Minggu, 15 Maret 2009

LAYANAN PENDIDIKAN TERHADAP ANAK BERBAKAT

Pada tulisan ini saya tidak lagi menyentuh tataran landasan yuridis maupun landasan filosofis dari perlu layanan pendidikan terhadap siswa berbakat istimewa. Itu sudah banyak dibahas pada tulisan-tulisan saya sebelumnya. Pada prinsipnya, layanan terhadap anak cerdas dan bakat istimewa itu sama, yaitu pemenuhan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya.
Yang harus menjadi landasan terpenting adalah visi dan niat sekolah penyelenggara dalam mewujudkan layanan terhadap siswa berbakat istimewa. Jangan sampai pelaksanaan ini hanya dilandasi oleh keinginan membuka proyek baru, menjadi pos pemasukan alternatif bagi sekolah atau hanya sekedar untuk menerima bantuan pemerintah baik dalam hal dana maupun sarana. Kesalahan ini akan berdampak pada kualitas seleksi, kurikulum dan pendampingan dalam proses pembelajaran.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN BAKAT ISTIMEWA?
Pengertian keberbakatan dalam pengembangannya telah mengalami berbagai perubahan dan kini pengertian keberbakatan selain mencakup kemampuan intelektual tinggi, juga menunjuk kepada kemampuan kreatif. Bahkan menurut clark (1986) kreativitas adalah ekspresi tertinggi dari keberbakatan.
Keberbakatan dipengaruhi oleh berbagai unsur kebudayaan bahkan sementara ahli berpendapat bahwa sifat-sifat anak berbakat itu bercirikan culture bound (dibatasi oleh batasan kebudayaan). Dengan demikian, ada dua petunjuk kunci dalam mengamati dan mengerti keberbakatan ini, sebagai berikut :
(1) Keberbakatan itu adalah ciri-ciri universal yang khusus dan luar biasa yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil interaksi dari pengaruh lingkungan.
(2) Keberbakatan itu ikut ditentukan oleh kebutuhan dan kecenderungan kebudayaan di mana seseorang yang berbakat itu hidup.
Jadi pengertian bakat istimewa lebih menekankan kepada minat, kemampuan dan bakat siswa diaspek psikomotor baik berupa seni maupun olah raga. Walaupun pada kenyataannya sangat dimungkinkan ada siswa yang memiliki kecerdasan dan bakat yang istimewa. Sementara siswa cerdas istimewa lebih bernuansa akademis dengan adanya salah satu indikator prasyarat IQ diatas 130.
Beberapa indikator deteksi dini seorang siswa memiliki bakat istimewa dibidang seni maupun olah raga adalah tentang pengetahuannya dibidang yang digeluti, minat dan motivasi, produk/hasil karya dan sensitifitas/sensibiltas-nya dalam mengapresiasi hasil karya.
Indikator diatas diperkuat oleh adanya prestasi yang dianalisa tingkat kesukaran dan kompetitornya dalam setiap kompetisi yang diikuti. Hal ini menunjukkan bahwa sasaran layanan ini adalah siswa yang benar-benar memiliki minat, bakat, motivasi dan prestasi yang sangat tinggi dibidangnya masing-masing.

BISAKAH KITA MEWUJUDKANNYA?
Saya merasa tergelitik untuk mencoba mempertanyakan hal ini karena sampai saat ini masih sedikit sekolah yang memberikan layanan pendidikan terhadap anak berbakat istimewa. Padahal banyak sekali anak didik kita yangmemiliki minat, bakat dan prestasi yang tinggi dibidang seni dan olah raga, mereka tumbuh bukan dari hasil pendidikan di sekolah namun lebih disebabkan latihan dan pendidikan dijalur non formal maupun keberuntungan karena ditemukan oleh pemandu bakat.
Keinginan setiap sekolah untuk menyelenggarakan layanan pendidikan kepada anak berbakat istimewa terbentur dan terkendala oleh ketidakjelasan pedoman penyelenggaraan dan kurangnya fasilitas sarana dan prasarana. Pemerintah pun dirasakan kurang dalam memberikan perhatian yang intens terhadap keberadaan siswa dengan bakat istimewa, kecuali melalui pekan olah raga dan seni yang diselenggarakan setiap setahun sekali.
Mulai saat ini memang sekolah harus mampu menjadi pelopor dan penggagas dari berbagai bentuk layanan terhadap anak bangsa sesuai dengan minat bakat dan kemampuannya. Bahkan tidaklah mustahil, dengan bantuan berbagai elemen masyarakat yang peduli dengan dunia pendidikan, sekolah umum mulai melirik layanan bagi para penyandang cacat atau yang memiliki kendala dalam melaksanakan proses pembelajaran secara normal.
Sekolah yang mampu melaksanakan ini adalah sekolah yang memiliki komitmen untuk melakukan layanan maksimal terhadap masyarakat. Pedoman yang belum jelas, kendala, rintangan dan tantangan yang bisa muncul dari pemerintah, yayasan, LSM dan lainnya justru mampu melecut sekolah untuk lebih berprestasi dalam pelayanan pendidikan terhadap semua unsur masyarakat.
Orientasi layanan ini akan menjadi sulit ketika sekolah berubah menjadi lembaga bernuansa bisnis, fokus pada untung rugi semata dan dikelola secara serampangan oleh orang yang tidak memahami hakekat pendidikan. Sekolah harus lepas dari semua yang berbau kapitalisme bisnis,, namun tetap menerapkan manajemen efektif dan efisien sehingga dapat tetap mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dalam memberikan jasa layanan pendidikan.

HAL YANG HARUS DIPERSIAPKAN
Untuk melaksanakan layanan pendidikan terhadap anak berbakat istimewa, sekolah memang juga tidak semestinya berbuat serampangan, asal jadi dan sekedar mencari sensasi, apalagi untung rugi. Kalau itu yang terjadi maka bukan hanya akan rugi sendiri, merugikan masyarakat, dan yang lebih membahayakan adalah lahirnya siswa anak bangsa dari salah asuh. Dampaknya tidak hanya sekedar individu, namuan juga jiwa bangsa itu sendiri.
Untuk itu maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh sekolah yang akan melaksanakan layanan terhadap siswa bakat istimewa, diantaranya :
1. Standarisasi siswa berbakat istimewa masih belum ada yang baku sehingga dikhawatirkan apabila guru yang melakukan seleksi tidak memahami perbedaan antara siswa berbakat dan berbakat istimewa, maka input program keberbakatan akan menjadi bias. Berbeda dengan layanan cerdas istimewa, walaupun masih menjadi perdebatan, namun alat ukur yang secara umum diterima adalah psikotest dengan standar IQ,TC dan EQ yang telah ditetapkan pula.
2. Bentuk layanan yang akan dilaksanakan, apakah berbentuk sekolah bakat istimewa, kelas bakat istimewa atau bentuk inklusi. Sekolah khusus bakat akan sulit dilaksanakan oleh sekolah yang telah mapan menjadi sekolah umum. Sekolah umum akan lebih mudah melakukannya dalam bentuk kelas khusus, yaitu melakukan pengelompokan siswa bakat istimewa dari siswa lainnya untuk menerima materi keberbakatan lebih banyak ketimbang pelajaran lainnya. Atau siswa akan tetap belajar bersama dengan siswa lainnya namun di jam tertentu mereka akan dipisah untuk menerima materi keberbakatan yang lebih intensif.
3. Sumber daya manusia pelaksana, guru pada umumnya belum dipersiapkan untuk menjadi pelatih profesional. Guru dipersiapkan dengan materi baku dan standar umum yang terangkum pada kurikulum nasional. Dimana materi lebih menekankan pada keterampilan dasar saja, sehingga sekolah belum dapat secara maksimal mencetak atlet, seniman dan produk yang menggambarkan kemampuan siswa itu sendiri. Namun hal tersebut bisa disiasati dengan melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan non formal yang ada disekitar sekolah misalnya, sanggar seni, klub olah raga atau seniman lokal.
4. Sarana prasarana pendukung, berbicara fasilitas berarti bicara anggaran yang cukup besar. Padahal sarana untuk siswa berbakat istimewa tidak hanya terbatas pada kelas dan segala alat pendukungnya, namun juga sarana keberbakatan itu sendiri, seperti sanggar, aula, alat musik, alat seni lainnya dan tenaga pengajar. Sementara dipihak lain, lembaga pendidikan non formal akan sulit melakukan kerjasama apabila hal tersebut akan merebut pasar mereka sebagai sanggar atau klub. Karena yang dilayani ini bukan siswa biasa, maka memang keberadaan sarana prasaran menjadi sesuatu yang mutlak. Anggapan ”memanfaatkan apa yang ada” hanya akan menjadi kendala perkembangan bakat mereka. ”memanfaatkan apa yang ada” mungkin bisa dilaksanakan pada siswa reguler atau kelas dengan bakat rata-rata, namun untuk siswa bakat istimewa hal tersebut tidak bisa dilakukan.
5. Kurikulum, materi untuk kelas bakat istimewa. Masih menjadi perdebatan pada saat workshop layanan bakat istimewa tingkat nasional yang diselenggarakan di Jogja tanggal 10-13 Maret 2009 yang lalu, apakah muatan keberbakatannya itu harus 100% dengan menyerahkan aspek lainnya di luar jam sekolah atau dengan komposisi 70% materi keberbakatan dan 30% materi umum. Perbedaan komposisi ini akan otomatis merubah kurikulum yang telah ada sekarang ini. Dengan adanya KTSP, maka peluang sekolah dan guru untuk melakukan penyesuaian kurikulum bukan lagi masalah.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pencerahan bagi sekolah yang mampu memberikan layanan kepada siswa bakat istimewa untuk segera berinisiatif melakukannya sehingga kebutuhan siswa yang memiliki bakat istimewa dapat terpenuhi.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Jogja, 13 Maret 2009

Tidak ada komentar: