Senin, 30 Maret 2009

BAGAIMANA BERBICARA AGAR ANAK BERPIKIR

Edisi Adversity Quotient

(bagian pertama dari tiga tulisan)
Kunci agar anak kita mampu bertahan hidup dengan saya tahan yang tinggi dan tidak mudah menyerah adalah dengan cara mulai mengajarkan anak kita berpikir, berkata dan bertindak secara mandiri. Biasanya, karena rasa cinta yang sangat besar, maka orang tua cenderung menghindarkan mereka dari rasa sakit, kesulitan dan masalah dari lingkaran hidup mereka sendiri. Sehingga ketergantungan mereka kepada kita sebagai orang tua menjadi lebih dominan ketimbang kemampuannya melepaskan diri secara pikiran dan tindakan.
Padahal dalam kenyataannya, kita tidak akan bisa mendampingi mereka selamanya. Kita tidak akan bisa membuat hidup mereka selalu sesuai dengan harapan kita. Dan pada saat itu, kita mengharapkan anak mampu berpikir secara mandiri disaat kita tidak sedang berada disisi mereka.
Tantangan lain adalah, orang tua tidak bisa benar-benar objektif terhadap anak kita. Bagaimanapun orang tua memiliki ikatan emosi yang sangat kuat sehingga sering kita selalu ingin menyelesaikan masalah anak secara langsung dengan melibatkan diri dalam berbagai aspek kehidupan anak. Ketika anak marah kepada kita sebagai orang tua maka kita tidak berpikir bahwa mereka sedang melampiaskan amarahnya kepada kita karena kita adalah sasaran palling aman, tapi kita malah terlibat secara emosional dan menganggap mereka kurang ajar. Marah mereka mungkin bukan kepada kita, tapi kita adalah sosok yang bagi mereka cukup aman sebagai pelampiasan. Tapi kita menganggap mereka kurang ajar, lantas kita marah dan mengedepankan emosi ketimbang nalar dan kognitif. Maka yang terjadi kemudian adalah amarah kita kepada mereka dan membuat suasana semakin ruwet dan tidak menyenangkan bagi anak.
Tujuan mengasuh anak adalah mengajarkan kepada anak-anak cara berpikir sendiri dan berperilaku sesuai dengan pedoman moral yang telah ditanamkan orang tua. Lantas bagaimana kita bisa melakukannya?
Tuntunan yang baik dalam pembuatan keputusan sosial dapat membantu anak memahami bahwa perilaku buruk sebenarnya tidak memberikan apa yang mereka inginkan, yaitu cinta dan penerimaan.
Pernyataan ini sekilas terkesan sangat sederhana, namun kita akan sadar bahwa itu sangat sulit. Tantangan berupa derasnya banjir informasi yang diterima anak melalui media massa, perkembangan tekhnologi yang terus mencekoki akal pikiran mereka merupakan tantangan yang selalu membutuhkan kewaspadaan orang tua. Belum lagi stabilitas emosi kita sebagai orang tua tidak selamanya pada tataran mapan, sehingga ilmu dan kejernihan berpikir kita sering kalah oleh desakan emosi dan amarah. Bukan begitu?
Cara paling mudah mendidik anak berpikir sendiri adalah dengan mengajaknya berbicara. Tapi jangan salah, berbicara yang salah justru akan banyak menimbulkan masalah ketimbang solusi.

A. Cara Berbicara Yang Membuat Anak Sulit berpikir
1. Mengatakan kepada mereka apa yang ada dalam pikiran anda setiap saat.
2. Mengevaluasi gagasan atau pernyataan anak-anak segera setelah mereka mencetuskannya dengan cap ”baik” dan ”buruk”
3. Setriap ada kesempatan, memberi mereka kebijaksanaan dari masa kecil anda. (Waktu ibu/bapak seumurmu...”).
4. Menutup setiap resiko kekecewaan dengan mencegah anak-anak memilih jalan yang anda pikir tidak akan berhasil. ”anak pinter kok milih itu sih....”, atau ”wah kalau caranya begitu pasti sulit berhasil...”.
5. Bersikap serius setiaap saat. Pekerjaan rumah, persiapan ulangan, ekstrakurikuler, olah raga dan berperilaku sopan harus dilaksanakan dengan serius, bermartabat dan terkendali.
6. Berbicara dan mendengar sedikit.. anak tidak perlu mengemukakan pendapat, mereka hanya perlu mendengar dengan baik dan harus mengerti maksud perkataan orang tua.
7. ”Pokoknya turuti perintah ayah....ayah sudah hidup lebih dahulu daripada kamu...”
8. Menampilkan diri anda dengan sempurna. Tidak mau kehilangan muka dengan berbuat salah dan tidak mengerti dunia mereka.
Perintah diatas mengandung kebijaksanaan konvensional yang diwariskan generasi ke generasi dan tampaknya sebagian kebiasaan itu akan tetap bertahan. Kita lupa bahwa anak kita sudah tidak hidup di dunia kita, tapi kita lah yang sedang hidup di dunia mereka. Jangan perlakukan mereka seperti miniatur orang dewasa.
Orangn tua harus menjalin hubungan dengan anak agar dapat menuntun dan mengajari mereka. Untuk itu maka orang tua harus mencoba membuka diri terhadap dunia mereka, hidup mereka. Dengan beberapa hal kecil yang mungkin harus dibiasakan, misalnya dalam menanggapi pertanyaan anak. Kunci untuk menanggapi pertanyaan anak tidak harus dengan cara langsung memberikan jawaban. Kurangi terlalu banyak memberikan kuliah namun perbanyaklah mendengarkan cerita, keluhan, suka duka cita mereka. Yakinlah...mereka membutuhkannya...sangat.....! dan semua itu hanya bisa terjdai bila anak dan orang tua memiliki kecerdasan emosional, mau berpikir dan menjadi mitra yang saling peduli.
Jangan sekali-kali berpikir bahwa segalanya pasti baik jika anak menurut. Kepatuhan memang bisa menjadi cara bagaimana perkataan kita didengar mereka, tapi itu sama sekali tidak menggambarkan keinginan dan pikiran mereka. Mendikte anak untuk melakukan sesuatu akan membuat mereka tidak mampu menjalankannya dengan baik sesuai petunjuk, tapi tidak akan pernah bisa membuat mereka berpikir mandiri, dan menentukan tujuan hidupnya sendiri.
Apabila anda mendengar anak kita mengatakan bahwa dia akan berhenti sekolah setamat SMA dan hanya ingin bekerja, apa yang ada dalam benak kita, apa yang akan kita katakan dan apa yang akan kita perbuat? Jangan memberikan nasehat tentang pentingnya pendidikan, suramnya masa depan tanpa sekolah dan masalah rezeki yang tidak pasti. Mereka cenderung akan menunjukkan penolakan dan pertentangan secara sengaja hanya untuk menunjukkan identitas dirinya.

B. Prinsip-Prinsip Penuntun EQ
Dalam buku Cara Efektif Mengasuh Anak Dengan EQ, Maurice J. Elias dkk memaparkan beberapa prinsip untuk membantu anak berpikir. Uraian tersebut dibagi dalam tiga prinsip. Prinsip keseharian, tekhnik bertanya dan kiat jangka panjang.

Prinsip-prinsip keseharian
Prinsip ini harus dibiasakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Interaksi dalam kehidupan keseharian adalah waktu yang paling efektif dalam menanamkan emosional dan daya tahan kepada mereka. Jadilah anak-anak sejenak dan tenggelam dalam kehidupan, pikiran, perkataan dan tindakan mereka. Dan rasakanlah bagaimana mereka akan memeluk anda dengan cinta, bukan ketakutan dan rasa segan.
1. Memberi teladan
Anak bisa belajar dengan memperhatikan cara orang dewasa menggunakan keterampilannya, dan orang tua bisa mengajarkan sesuatu dengan memberi teladan. Cara ini jauh lebih efektif ketimbang sekedar memberi tahu apa yang harus mereka lakukan.
Ada kasus dimana seorang anak berani mengatakan ”bodoh” kepada ibunya. Ibunya tidak menerima dan mengajak anaknya ke ahli psikologi. Tahu apa yang terjadi? Ternyata ibunya yang harus di terapi. Karena frustasi, ibunya sering mengatakan hal yang sama kepada anaknya ketika anaknya melakukan kesalahan. Jadi sebelum kita mengharapkan anak berubah, maka terlebih dahulu kita harus merubah perilaku kita sendiri sebagai orang tua.
Seorang anak yang prestasinya kurang, padahal dia anak cerdas istimewa telah membuat sang ayah khawatir dan membawa anaknya ke psikolog. Ternyata kebiasaan anak ini ketika belajar adalah sambil menancapkan headphone ke telinganya dengan penerangan yang tidak maksimal. Dutambah dengan kamar yang berantakan dan jadwal belajar yang tidak menentu. Wawancara dilakukan dan hasilnya ternyata si anak meniru gaya ayahnya dalam bekerja. Sang ayah mengakui bahwa dia bekerja dengan suara TV yang menyala keras, kertas berserakan dan secangkir kopi yang tumpah. Ayah berbakat?
2. Mengingatkan dan menujukkan kecakapan yang baru dipelajari
Ini tidak sama dengan mengomel bu.....! mengomel lebih berkaitan dengan kata-kata, mencela, mengkritik, memarahi dan mengancam. Mengingatkan berkaitan dengan menyarankan, menunjukkan dan mengarahkan. Tahu bedanya bu....?
Anak kita yang sering menonton sinetron yang selalu membuat semuanya mudah dan instan. Jadi ketika mereka datang kerumah dan telah disediakan makanan leh orang tua, mereka menjadi itu sesuatu yang wajar. Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana sulitnya memasak, sulitnya memotong bawang merah dan bagaimana sulitnya menggorreng ikan basah. Jadi orang tua harus mengingatkan dengan menunjukan bagaimana caranya memasak di saat yang paling tepat. Bukan mengomelinya dengan sejuta kata yang mendakwa mereka tidak bertanggung jawab. Ayah bisa memberikan contoh bagaimana memperbaiki kerusakan alat elektronik yang paling sederhana di depan mereka sehingga mereka mengikuti dan mengetahui bagaimana prinsip listrik sederhana dan bagaimana memperbaiki kerusakan alat rumah tangga yang sederhana.
Begitu juga dengan guru. Daripada mengeluarkan energi dengan marah dan ngomel, alangkah baiknya mengarahkan mereka untuk melakukan sebuah keterampilan. Ini memang membutuhkan strategi dan persiapan yang matang. Tapi mau apa lagi, itu resiko pekerjaan dan tidak ada acara untuk mengeluh dan mengabaikannya.
3. Paraphrasing, mengungkap kembalil dengan kata-kata sendiri.
Maksudnya adalah mengungkapkan dengan kata lain, menyatakan kembali, meringkas atau mengulang apa yang diucapkan orang lain. Dengan demikian ini menunjukkan pemahaman akan apa yang dikatakan orang lain. Hal ini penting karena membantu pembicara merasa dihargai dan dimengerti.
Misalnya si anak bertanya apa itu baik. Sang ayah menjawab dengan memberikan cerita pendek dan setelah itu lalu ayah bisa bertanya, ”dari cerita tadi menurut kamu apa itu yang disebut baik?”.

(sambungan berikutnya....tekhnik bertanya)

30Maret2009
Imam Wibawa Mukti,S.Pd

Tidak ada komentar: