Tulisan ini lahir dari efek sosialisasi program akselerasi SMP Taruna Bakti. Begitu banyak peristiwa penting yang harus dicermati baik oleh orang tua maupun pelaksana program. Misalnya ada orang tua yang terkaget-kaget mengetahui anaknya termasuk kategori cerdas istimewa hanya dengan alasan anak saya tidak memperlihatkan ciri-ciri anak cerdas seperti nilai yang baik, rangking yang tinggi atau motivasinya yang masih rendah.
Dan karena permasalahan yang terungkap itu hampir atau relatif sama, maka saya merasa perlu menuliskannya sehingga orang tua dapat saling berbagi pengalaman dalam menangani anak-anak mereka yang memiliki keunikan dalam setiap individu mereka. Dan yang menarik, permasalahan yang diungkap dalam tulisan ini tidak hanya terjadi dalam sosialisasi kali ini saja, namun juga terjadi pada sosialisasi-sosialisasi sebelumnya, sehingga kemudian saya memberi judul tulisan ini,” SUDAHKAH KITA MENGENAL ANAK-ANAK KITA?”
KEJADIAN MENARIK ITU...
Ada beberapa kejadian menarik seputar sosialisasi ini, diantaranya :
- Ketika saya mengatakan bahwa orang tua yang diundang hari ini adalah yang memiliki anak dengan kategori cerdas istimewa, maka secara umum saya melihat gejala yang hampir sama. Dahi berkerut, senyum sendiri lalu merubah posisi duduk menjadi lebih tegak. Setelah itu lalu ”clingak-clinguk” dan bergumam...”cerdas...? masa iya sih...?”
- Biasanya setelah itu, orang tua akan berbicara banyak tentang berbagai hal yang berhubungan dengan perjalanan sejarah anak-anaknya. Saya sangat senang sekali mendengarkan perjalanan anak-anak ini. Berbagai peristiwa unik terjalin dan saling menjalin satu sama lain sehingga dapat teridentifikasi secara umum bahwa mereka rata-rata malas, pembosan, usil dan nakal.
- ”pak Imam, saya agak terkejut mendengar kalau anak saya memiliki kriteria sebagai anak cerdas istimewa. Sehari-hari anak saya itu hanya membaca sekilas lalu main game, nonton televisi atau mengganggu adiknya..tapi kalau nilainya sih tidak jelek-jelek amat.”
- ”sehari-hari anak saya itu usil lho pak! Bahkan saya sering dipanggil oleh guru SD-nya karena anak saya itu suka ganggu temen-temennya, sembunyi di bawah bangku atau naik kek atas meja untuk meminjam pensil ke temannya...”
- ”katanya sih dia bosen kalau saya suruh belajar. Lalu kalau dikelas, dia tiduran sehingga sering kena teguran gurunya. Bahkan sering juga dia tidak mengerjakan PR-nya di rumah, tapi di mobil ketika sedang menuju sekolah”
- ”waktu di SD, anak saya sering mendapatkan masalah karena menurut gurunya, tulisan anak saya masuk kategori buruk. Saya sering tanya mengapa tulisan anak saya itu jelek, lalu jawabannya adalah yang penting kan bisa saya baca ma...”
- ”begini Pak Imam, bukannya saya sangsi dengan hasil psikotest, hanya kalau boleh nih, bisa ngga saya ngintip hasil psikotestnya untuk lebih meyakinkan bahwa anak saya itu benar termasuk kategori cerdas...”
- Lalu akan diakhiri dengan pertanyaan sama....”benarkah anak saya cerdas...?”
MENGAPA BEGITU...?
Ada dua kelompok orang tua yang mengikuti sosialisasi akselerasi. Satu adalah kelompok orang tua yang pernah mengikutkan anaknya untuk psikotest ketika SD dan kelompok kedua adalah orang tua yang belum sempat mengikutkan anaknya untuk mengikuti psikotest.
Dari orang tua yang pernah mengikutkan anaknya psikotest pun pada umumnya karena merasa ada sesuatu yang ”aneh” atau ”salah” dalam perkembangan anaknya di sekolah, seperti hiperaktif, sulit konsentrasi, tulisannya sangat buruk, lambat mengikuti pelajaran atau sulit bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Sementara yang lain, tidak merasa perlu melakukan psikotest atau sekedar konsultasi ke psikolog karena ada anggapan, psikolog diciptakan Tuhan hanya untuk mengorek kesalahan pola pengasuhan orang tua, jadi selama anaknya biasa-biasa maka tidak perlu untuk melakukan psikotest.
Ada pula orang tua yang melakukan penandaan atau label terhadap anaknya semata dari pengamatan mereka secara kasat mata. Artinya, kalau anaknya rangking 5 besar maka anak itu cerdas dan apabila rangkingnya dibawa 10 besar maka anak itu tidak cerdas. Lebih parah lagi kalau pe-lebel-an itu dipertegas dengan membandingkannya pada sosok lain, seperti adik/kakak atau temannya yang lain.
Psikotest memang bukan segalanya, alat ini hanya sebagai alat bantu bagi orang tua dalam melakukan pengasuhan dan pendampingan terhadap anak. Dia bukan satu-satunya bahan dan sumber informasi, karena secara instingtif orang tua telah diberi kemampuan untuk mengenal anaknya secara baik. Tapi mungkin ini adalah salah satu alat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akamdemis untuk mengenal dan memprediksi kecenderungan sifat dan sikap anak secara utuh. Sehingga setiap tindakan dalam rangka pengasuhan tidak hanya berdasarkan perasaan atau pengamatan secara kilat atau hanya dari produk fisiknya saja.
Banyak cerita dari orang tua bagaimana terkejutnya mereka karena selama ini telah salah menduga atau memberi label kepada anak-anaknya, dan label itu cenderung bernada negatif ketimbang positif.
Kekurangtepatan pola pengasuhan orang tua tentu tidaklah semata kesalahan orang tua. Tentunya ada peran sekolah dan masyarakat dalam proses pembentukan karakter anak, namun tentunya hal itu bukanlah alasan orang tua untuk cuci tangan terhadap penbentukan karakter anak. Bagaimana pun, orang tua dalam arti keluarga sangat berperan besar dalam pola pembentukan karakter anak.
Misalnya ada anak akselerasi yang selalu gugup bila menghadapi ulangan umum. Kegugupan itu (menurut pengakuan anak) adalah disebabkan kepanikan orang tua ketika si anak akan menghadapi ulangan umum. Sang ibu begitu repot mempersiapkan segala sesuatu bagi anaknya ketika akan menghadapi ulangan umum, dan energi panik itu menular kepada anaknya secara langsung maupun tidak langsung. Padahal tanpa keterlibatan ibu-nya pun si anak sudah memiliki target dan strategi sendiri untuk itu.
Lantas dalam kasus yang lain, ada orang tua yang datang ke pengelola akselerasi untuk berkonsultasi mengatakan bahwa anaknya selalu tidak serius atau konsentrasi dalam belajar. Televisi, komputer dan buku bacaan sering dianggap sebagai pengalih perhatian si anak dalam belajar. Yang menarik adalah, orang tua yang berkonsultasi tersebut justru memiliki akan yang rangking 1 di kelas akselerasi. Ada yang salah....?
Dilain pihak, saya sebagai pengelola akselerasi diminta oleh anak-anak akselerasi untuk membuat tulisan seputar gaya belajar anak di blog dengan harapan tulisan itu dapat dibaca oleh orang tua mereka dan menambah wawasan orang tua dalam menyikapi gaya belajar mereka.
LANTAS SEKARANG HARUS BAGAIMANA?
Ada sebuah refleksi yang penting untuk disimak oleh orang tua, sekolah dan masyarakat dalam menyikapi dan memperlakukan anak cerdas istimewa ini. Refleksi tersebut adalah, ”SERING KALI KITA MEMANDANG KEBERADAAN MEREKA, KEHIDUPAN MEREKA DAN PIKIRAN MEREKA DARI SUDUT PANDANG DAN PENGALAMAN KITA SENDIRI...!’
Banyak anggapan, praduga dan pikiran dari orang tua dalam memandang program akselerasi dan keberadaan anak cerdas istimewa, genius atau cerdas ini hanya dari satu aspek, yaitu sudut pandang kita sendiri! Karena itu maka berbagai anggapan itu kemudian menjadi sebuah mitos yang menyesatkan karena menjadi pegangan orang tua dalam mengasuh anak, termasuk anak cerdas istimewa. Saya akan utarakan kembali beberapa mitos tersebut untuk kemudian kita renungkan...benarkah pernyataan-pernyataan tersebut :
- Semua anak adalah anak cerdas dan berbakat istimewa (gifted children)
- Anak gifted tidak perlu mendapatkan perlakuan khusus karena mereka adalah anak cerdas dan berbakat yang pasti bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri
- Pendidikan, kurikulum, kelas khusus atau model pembelajaran khusus untuk anak gifted adalah suatu hal yang bertentangan dengan demokrasi dan bersifat elitis
- Memberikan label gifted pada anak cenderung akan menimbulkan dan memberikan perlakuan khusus kepada mereka
- Program akselerasi bagi anak gifted membahayakan perkembangan sosial dan emosional anak tersebut
- Anak gifted umumnya memiliki kondisi emosi yang tidak stabil dan sulit bergaul
- Anak gifted selalu menunjukkan prestasi unggul di semua bidang studi, subjek atau mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Cermati dengan benar pernyataan-pernyataan di atas dan renungkan, benarkah itu semua pernah ada dalam benak kita selama ini? Dan apakah pandangan kita tersebut kemudian mempengaruhi cara penanganan kita terhadap mereka? Dan kemudian teriak-teriak bahwa program akselerasi menjadi sebuah kesalahan, momok dan program yang sangat tidak ”membahagiakan” anak-anak cerdas istimewa?
Tidak ada yang salah dengan program akselerasi selama ini!
Yang menjadi masalah adalah sejauh mana kita sebagai orang tua dan sekolah terlibat langsung dalam pola pengasuhan dan pendampingan anak-anak ini. Karena kalau kita mau jujur, Indonesia sebagai sebuah negara dan masyarakat selama ini belum pernah memberikan layanan yang terintegrasi dan sistematis bagi mereka sebagai bentuk pemenuhan hak-hak mereka dalam menerima pendidikan yang sesuai dengan karakteristik mereka.
Yang salah adalah pandangan kita terhadap mereka dan terhadap program akselerasi itu sendiri. sebagai praktisi saya melihat secara langsung mereka begitu menikmati perjalanan proses pembelajaran di akselerasi dan ditunjukkan dengan prestasi tinggi mereka selama ini. Begitu juga dengan perkembangan mereka dari sudut psikologis, tidak ada masalah.
Mengapa itu terjadi....?
Lihat pelaksanaannya, bukan hanya menduga programnya saja.....!
Oleh karena itu, kepada orang tua, kalaupun tidak memasukkan anaknya ke program akselerasi, saya menghimbau untuk terus membaca dan menambah wawasan seputar pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Jangan mengulangi kesalahan yang sudah kita lakukan! Ikuti semua program atau pelatihan, seminar yang berhubungan dengan anak cerdas. Mereka adalah aset penting bagi bangsa ini. Keberadaan mereka selama ini hanya menjadi ”benda unik” di tengah-tengah masyarakat yang dipandang dengan sinis, penuh praduga dan kita menuntut mereka untuk diperlakukan sama dengan kita, anak-anak kita (yang tingkat kecerdasan rata-rata).
Mari kita perlakukan mereka sewajarnya, dalam arti wajar untuk masing-masing karakter setiap anak! Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya!
Bandung, 20 Juni 2009
Imam Wibawa Mukti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar