Minggu, 22 Februari 2009

Minggu, 14 Desember 2008 | 22:21 WIB

KEKERASAN DI SEKOLAH
TEMPO Interaktif, Jakarta :Dari 1.926 kasus yang dilaporkan sepanjang tahun ini, 28 persen diantaranya terjadi di lingkungan sekolah. Sisanya terjadi di lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan pekerjaan.
Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia, Yanti Sriyulianti menyatakan, kekerasan terhadap siswa tidak boleh diabaikan. "Harus jadi refleksi akhir tahun 2008. Stop budaya kekerasan dalam pendidikan," kata Yanti kepada Tempo, Minggu (14/12).

Dia menambahkan, guru sebagai pendidik harusnya memperkuat solidaritas untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan berhenti unjuk kekuatan kepada siswa.

Senada dengan Yanti, pemerhati anak Seto Mulyadi menyatakan dengan alasan apapun seorang pendidik tidak dibolehkan memberikan hukuman dengan kekerasan kepada siswa.

Hukuman, kata lelaki yang akrab dipanggil Kak Seto ini, tidak harus diberikan dengan cara-cara yang mengandung kekerasan, tapi bisa dengan cara yang mendidik. “Seperti tidak memuji hasil kerjanya.”

Kak Seto mengungkapkan, jika diberikan kesempatan untuk menghukum dengan kekerasan, maka kekerasan itu nantinya akan terus bertambah besar. “Jika siswa melawan saat dihukum, guru bisa terpancing emosinya dan terdorong untuk menghukum lebih keras,” katanya.

Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyatakan kekerasan terhadap anak di dunia pendidikan cukup banyak terjadi. Dari 1.926 kasus yang dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya terjadi di lingkungan sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan pekerjaan. Kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan fisik disusul kekerasan seksual dan kekerasan psikis.

"Hampir 89 persen tempat anak berada tidak aman terhadap kekerasan, pasalnya pelaku kekerasan biasanya orang terdekat anak," kata dia.

Guru dan sesama siswa menjadi pelaku utama terjadinya kekerasan di sekolah. "Sebanyak 48 persen kekerasan dilakukan oleh guru, 42 persen oleh teman sekolah dan sisanya dari unsur sekolah lain seperti penjaga sekolah," kata Arist.

Masalahnya, lanjut Arist, kekerasan oleh guru tidak bisa begitu saja dihilangkan karena di sisi lain guru juga merupakan korban kekerasan yang dilakukan oleh sistem pendidikan.

"Adanya target nilai minimal kelulusan, target peningkatan kualifikasi sekolah dan tekanan dari atasan membuat guru lupa akan hak anak," katanya.

Selain itu, lanjut dia, kurikulum yang tersedia juga tidak ramah anak. Siswa diharapkan baik di semua mata pelajaran, padahal setiap siswa itu unik. "Anak harus dapat nilai bahasa segini, matematika segini. Kalau anaknya tidak bisa di satu mata pelajaran langsung tidak lulus, Anak bisa depresi," ujar dia.

Meski begitu, kata Arist, kekerasan bisa hilang dari dunia pendidikan jika sistem pendidikan diubah dan setiap unsur pendidikan paham hak anak. Arist mengusulkan penambahan kriteria pemahaman terhadap hak anak atau siswa dalam proses sertifikasi guru. "Jadi tidak hanya mampu mengajar karena pintar tapi juga mampu mendidik dengan benar tanpa melakukan kekerasan," ujarnya

Tidak ada komentar: