Sabtu, 08 Agustus 2009

MENGAPA MASIH RAGU

(Ditulis untuk orang tua siswa cerdas istimewa)

“Saya masih ragu pak kalau anak saya itu mampu belajar di kelas akselerasi!”
Ini pernyataan kesekian kalinya dari seorangg ibu yang sama. Mungkin juga mewakili beberapa orang tua yang menitipkan anaknya dalam program akselerasi.
Saya tidak ingin membahas tentang program akselerasi-nya, namun saya lebih tertarik pada ”keraguan” orang tua terhadap kemampuan anaknya. Program akselerasi adalah salah satu bentuk layanan terhadap siswa yang termasuk kategori cerdas istimewa. Program ini dirancang sebenarnya untuk memberikan ruang yang luas kepada siswa CI untuk mampu mengembangkan dan mengaktualisasikan kecerdasannya dalam ranah akademis dengan menyelesaikan masa belajar lebih cepat (dan ini dijamin Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional).
Jadi program akselerasi adalah sebuah layanan untuk siswa yang dianggap (melalui pengujian dan observasi yang komprehensif) siap untuk mengikuti program akselerasi. Berarti siswa yang dinyatakan siap untuk mengikuti program ini adalah siswa yang telah melalui berbagai pertimbangan baik dari aspek akademis, prestasi pada saat SD, IQ dan komitmen serta kreatifitas.
Namun masih ada orang tua yang berkata,”Saya masih ragu pak kalau anak saya itu mampu belajar di kelas akselerasi!”
Ini bukan hanya masalah akselerasi atau bukan. Ini masalah pengetahuan dan pengamatan orang tua terhadap kemampuan anaknya yang kemudian akan menjadi landasan bagi orang tua untuk kemudian memandang anak dalam kehidupannya sehari-hari.
Nah, masalahnya adalah sejauh mana orang tua kemudian telah mengenal anaknya lebih dalam dari sekedar menilai secara kasat mata. Ada orang tua yang tidak percaya anaknya genius karena selama ini anaknya tidak atau belum menunjukkan dalam sikapnya sehari-hari.

ANAK SAYA PEMALAS!
”Anak saya males belajar pak , bahkan untuk mengejar PR pun harus berantem dulu”.
Jadi, apa yang dilihat orang tua adalah ”Malasnya” anak dan bukan menyentuh akar permasalahan yaitu mengapa anak menjadi malas untuk belajar atau mengerjakan PR.
Seorang anak menjadi ”malas” bisa disebabkan beberapa faktor, misalnya lingkungan belajar (Sekolah dan keluarga) yang tidak mampu merangsang anak untuk memaksimalkan kemampuannya, anak merasa jenuh dengan kegiatan belajar yang monoton, guru atau orang tua terlalu memaksakan jenis tipe atau metode belajar tertentu, orang tua atau guru terlalu membebani anak untuk mencapai target tertentu. Sebab-sebab diatas harus menjadi pusat perhatian orang tua dan guru sehingga tidak hanya bisa menyalahkan anak ketika muncul sikap malas dalam belajar.
Tentang lingkungan yang kurang kondusif, tentunya semua orang tahu bahwa masih ada guru yang menjalankan proses pendidikan yang bersifat satu arah, merasa menjadi satu-satunya sumber ilmu yang absah dan menjalankan metode pengajaran yang tradisional. Ini bukan masalah usia, jam terbang atau bagus/buruknya sekolah. ini masalah paradigma sang guru memandang sebuah proses pendidikan.
Masih ada guru yang memandang proses pembelajaran di sekolah hanya merupakan ”Transfer of Knowledge” dari guru sebagai pemegang otoritas keilmuan kepada siswa yang dianggap masih ”polos, lugu dan bersih” dari sebuan ilmu pengetahuan. Pandangan ini akan berakhir pada proses pembelajaran yang bersifat satu arah, centralistis dan cenderung otoriter.
Apabila masih ada sebuah proses pembelajaran seperti ini, tidak mustahil anak menjadi jenuh dan merasa ”terpaksa” untuk belajar. Tekanan dalam proses pembelajaran akan menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan bagi siswa untuk belajar karena mereka merasa hanya menjadi objek dari sebuah proses, padahal hakekat belajar adalah ”proses perubahan tingkah laku yang terjadi dalam diri seseorang sebagai hasil dari akhir dari sebuah proses aktivitas tertentu dimana siswa adalah subjek dan objek pembelajaran itu sendiri”. Sehingga keterlibatan siswa sangat penting dan menjadi sesuatu yang pokok sehingga siswa diakui keberadaannya sebagai seorang individu yang utuh.
Begitu juga dengan orang tua! Masih ada orang tua yang memandang bahwa proses perkembangan anaknya harus sesuai dengan paradigma, keinginan dan bayangan orang tua. Tidak akan akstrim dan sadar memang! Banyak orang tua merasa dirinya sangat demokratis memberikan kebebasan kepada anaknya, padahal disadari atau tidak , ketika anaknya mengambil sikap bersebrangan dengan orang tua maka otoritas orang tua dikeluarkan.
Penyebab lainnya adalah orang tua melakukan pemaksaan jenis atau metode belajar tertentu kepada anaknya. Dirumah, orang tua selalu merasa telah melakukan berbagai cara untuk ”mengawal” anaknya dalam melakukan kegiatan belajar. Yang menjadi masalah adalah, apakah orang tua telah tepat memberikan alternatif jenis metode belajar yang tepat kepada anaknya?
Jadwal yang ketat, fasilitas yang lengkap dan alokasi waktu yang terukur dianggap telah memenuhi syarat bagi si anak untuk belajar dengan benar, padahal setiap anak memiliki karakter unik sehingga metode belajarnya pun berbeda. Apabila metode belajarnya tidak tepat, maka berapa jam pun anak belajar tidak akan bisa menghasilkan pemahaman yang optimal. Ada dua kemungkinan bila metode belajar tidak tepat. Pertama, anak akan frustasi karena belajarnya tidak mampu memaksimalkan pemahamannya terhadap sebuah materi. Kedua, anak akan mampu memahami sebuah materi dan berprestasi baik namun dengan kerja keras dan ekstra energi. Sehingga kegiatan belajar menjadi sesuatu yang melelahkan dan menjenuhkan.
Begitu juga guru! Masih banyak guru yang menyeragamkan metode pengajaran sehingga keanekaragaman karakter siswa didik dinafikan. Dengan alasan jumlah siswa yang sangat banyak dan waktu yang terbatas, sudah cukup bagi guru untuk cuci tangan dari kewajiban memberikan layanan yang ”mendekati” pemenuhan kebutuhan siswa sesuai dengan karakternya.
Untuk mengatasi masalah seperti ini, guru maupuan orang tua dituntut untuk terus menambah wawasan dan pengetahuan tentang berbagai gaya belajar dan berbagai karakter anak. Hal ini sudah diulas banyak dalam berbagai buku tentang belajar.

ANAK SAYA NAKAL
”Wah saya merasa senang anak saya masuk akselerasi. Karena kalau dia ada di kelas reguler, saya takut dia menganggu teman atau gurunya!”
Kalimat ini juga sering saya dengar dari orang tua sehingga terkesan kelas akselerasi ini adalah bengkel sikap bagi siswa yang nakal. Masalahnya adalah seberapa paham, orang tua dan siswa terhadap kepribadian anak ketika sampai pada kesimpulan anaknya nakal.
Sama halnya dengan sikap malas anak-anak kita, maka sikap nakal siswa merupakan sebuah akibat dari sebuah kondisi yang kurang nyaman bagi siswa dalam belajar. Kekurangjelasan guru dalam menerangkan sebuah materi atau kekurangakuratan data yang ditujukkan guru dapat memunculkan rasa kepenasaran yang tinggi bagi siswa untuk mempertanyakannya lebih lanjut.
Siswa yang termasuk kategori Cerdas memiliki karakteristik untuk mempertanyakan segala hal. Alasan mereka menanyakan segala bisa jadi karena mereka telah merasa lebih tahu tentang sesuatu dan bermaksud untuk mencocokannya dengan data yang dimiliki guru atau orang tua. Hal ini sering disalahpahami seolah mereka sedang menguji atau meragukan kemampuan guru. Alasan lainnya adalah karena ketertarikan mereka terhadap materi tertentu. Pertanyaan akan berantai dan terkesan sangat rinci. Bila guru tidak memahami hal ini maka akan mudah memberikan label kepada mereka sebagai siswa cerewet atau bawel yang selalu mempermasalahkan hal-hal sepele.
Untuk menghadapi anak seperti ini memang diperlukan sebuah strategi yang baik dan sistematis sehingga apa yang kita terangkan dapat dipahami oleh mereka secara utuh. Namun kalau pun siswa tetap bertanya dan mencecar kita dengan berbagai argumen, maka guru dituntut untuk bijak dalam menyikapi. Sering penulis menemukan sebuah ”kebenaran” dan ”pencerahan” justru dari lontaran maupun ungkapan mereka yang cerdas dan spontan.

ANAK SAYA PEMBERONTAK
”Semoga di kelas akselerasi kelak, guru dapat membantu saya untuk menangani anak saya yang sering bermasalah dengan gurunya karena dianggap suka menentang”
Mereka adalah anak-anak pemberontak! Mungkin itu yang ada dalam bayangan kita ketika mereka mempertanyakan segala peraturan dan kondisi lingkungan yang kita anggap sudah final dan mapan.
Pada prinsipnya, mereka hanya menanyakan alasan logis mengapa suatu peraturan, adat, budaya, kebiasaan atau sebuah pernyataan itu ada. Mungkin mereka tidak pernah membayangkan bahwa pertanyaan dan sikapnya bisa menimbulkan kesalahpaham dari guru atau orang tua, namun terkadang kita sendiri yang terlalu dini menyatakan mereka tidak mau menurut atau mengikuti aturan yang sudah ada.
Logis dan rasional! Itu saja!
Ketika mereka dilarang keluar malam oleh orang tua, mereka akan menanyakan mengapa hal itu diberlakukan bagi dirinya. Berikan alasan yang logis tidak ketika mereka akan keluar malam, tapi berikan pemahaman, alasan dan kekhawatiran kita mengapa kita memberlakukan jam malam dihari-hari tertentu dan tidak memberlakukannya dimalam-malam tertentu. Ketika mereka menanyakan mengapa anak seusia mereka tidak boleh merokok sementara ayahnya merokok. Mengapa tidak boleh membawa handphone ke sekolah sementara gurunya aktif mempergunakan HP di sekolah.
Berikan mereka alasan yang logis dan tanggapi semua serangannya dengan alasan-alasan yang rasional dan objektif. Jawaban “itu sudah dari sananya”, “jangan banyak tanya”, “guru dan murid beda aturan” atau “Papa sudah punya uang sendiri” tidak akan cukup memuaskan mereka.
Bahkan yang menarik, sering mereka menanyakan sebuah aturan atau sangsi bukan karena mereka melanggar, tapi dengan tujuan untuk membela teman-temannya. Ini juga sering penulis temui dalam proses pembelajaran di kelas akselerasi. Guru dan orang tua harus membuktikannya langsung bahwa mereka adalah orang yang kaya pengalaman dan orang yang bijak. Semoga bisa!
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menjadi motivasi bagi orang tua dan guru untuk lebih memahami mereka. Anak-anak cerdas istimewa.

Bandung, 8 Agustus 2009

Tidak ada komentar: