan Motivasi
Kepribadian yang
kuat biasanyaa memiliki motivasi yang kuat pula. Tapi karena
kreatifitas itu dimulai dari suatu gagasan yang interaktif, maka
dorongan dari luar juga diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan.
Dalam hal ini para orangtua banyak berperan. Dengan komunikasi dialogis
dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan merasa dipercaya,
dihargaai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung,
dilibatkan dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan
ini anak akan memiliki dorongan yang kuat untuk secara berani dan
lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain komunikasi dialogis dan
mengdengar aktif, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah
seharusnya kita memberikan perhatian serius kepada aktifitas yang
tengah dilakukan oleh anak kita. Seperti misalnya melakukan aktifitas
bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan shoum dan shalat
bersama anak-anak kita, mengapa untuk aktifitas yang lain kita tidak
dapat melakukannya ? Bukanlah lebih mudah untuk mentransfer suatu
kebiasaan yang sama ketimbang harus memulai suatu kebiasaan yang sama
sekali baru ? Dengan demikian sesungguhnya seorang muslim memiliki
peluang yang lebih besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif.
Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai orangtua muslim senantiasa
berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai hal dan
sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Agar mereka
lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif. Suatu
hal yang perlu dicatat dalam memotivasi anak agar kreatif, lakukanlah
serekreatif mungkin dan hindarilah kesan-kesan rekonstruktif.
Mensistimatisir Proses Pembentukan Anak Kreatif
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam pembentukan anak kreatif adalah :
Pertama :
Persiapan waktu, tempat, fasilitas dan bahan yang memadai. Mengenai
waktu dapat berkisar antara 5- 30 menit setiap hari, sangat tergantung
pada bentuk kreatifitas apa yang hendak dikembangkan. Begitu pula
halnya dengan tempat, ada yang memerlukan tempat yang khusus dan ada
pula yang dapat dilakukan di mana saja. Fasilitas tidak harus selalu
canggih, tergantung sasaran apa yang hendak dicapai. Bahan pun tidak
harus selalu baru, lebih sering justru menggunakan bahan-bahan sisa
atau bekas.
Kedua :
Mengatur selang seling kegiatan. Kegiatan diatur sedemikian rupa agar
dalam melakukan aktifitas tersebut anak-anak terkadang melakukan
aktivitas secara individual, tetapi adakalanya juga melakukan aktifitas
secara kelompok. Terkadang anak-anak melakukan aktivitas secara
kompetitif, terkadang juga secara kooperatif.
Ketiga :
Menyediakan satu sudut khusus untuk anak dalam melakukan aktifitas Kita
dapat menyediakan satu sudut di rumah untuk menghamparkan sajadah dan
kemudian shalat diatasnya. Mengapa kita tidak dapat menyediakan sudut
khusus untuk kreatifitas anak-anak kita ?
Keempat :
Memelihara iklim kreatifitas agar tetap terpelihara Caranya dengan
mengoptimalkan point-point yang telah disebutkan pada kunci no 2 untuk
mempertahankan kreatifitas anak.
Mengevaluasi Hasil Kreativitas
Selama ini kita
sering terjebak untuk menilai kreatifitas melalui hasil atau produk
kreatifita. Padahal sesunggunya proses itu lebih penting ketimbang
hasilnya. Pentingnya penilaian kita terhadap proses kreatifitas, bukan
berarti kita tidak boleh menilai hasil kreatifitas itu sendiri.
Penilaian tetap dilakukan, hanya saja ada satu hal yang harus kita
perhatikan dalam menilai. Hendaknya kita menilai hasil kreatifitas
tersebut dengan menggunakan perspektif anak dan bukan menggunakan
perspektif kita sebagai orang tua. Kalau kita mendapati seorang anak
berusia 3 tahun dan kemudian dia dapat menyebutkan angka dari 1 sampai
10 apakah kita akan mengatakan, “Ah, kalau cuma kaya’ begitu saya bisa
!” Tentu saja satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam mengevaluasi
prosos dan hasil kreatifitas adalah “Open Mind” atau dengan “Pikiran
yang terbuka”. Apalagi anak seringkali mengemukakan gagasannya atau
menelurkan suatu hasil kreatifitas yang tidak lazim. Setiap kali kita
mengevaluasi hasil tersebut, kita harus selalu memberikan dukungan dan
juga penguatan. Dan begitu juga sebaliknya, jauhi celaan dan hukuman
... agar anak kita tetap kreatif.


Tulisan diangkat dari Ummi 8/VI/ 1994

Tidak ada komentar: