Sabtu, 18 April 2009

MENGAJARKAN BERPIKIR KRITIS PADA SISWA DI MASA PEMILU

MENGAJARKAN BERPIKIR KRITIS PADA SISWA DI MASA PEMILU

Ditengah keributan yang terjadi dalam proses pemilu ini, alangkah baiknya apabila kita menjadikannya media pembelajaran bagi siswa dan guru. Berbagai diskusi, pidato, poster, spanduk dan pamflet banyak bisa kita temukan di pinggir jalan. Semua itu bisa dijadikan media bagi pembelajaran bagi siswa khusunya dalam melatih kemampuan berpikir kritis, logis dan sistematis.
Misalnya, ada iklan di televisi yang menayangkan tentang keberhasilan partainya dalam menurunkan harga BBM. Pikiran kita seolah sedang dimasuki sebuah kebenaran dimana menentukan harga BBM hanya ditentukan oleh segelintir orang di pemerintahan. Padahal kita bisa membaca diberbagai media bahwa itu semua tak lepas dari perkembangan harga minyak dunia. Juga, kita seolah ingin dilupakan untuk mengingat bahwa pemerintahan yang sama pulalah yang telah menaikan harga BBM terbesar sepanjang sejarah berdirinya Indonesia.
Disini kita bisa melatih siswa untuk mendiskusikan berbagai pernyataan, slogan, symbol dan tingkah para pelaku kampanye secara kritis dan logis. Bahkan tidak mustahil kita akan mendapatkan pernyataan dan pikiran siswa kita yang jauh lebih baik, karena dengan segala kepolosannya mereka mampu menilai segala sesuatu dengan lebih jernih. Misalnya tentang kampanye sebuah partai yang menyatakan telah berhasil “mengawal” BLT, padahal sebelumnya partai ini paling keras menolak kebijaka tersebut di masa lampau.
Mengamati pernyataan dan tindakan yang paradoks dari para pelaku politik ternyata lebih lucu dan menyenangkan ketimbang mempermasalahkan berbagai keruwetan tekhnis pemilu itu sendiri. Dengan demikian siswa bisa belajar untuk bijaksana dalam berpikir dan berkata dalam kehidupan mereka.

Beberapa Kesalahan Dalam Berpikir
Kita bisa melihat ada beberapa pernyataan atau argument yang agak aneh tersebut karena beberapa factor, diantaranya :
Pernyataan yang salah dapat dianggap benar karena secara umum masyarakat telah menerimanya menjadi argument yang valid. Misalnya untuk kelanjutan pembangunan, maka alangkah lebih baik kembali memilih penguasa yang tengah memerintah. Seolah, sesuatu yang baru akan berdampak pada ketidaksinambungan pembangunan.
Argument yang keliru karena kesalahan dan kecerobohan orang terhadap pokok permasalahan yang terkait. Misalnya alasan bahwa kesalahan pemilu saat ini karena sistemnya yang baru. Padahal kita telah melaksanakan pemilu bukanlah sekali dan setiap pemilu, kesalahan yang sama kerap terjadi. Kita digiring untuk membenarkan bahwa sistem yang baru akan membuat kerumitan dalam segala perbuatan.

Kesalahan berpikir ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya :
Bentuk Argumentum ad Hominem
Kesalahan berpikir yang mendasarkan pikiran pada sentimen pribadi, individu atau golongan tertentu. Misalnya menghubungkan nama seorang pejabat sebagai akar dari segala bencana yang terjadi. Atau ada logika yang menganggap bahwa komposisi pemimpin Indonesia harus Jawa dan Luar Jawa demi keadilan dan keutuhan wilayah.
Ada pula kesalahan berpikir bentuk ini karena titik tolak dua pihak yang berkompetisi pada pemilu berbeda. Misalnya ada diskusi antara dua partai untuk membicarakan tentang kebaikan pemerintahan dijamannya masing-masing. Dalam kebijakan penetapan harga BBM, satu pihak menyalahkan kebijakan pihak lain dan sebaliknya, padahal kedunya berjalan di jaman dan masalah yang berbeda sehingga sampai kapanpun masalah tersebut tidak akan pernah selesai.
Argumentum ad Ignorantiam
Ada anggapan bahwa Indonesia mengalami banyak bencana karena wakilnya bernama Kalla dan di masyakat Jawa, kata itu mengandung sesuatu yang buruk. Pikiran seperti ini adalah argumen yang tidak akan pernah dibuktikan kebenarannya karena bersifat kepercayaan budaya tertentu. Namun kepercayaan ini kemudian dijadikan landasan berpikir untuk menyerang pihak tertentu.
Argumentum ad Misericordiam
Adalah bentuk pikiran yang dilandasi oleh rasa belas kasihan. Kita temukan calon legislatif dalam pemilu sekarang yang berasal dari kalangan pengamen, tukan lotek atau tukang ojek. Pikiran kita diajak untuk mengambil keputusan dengan dilandasi oleh belas kasihan bahwa orang seperti mereka selama ini tertindas dan saat sekarang mereka tampil untuk mewakili diri dan profesinya sendiri tanpa melihat kemampuannya dibidang penyelenggaraan negara.
Argumentum ad Populum
Salah kaprah yang diterima umum. Misalnya karena banyak kesalahan dalam pemilu kali ini maka pasti ada kecurangan yang sistematis dengan maksud untuk memenangkan satu partai. Pikiran ini biasanya dipakai untuk menggeneralisir sesuatu dengan anggapan lebih mudah. Lalu kita membuat sebuah kesimpulan bahwa pemilu kali ini gagal. Atau sebalilknya, berbagai gugatan dan tuntutan pemilu yang banyak terjadi dianggap pemerintah atau pelaksana pemiilu sebagai gerakan yang diorganisir secara cermat oleh kelompok yang kalah untuk menggagalkan kemenangan pihak lain.
Post Hoc Ergo Propter Hoc
Ada partai yang berkampanye menyatakan bahwa untuk memimpin negara ini diperlukan partai yang telah berpengalaman dalam mengurus negara. Karena dengan pengalaman tersebut maka pengleolaan negara akan lebih baik ketimbang partai yang belum berpengalaman. Pikiran ini adalah tipe menarik kesimpulan dari peristiwa masa lampau. Padahal kalau kebaikan selama ini diklaim oleh partainya, maka akan adil bila kesalahan masa lampau juga dilekatkan pada dirinya.

Ini hanya beberapa contoh materi pembelajaran yang bisa digullirkan kepada siswa sejalan dengan peristiwa yang tengah hangat terjadi disekitar mereka. Mereka harus mampu tidak hanya belajar nama partai dan lambangnya saja, namun juga mampu menilai kualitas dari partai yang ada dari kemampuannya mengemukakan pendapat. Dengan demikian apa yang dipelajari siswa sangat dekat dengan kesehariannya.
Semoga bermanfaat bagi perkembangan siswa dan kehidupan berbangsa kelak.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Guru dan Koordinator Akselerasi SMP Taruna Bakti Bandung

Tidak ada komentar: