Sabtu, 15 Agustus 2009

MERANCANG STRATEGI PEMBELAJARAN UNTUK ANAK CERDAS ISTIMEWA (1)

Pernahkah kita merasa bahwa kegiatan pembelajaran di kelas selama ini sia-sia belaka. Mungkin kita pernah merasakan bagaimana materi dan ilmu yang kita berikan tidak membawa dampak perubahan tingkah laku terhadap siswa. Mereka masih juga melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan, seperti mencontek, rebut dan kurang sopan dalam bertutur kata. Kita mengajarkan ilmu matematika, namun siswa sulit memahaminya bahkan untuk sekedar berpikir logis sistematis sekalipun, kita mengajarkan agama dan moral tapi mereka tidak pernah melaksanakannya, kita mengajarkan kepada mereka cara melindungi dan memelihara lingkungan tapi mereka tetap saja membuang sampah sembarangan.

Apa masalahnya?
Pernahkah kita merenungkan mengapa hal itu terjadi? Mungkin apa yang kita lakukan selama ini hanya pada tataran menyampaikan teori dan materi tanpa diikuti kemampuan untuk menyampaikan pemahaman dan hakekat dari setiap materi yang disampaikan. Dan untuk itu kita harus belajar tentang strategi pembelajaran.
Strategi pembelajaran ini penting karena setiap mata pelajaran memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, proses penyampaiannya pun harus dengan strategi tertentu. Mari kita kupas bersama dan belajar bersama pula.
Pada tulisan ini, kita akan mencoba mengurai lebih khusus pada anak cerdas. Bukan sebuah kebetulan kalau anak cerdas relatif lebih peka dan kritis untuk menyikapi gaya dan metode pembelajaran di kelas ketimbang anak-anak lainnya. Sebuah karakteristik anak cerdas adalah sering mementingkan proses ketimbang hasil sehingga sering mereka ”rewel” dengan gaya pakaian dan sumber pembelajaran ketimbang memikirkan besaran nilai hasil ulangan atau ujian.

Memahami Hakekat Belajar
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari uraian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan beberapa konsep, yaitu pertama, usaha sadar yang terencana. Kedua, diarahkan untuk mewujudkan suasana dan proses belajar. Ketiga, pendidikan diarahkan kepada pengembangan potensi diri yang berorientasi kepada siswa. Keempat, akhir dari proses pendidikan adalah kemampuan anak memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan konsep diatas, kita menyadari bahwa pendidikan harus menghasilkan sebuah proses dan produk perubahan tingkah laku baik dari aspek kognisi, afeksi dan psikomotor.
Namun dalam kenyataanya, pendidikan di Indonesia belum sesuai dengan harapan. Ini tidak lepas dari masih adanya pandangan yang salah terhadap hakekat pendidikan itu sendiri dari guru sebagai ujung tombak pendidikan. Masih banyak pendidik yang menganggap bahwa pendidikan adalah proses pengalihan dan penyampaian ilmu dan menyerahkan sepenuhnya pemahaman serta pelaksanaannya kepada siswa semata. Padahal dalam pendidikan, proses pengenalan dan pelaksanaannya harus dilakukan secara seimbang dalam sebuah komunitas yang mendukung dan kondusif. Misalnya bertingkah laku sopan dan menghargai sesama manusia, sekolah harus mampu menciptakan suasana yang memberikan apresiasi terhadap segala hal yang berhubungan dengan etika, sopan santun dan menghargai manusia sebagai individu yang utuh. Itu semua harus terjalin secara sinergis antara guru, siswa dan orang tua. Tanpa itu semua, maka pendidikan sehebat apapun hanya akan berdampak sementara dan sekedar mengejar tujuan jangka pendek, ujian misalnya tanpa ada kesadaran dan keinginan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar: