Kamis, 26 Maret 2009

MENGAPA ORANG TUA DAN SEKOLAH PANIK MENGHADAPI UJIAN NEGARA?

(Dipersembahkan beserta doa kepada siswa akselerasi yang akan menghadapi ujian negara!!!)
Ini bukan menjadi masalah bagi siswa akselerasi saja, tapi masalah umum yang kita temui di dunia pendidikan dan ini bukan masalah pro atau kontra, tapi kenyataannya sampai sekarang, ujian negara seolah menjadi momok mengerikan bagi semua pihak yang terlibat di dunia pendidikan (kecuali bagi penyelenggara dan memiliki kepentingan langsung). Orang tua, guru dan siswa terbiasa menghadapi masa-masa mengerikandan melelahkan dalam melakukan persiapan dan menjalani kegiatan ujian negara.
Setiap menghadapi ujian negara, maka yang terkesan muncul ke permukaan adalah kepanikan. Kepanikan baik dari pihak orang tua yang khawatir anaknya akan mendapatkan nilai buruk, tidak bisa masuk ke sekolah favorit atau bahkan tidak lulus. Sementara sekolah khawatir nilai rata-rata hasil ujian siswanya turun drastis atau ada siswa yang tidak lulus.
Mengapa itu terjadi? Banyak hal yang memang harus dibenahi di dunia pendidikan Indonesia. Berbagai kepanikan dan kekhawatiran orang tua dan sekolah menunjukkan hal itu!

Lantas mengapa orang tua menjadi sangat panik?
Pertama, orang tua panik mungkin karena ragu sistem pembelajaran di sekolah akan mampu memberikan bekal kepada anaknya untuk menghadapi ujian negara. Apapun alasannya, orang tua banyak yang memasukan anaknya masuk ke suatu sekolah bukan karena keyakinannya akan kualitas proses pembelajaran, namun karena terdesak keadaan!
Kedua, adalah ketidakyakinan orang tua terhadap keseriusan anaknya dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Orang tua melihat bagaimana anaknya belajar di rumah, sehingga orang tua mengenal betul kualitas belajar anak-anaknya. Karena itu, banyak pula orang tua yang merasa anaknya tidak siap untuk mengikuti ujian negara.
Ketiga, ada orang tua yang merasa perlu untuk mempersiapkan masa depan anaknya sebaik mungkin. Lalu orangtua menggantungkan harapannya di atas kemampuan anaknya. Masalah muncul apabila rencana orang tua tidak dikomunikasikan kepada anaknya, atau karena anaknya sendiri tidak tahu harus berbuat apa, maka mereka cenderung menyerahkan masa depannya kepada orang tua. Rencana besar dan tinggi itu kemudian menjadi target dan sasaran yang harus capai anaknya padahal orang tua menyadari kemampuan anaknya tidak setinggi itu.
Keempat, masih ada pandangan di kalangan orang tua bahwa masuk sekolah favorit akan lebih memudahkan anaknya masuk ke jenjang pendidikan atau perguruan tinggi yang baik tanpa melihat kualitas layanan proses pembelajaran di sekolah tersebut selama mengikuti pendidikan disekolah tersebut.
Kelima, masih ada orang tua yang menganggap bahwa untuk mennghadapi ujian negara yang diperlukan hanyalah pembelajaran di kelas dengan asuhan guru dan ”drill” soal sebanyak-banyaknya, tanpa memperhitungkan untuk melaksanakan kegiatan yang sifatnya menunjang dan menanamkan kesadaran pentingnya motivasi internal bagi siswa untuk belajar. Kegiatan yang bersifat pembinaan mental, penanaman kemandirian dan kesadaran spiritual masih dianggap sebagai kegiatan tambahan yang tidak penting bagi siswa. Bisa jadi karena masalah biaya, tapi banyak juga yang karena masih ada angapan bahwa belajar di kelas adalah setu-satunya cara membuat anak pintar dalam sesaat.
Apakah semua itu salah? Sama sekali tidak! pasti semua orang tua akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Masalahnya adalah, benarkah apa yang direncanakan, diharapkan dan disandarkan pada pundak anaknya tersebut sesuai dengan keinginan sang anak?
Apa ada alasan logis atau masuk akan apabila ada orang tua yang sampai berusaha untuk mendapatkan soal ujian negara dan diberikan kepada anaknya untuk dikerjakan di dicontek disaat ujian? Adakah alasan yang bisa membenarkan orang tua menyuap suatu sekolah hanya supaya anaknya bisa masuk ke sekolah tersebut tanpa melihat kemampuan anaknya sendiri? Apakah niat orang tua yang ngotot menyekolahkan anaknya di sekolah favorit itu untuk kepentingan anaknya, atau jauh dibawah kesadaran orang tua itu semua hanyalah masalah prestise, gengsi atau ambisi dari orang tua itu sendiri?

Dan mengapa sekolah ikutan menjadi panik?
Pertama, Kita semua menyadari masih banyak sekolah yang memiliki fasilitas minim untuk menunjang proses pembelajaran di sekolahnya. kita pun tahu bahwa masih ada sekolah yang kekurangan tenaga pendidik berkualitas dan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang bisa menjadi jaminan siswanya akan mendapatkan bekal yang cukup untuk mengikuti ujian negara.
Kedua, belum terbentuknya suatu sistem baku dan pasti di sekolah dalam melakukan ”quality control” dalam memetakan potensi dan kemampuan serta kesiapan siswa menghadapi ujian negara. Banyak sekolah melakukan pemantapan dari pagi hingga sore, namun apakah sistem itu bisa menunjukkan suatu peta potensi dan kemampuan siswanya dalam persiapannya menghadapi ujian negara? Banyak sekolah yang menyelenggarakan try out hanya sekedar untuk menunjukkan kepada siswa dan orang tua bahwa sekolah telah melakukan usaha dalam mempersiapkan siswa mengahadpi ujian. Namun hasil try out kemudian sekedar menjadi data arsip yang disimpan tanpa ada tindak lanjut dan analilsa untuk mengambil keputusan dalam memperbaiki sistem yang ada.
Ketiga, karena masih ada pandangan masyarakat yang menjadikan hasil ujian negara sebagai alat ukur kualitas suatu sekolah maka sekolah masih memfokuskan proses pembelajaran hanya kepada ujian negara dan slupa untuk menanamkan sikap mental dan ketahanan jiwa iswa dalam menghadapi tekanan. Hal ini menjadi sangat penting karena akan berdampak pada kemampuan siswa untuk mampu mempersiapkan dan melakukan proses pembelajaran secara mandiri. Bila sekolah gagal menanamkan kesadaran akan pentingnya belajar bagi siswa, maka sekolah menjadi institusi ”single fighter” dalam mempersiapkan menghadapi ujian negara. Bila sekolah tidak menanamkan dan memunculkan motivasi internal, maka sekolah akan menjadi sandaran satu-satunya bagi siswa untuk melewati ujian.
Kelima, sekolah sendiri tidak yakin kalau proses pembelajarannya selama ini mampu meningkatkan kemampuan siswanya dalam hal akademis (yang menjadi bekal minimal untuk mengikuti ujjian negara). Masih membuat kita heran apabila masih ada sekolah yang tidak berhasil meluluskan siswa sampai lebih dari 50%. Pertanyaan kita adalah, lantas apa yang selama ini sekolah lakukan dalam proses pembelajaran?
Dimana kurikulum yang selama ini menjadi kitab para guru? Kemana perginya pengetahuan guru dan pengalaman guru dalam proses pembelajaran? Dan apa yang selama ini siswa pelajari di sekolah?
Kelima faktor ini (bahkan lebih), telah membuat orang tua dan sekolah panik settiap mengahadapi ujian negara.

Tawaran Solusi...!?
Agar tidak panik, saya mengusulkan beberapa hal kepada orang tua, yaitu:
Pertama, Lebih intens berkomunikasi dengan putra/inya dalam menyusun rencana masa depan mereka sendiri. Komunikasi menjadi penting karena jangan sampai apa yang baik menurut orang tua justru tidak cocok di mata anak. Komunikasi itu juga harus menjadi media orang tua untuk menanamkan kepada anak bahwa ujian negara hanyalah salah satu dari banyak pintu menjadi manusia seutuhnya.
Kedua, buatlah suasana di rumah lebih nyaman bagi anak. Tolonglah pak...bu...anak-anak kita telah begitu dibebani dengan seabrek buku pelajaran, hapalan, soal dan beban psikologis yang mengisi otak, otot dan darah remaja mereka! Janganlah lagi bebani mereka dengan segunung ambisi dan kekhawatiran orang tua di rumah. Sadarkah kita, bahwa sepatah kata saja salah kita ucapkan kepada anak maka dampaknya akan membekas, apalagi disuasana tegang menghadapi ujian. Jadikan rumah sebagai tempat yang nyaman bagi mereka untuk beristirahat dan melepas segala bebannya di luar sana. Dampingi mereka dengan kepercayaan penuh anak kita telah berusaha menghadapi ujian. Penuhi kebutuhan mereka akan kasih sayang, kepercayaan, rasa tenang dan percaya diri...
Sisihkan terlebih dahulu masalah hiudp ini di depan mata mereka!!!
Ketiga, bekerjasama...(sekali lagi) bekerjasama dan saling mendukung dalam mempersiapkan dan melaksanakan program sekolah. Dengan pengalaman dan pengetahuan, setiap sekolah tentunya telah mempersiapkan berbagai program bagi siswanya yang ujungnya adalah mempersiapkan siswa menghadapi ujian, dan ini akan berjalan dengan baik bila di dukung oleh orang tua. Tanggung jawab ini bukan semata berada di pundak sekolah, tapi juga tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah.
Keempat, tanamkan kepada anak bahwa kita sebagai orang tua akan menerima apapun hasil yang diraih oleh anak-anak kita. Kata-kata ini mungkin bisa melonggarkan satu saraf otaknya yang kram dan semoga kalimat yang kita katakan itu bukanlah hanya sebatas ”lipstik” semata. Karena pada hakekatnya anak akan merasakan kegelisahan kita, kekhawatirkan kita dan ketakutan kita melalui sikap dan bahasa tubuh orang tua. Itu saja sudah menjadi beban buat mereka!! Yakinlah Tuhan sudah memiliki skenario sendiri untuk setiap manusia, termasuk anak-anak kita.
Untuk sekolah, solusi yang bisa dilakukan di detik-detik terakhir menjelang UN adalah :
Pertama, tetap berorientasi kepada proses ketimbang hasil. Ini tidak hanya berlaku tahun pertama dan kedua merekadi sekolah menengah pertama, tapi juga di detik-detik mereka menghadapi ujian negara.
Kedua, mulai melakukan pengamatan dan pemetaan potensi dan kemampuan siswa. Pengamatan ini penting sehingga sekolah tidak memberikan masukan dan janji ”kosong” kepada orang tua dan tidak menjual mimpi kepada siswa. Siswa harus tahu kecenderungan perkembangan belajarnya sehingga mereka memiliki gambaran akan kemampuannya sendiri secara logis, ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Orang tua juga harus tahu kemampuan anaknya berdasarkan perkembangan akademis sehingga orang tua akan membuat rencana alternatif bagi anaknya.
Ketiga, lebih fokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan UN tanpa meninggalkan peran bimbingan dan baik dari guru BK maupun wali kelas untuk mengimbangi ketatnya jadwal dan beban belajar materi UN. Materi motivasi, spiritual dan mental harus tetap dilaksanakan untuk lebih membuka wawasan dan pemahaman siswa akan pentingnya usaha ketimbang hasil, dan menerima apapun hasil Un.
keempat, tidak melakukan tindakan yang melanggar etika, nilai kejujuran dan hukum positif hanya untuk sekedar membantu siswa mendapatkan nilai lebih baik misalnya dengan memberikan contekan, sms atau jawaban yang telah diatur. Hal ini selain akan mencoreng dunia pendidikan juga akan menghapuskan kepercayaan masyarakat kepada sekolah, guru dan sistem sekolah yang bersangkutan.
Kelima, inventarisasi usaha dan langkah program tahun ini untuk kemudian dilakukan efleksi dan evaluasi di masa mendatang. Meningkatkan program yang baik dan tidak melakukan kembali program yang kurang berhasil.

Akhir kata, jangan panik.....! terima kasih!

Bandung, Maret 2009
Imam wibawa Mukti,S.Pd
akselerasismptarbak.blogspot.com
imamwibawamukti@yahoo.co.id
www.smptarunabakti.com

Tidak ada komentar: