Selasa, 31 Maret 2009

BAGAIMANA BERBICARA AGAR ANAK BERPIKIR (2)

(bagian kedua dari tiga tulisan)
Edisi Adversity Quotient

BAGAIMANA BERBICARA AGAR ANAK BERPIKIR

Pada tulisan pertama...
A. Cara Berbicara Yang Membuat Anak Sulit berpikir
B. Prinsip-Prinsip Penuntun EQ
1. Prinsip-prinsip keseharian

2. Teknik-teknik bertanya
Guru maupun orang tua sering menganggap bahwa bertanya bukan pekerjaan yang sulit. Hanya merangkai kalimat dengan kata depan apa, mengapa, siapa, bagaimana, dimana lalu diikuti dengan tekanan diakhir kalimat. Beres! Setelah itu kita tinggal menunggu jawabannya. Tapi tahukah kita, terkadang (sering juga sih) lupa bahwa mengajukan sebuah pertanyaan memiliki teknik-teknik tertentu supaya apa yang kita maksud itu sampai dan kita mendapatkan jawaban yang sesuai.
Mengajukan pertanyaan terbuka
Menurut Maurice J. Elias dkk dalam buku Cara Efektif Mengasuh Anak Dengan EQ, mengatakan ada empat jenis pertanyaan :
Pertanyaan kausal : ”mengapa kau memukulnya?”, ”mengapa kau mengganggunya”, ”mengapa kamu abaikan nasehat mama?”.
Pertanyaan pilihan ganda : ”kau menganggunya karena dia iseng atau kamu yang memulainya duluan?”, ”apakah kamu akan belajar kalau ayah menghukummu atau kalau ibu memberi hadiah?”
Pertanyaan benar-salah : ”kamu khan yang memukulnya, ya atau tidak?”, ”kamu mau bantu ibu atau tidak sih?”
Pertanyaan terbuka : ”apa yang terjadi diantara kalian berdua?”, ”apa yang bapak harus lakukan agar kamu bisa belajar dengan baik?”, ”bagaimana caranya agar kau bersedia membantu adikmu saat dia membutuhkannya?”
Kata ”mengapa” yang diajukan kepada anak sering diterjemahkan oleh anak sebagai tuduhan sehingga anak lebih bersikap defensif dengan menjawag ”tidak tahu...”, ”nggak...saya ngga ngelakuinnya kok”. Oleh karena itu, hindari kata mengapa. Mengapa juga menyiratkan sebuah tuduhan, misalnya seorang siswa mendapatkan nilai buruk dan guru bertanya, ”Mengapa kamu tidak belajar semalam?” padahal kita tidak tahu bagaimana usahanya anak tersebut belajar.
Anak sering mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan mengapa karena itu akan membutuhkan sebuah kematangan emosi dan kecerdasan yang memadai. Bisakah kita membayangkan anak kita menjawab, ” saya memukul dia karena dia telah melakukan teror fisik dan psikis sehingga secara naluriah saya terdorong alam bawah sadar untuk melakukan gerakan yang diatur otak reptil untuk bertahan....”. kita malah takut bukan. Nah...karena itulah maka hindari pertanyaan yang bisa membuat anak dan kita sendiri bingung.
Pemakaian kalimat tanya memang agak sulit bila tidak dilatih. Oleh karena itu orang tua dan guru memang harus bersabar untuk bisa menyusun kalimat atnya yang proporsional dan tepat. Yang penting adalah nasehat dari aristoteles :
”Marah itu mudah...semua orang bisa melakukannya. Tapi bertanya kepada orang yang tepat, dengan cara yang tepat diwaktu yang tepat dan karena alasan yang tepat...itu membutuhkan kebijaksanaan yang sangat tinggi”
Pernah saya sebagai guru salah memberikan pertanyaan kepada siswa karena emosi. Karena ada satu siswa yang ribut, saya marah dan mengusir anak itu keluar kelas, namun anak itu tidak melaksanakan perintah saya. Lantas dengan amarah yang bertanya,”kamu atau bapak yang keluar...!” dengan enteng anak itu menjawab,”...bapak aja....!”. karena malu akhirnya saya keluar.
Ada rekan saya yang marah kepada siswa dan biasanya mengatakan”kamu belum pernah makan penghapus ya....” sambil melempar penghapus papan tulis. Tapi karena marah rekan saya mengatakan,”kamu belum pernah makan papan tulis ya.....” dan dia bingung bagaimana caranya melempar papan tulis yang besar dann berat itu. Siswa ketawa.....!
Untuk menghindari kata mengapa kita bisa berlatih dengan menguraikannya dalam bentuk pertanyaan terbuka :
”Apa yang sebenarnya terjadi?”
”Apa yang kamu harapkan dari kejadian tadi?”
”Bagaimana perasaanmu kalau kamu menjadi korban pemukulan itu?”
”Ceritakan apa yang dia lakukan kepadamu sehingga kamu bisa semarah itu?”
”Apa yang terjadi sebelum kamu melakukan hal itu?”
Kita sebagai orang tua harus menghindari bertindak sebagai pemegang otoritas tertinggi yang tidak bisa didebat atau dibantah.
Dua Pertanyaan beruntun
Teknik ini sederhana....
Diambil dari penelitian di Amerika dengan melakukan riset pada beberapa sekolah tentang jenis-jenis pertanyaan yang mampu meningkatkan minat belajar anak-anak. Pertanyaan beruntun dilakukan dengan aturan...ikuti satu pertanyaan dengan pertanyaan berikutnya...misalnya ”bagaimana perasaanmu?” ”baik”....”perasaan apalagi yang kau rasakan?” ”yah...agak sedikit gugup memang”. Setelah itu kita bisa melanjutkannya dengan teknik paraphrasing (lihat tulisan yang pertama).
Pernahkah kita mengalami dimana guru bertanya kepada semua siswa secara berurutan. Kita yang belum kebagian ditanya akan memikirkan jawaban yang mungkin akan kita lontarkan. Dan ketika waktu itu datang dan kita menjawabnya, perasaan kita lega dan tidak peduli dengan pertanyaan berikutnya kepada orang lain. Pertanyaan beruntun mengubah hal itu! ”menurut kamu apa arti pengangguran itu?”, ”mengapa pengangguran di indonesia begitu besar”, ”terus menurut kamu kira-kira harus gimana pemerintah mengatasinya?”. Siswa dilatih untuk terus berpikir.
Hindari pertanyaan yang memungkinkan siswa atau anak kita hanya menjawab seperlunya. ”capek ya...?”, ”kamu mengerti tidak materi yang bapak jelaskan?”. anak akan cenderung menjawab ya atau tidak atau belum dan sudah.
Semakin banyak anak bercerita tentang masalah atau situasi, semakin banyak pengertian yang dimiliki orang tua dan anak karenanya. Tentunya saja, ada pula penerapannya untuk teman-teman dan saudara kandung. Pertanyaan susulan, terutama dikombinasikan dengan prinsip penuntun lainnya, membantu anak menjelaskan pikiran dan perasaan mereka sendiri, belajar untuk bicara lebih jelas dan membantu orang tua mengetaui apa yang sebenarnya terjadi.
Teknik columbo
Di Amerika pernah ada film detektif bernama Columbo yang sering mengajukan pertanyaan sederhana an berpura-pura bingung sambil menggaruk-garuk kepala. Dengan menunjukkan ketidakkonsistenan dalam mengajukan pertanyaan sebenarnya kita ingin merangkai sebuah puzzle dari pengalaman anak.
Teknik ini bisa dipergunakan untuk menghadapi anak yang cenderung melawan. ”kenapa? Dia memukulmu tiba-tiba? Aneh sekali ya kok bisa begitu? Emang apa yang kamu lakukan padanya? Iseng mengambil mainannya? Kenapa ngga boleh ya? Coba deh kalo kamu yang direbut mainannya, kira-kira marah ngga ya kamu? Kenapa? Harusnya tidak marah? Kamu tidak akan marah kalau mainan kamu direbutnya? Yang bener?” . teknik ini tidak memposisikan orang tua atau guru sebagai orang yang serba tahu segalanya. Bahkan guru berada diposisi yang terllihat dan terkesan netral.
Teknik ini juga tepat bagi anak yang sering berbohong. Dengan pertanyaan lugu dan seolah kalian membuka diri dengan segala kemungkinan, maka anak akan merasa aman nyaman untuk bercerita lebih banyak.

Semoga beberapa tips ini membuka ilmu dan wawasan baru. Agak sulit kalau tidak terbiasa. Maka dari itiu....biasakanlah....!

Bandung, 31 Maret 2009
Imam Wibawa Mukti
Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: