Rabu, 04 Maret 2009

MENDIDIK DENGAN KARAKTER II

Sebenarnya pengalaman ini terjadi diluar tugas dan rencana. Ketika mendampingi siswa yang sedang melakukan pertukaran pelajar di SMP Labschool Kebayoran Jakarta, saya bermaksud untuk sarapan di luar sekolah. Didampingi salah satu guru labschool kita makan di seberang sekolah.
Ketika asyik ngobrol, tiba-tiba ada seorang lelaki kira-kira usianya terpaut 4 – 5 tahun dari saya. “Bapak dari SMP Taruna Bakti?” tanyanya. “Perkenalkan…saya …..kebetulan dulu sewaktu saya di SMA…..saya sering nongkrong di sekitar jalan Madura. Makan roti bakar” dia bercerita panjang lebar tentang masa lalunya di SMA. Masa-masa dimana dia tidak secara maksimal memanfaatkan waktu mudanya.
Adik saya itu mengatakan bahwa selama sekolah di SMA yang masyarakat bilang adalah sekolah favorit, justru dia merasa telah membuang waktunya untuk sesuatu yang sia-sia. Dia tidak pernah dididik untuk merancang masa depannya. Dari kelas dua, semua siswa telah dirancang untuk mempersiapkan diri lolos UMPTN. Bahkan menurutnya, sekolahnya tidak terlalu jauh berbeda dengan bimbingan belajar yang mengajarkan cara mengerjakan soal dengan cepat dan tidak terlalu menekankan pada keterampilan proses. Dengan drill soal seperti itu, dia bisa hapal soal dan memperkirakan soal seperti apa yang akan keluar. Dia lolos UMPTN dan masuk ITB. Tapi dia menyadari bahwa sebenarnya dia masuk ITB bukan karena hati nuraninya, dia masuk ITB karena di SMA-nya ada kesan bila tidak masuk PTN maka merasa dianggap bego dan bodoh.
Dia merasakan bahwa hasil belajarnya tidak bisa dia pakai di dunia kerja. Sebagai lulusan tekhnik ITB dan sekarang bekerja di dinas perpajakan benar-benar telah membuatnya merasa pendidikan di Indonesia belum berhasil membentuk manusia yang siap secara mental untuk bekerja. Pendidikan lebih berorientasi pada hasil dan ijazah ketimbang proses dan keterampilan hidup. Dia berharap anak-anaknya tidak mengalami sesuatu yang dahulu dia alami, yaitu bekerja tidak dengan hati karena gagal merancang masa depan sejak dini.
Obrolan semakin menarik setelah menyentuh tingkat kekuatan mental dan karakter pada anak didik. Bagaimana seorang anak merasa bahwa sekolah hanyalah perjalanan hidup yang harus dilalui untuk dapat bekerja dan mendapatkan uang. Sekolah hanyalah jalan menuju dokter, insinyur pertaniann dan pilot. Dengan demikian, berbagai cara ditempuh supaya proses belajar di sekolah bisa lebih cepat dengan nilai paling tinggi dengan tidak memperdulikan keterampilan dalam menyelesaikan masalah di kehidupannya sehari-hari.

Ini adalah bahan renungan dan pemikiran dunia pendidikan secara umum. Tumbuhnya berbagai sekolah yang mulai menekankan karakter dan keterampilan hidup belum bisa merubah pandangan masyarakat yang menganggap sekolah yang baik adalah sekolah yang bisa menghasilkan nilai tertinggi dan meluluskan siswanya masuk keperguruan tinggi negeri. Pengabaian pentingnya membangun karakter jujur, tahan mental, pekerja keras, adil dan beradab benar-benar telah melahirkan suatu bangsa yang mementingkan hasil ketimbang proses.
Kekerasan, korupsi, eksploitasi sumber daya alam, penjarahan dan berbagai skandal yang melibatkan pejabat Negara seharusnya semakin membuka mata masyarakat dan pemerintah akan pentingnya revolusi pendidikan yang sistematis dan menyeluruh. Pendidikan adalah investasi masa depan!
Pendidikan itu mahal! Pendidikan itu proses! Pendidikan itu abstrak! Sehingga pengeluaran Negara sebesar apapun untuk pendidikan tidak akan terasa dan terlihat dalam waktu dekat keberhasilannya. Inilah yang mungkin menjadi keraguan pemerintah untuk serius menangani pendidikan. Berbeda dengan swasembada beras yang bisa diukur keberhasilannya dalam hitungan tahun dan bisa menjadi bahan kampanye untuk mempertahankan kekuasaan.
Beberapa langkah yang bisa kita susun untuk membangun pendidikan berkarakter tanpa bergantung pada pemerintah diantaranya :
Pertama, guru segera membangun diri dan mengembangkan serta meningkatkan kemampuannya. Mahal? Sulit? Sibuk? Ah semua itu hanyalah pembenaran untuk tidak melakukan apapun. Kemapanan dan hasil yang selama ini telah tercapai membuat kita kemudian terbuai. Perhatian pemerintah dalam meningkatkan penghasilan guru benar-benar sedikit membuat guru bisa bernafas, walau tidak menjamin pendidikan menjadi lebih baik dalam aktu singkat. Akan tetapi, minimal dengan perbaikan taraf hidup guru maka orang Indonesia yang tertarik untuk menjadi guru semakin banyak sehingga dengan sendirinya hukum alam terjadi. Yang kuat bisa bertahan hidup sementara yang stagnan dan lambat akan tergeser dan tergusur oleh guru lain yang dinamis dan berpandangan maju, mau berubah dan terbuka dengan paradigma baru dunia pendidikan. Pendidikan maju bukanlah pendidikan yang menempatan guru sebagai penentu nilai kebenaran dan keindahan. Tapi guru hanyalah pendamping siswa untuk mampu memahami dan memaknai nilai-nilai dari ilmu yang siswa temukan secara mandiri.

Tidak ada komentar: