Selasa, 17 Juni 2008

FILSAFAT UNTUK REMAJA

”begitu banyak jawaban kita jejalkan kepada anak untuk mereka ingat daripada melontarkan masalah untuk mereka pecahkan”
Pernahkah kita bertanya mengapa anak-anak kita, siswa kita atau kita sendiri selalu melanggar aturan yang ada dimasyarakat baik aturan tertulis atau hukum tidak tertulis ? apakah pelanggaran itu semata-mata karena ketidaktahuan atau justru karena sangat memahami (bahkan paham celah untuk menyiasatinya?)
Pertanyaan ini begitu mengganggu mengingat berbagai berita pelanggaran aturan begitu lumrah kita peroleh sehari-hari. Apakah sudah sedemikian parahkah pemahaman kita akan ketertiban dan peraturan ? Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena kita tidak pernah paham landasan filosofis dari suatu aturan. dan mungkinkah kita, guru mampu dan mau mengajarkan filsafat sebagai ilmu kebijaksanaan dan bunda segala pengetahuan kepada siwa-siswa kita?

FILSAFAT BUKAN ILMU LANGIT
Filsafat bukanlah ilmu bengong dan melamun massal. Ilmu ini adalah seni bertanya tentang segala sesuatu. Mempertanyakan suatu masalah dan menjawabnya dengan pertanyaan lain sehingga sampai pada titik dimana kita menjadi memahami suatu permasalahan dan mampu mencari solusi terbaik dan tepat.
Mengapa banyak remaja atau siswa begitu bangga dengan peraturan ? bangga karena berhasil mencontek, berhasil kabur dari sekolah atau sekedar menghindari mata pelajaran tertentu karena alasan tidak ada manfaat bagi kehidupan mereka?
Filsafat mengajarkan dialog intens antara siswa yang berperan sebagai guru dan guru yang memerankan dirinya menjadi murid. Membiarkan siswa untuk melontarkan pertanyaan dengan kritis tentang segala sesuatu dengan bijak dan terarah. Mendampingi siswa untuk mencari jawaban secara mandiri dan kreatif.
Filsafat menempatkan guru tidak sebagai dewa yang serba tahu namun menempatkan guru sebagai sumber pertanyaan sekaligus mengarahkannya pada tujuan “baik” yang ingin dicapai.
Pernahkah kita berdialog dengan siswa mengapa sekolah melarang siswanya mencontek? Bukankah selama ini guru senantiasa mengatakan bahwa mencontek itu melanggar aturan sekolah, dilarang karena sama dengan mencuri tanpa melakukan dialog dengan mereka tentang alasan logis, dampak baik dan buruk (dunia tidak selalu hitam-putih) atau untung ruginya mencontek. Siswa sementara akan melakukan pembenaran akan tindakan itu, lalu mereka mencari alasan logis untuk membuat seolah tindakan mencontek adalah wajar. Tapi dengan pertanyaan dan dialog (multilog/polilog?) akan mengerucut kesadaran bahwa apapun alasan mereka hanyalah pembenaran, karena sebenarnya hati mereka yang paling kecil pun mengakui bahwa tindakan itu tidak benar dan hanya “keterpaksaan” yang membauat mereka melakukan tindakan itu.

MEMBIASAKAN DIALOG DAN BERFIKIR ANTARA GURU DAN SISWA
Tidak perlu berfikir dan membayangkan kerumitan filsafat. Kita bisa memulainya dalam kegiatan belajar mengajar melalui metode filsafat yaitu bertanya, berfikir dan kemudian bertanya kembali. Ini merupakan proses panjang dalam suatu kegiatan pembelajaran. Dalam mata pelajaran apapun guru dapat memulai pelajaran dengan pertanyaan dasar,” apa manfaat ilmu yang dipelajari mereka dalam kehidupan sehari-hari”. Dengan mempertanyakan itu semua maka siswa akan menyadari bahwa semua ilmu adalah penting dan tanpa sadar akan mulai menyukai pelajaran apapun. Namun kesadaran itu harus muncul dari analisa, dialog, kontemplasi dan pemahaman mandiri mereka sendiri.
“COGITO ERGO SUM”… Dialog akan membuka pandangan dan merangsang pikiran mereka untuk menjawab dan melontarkan solusi terbaik menurut mereka. Dengan berpikir dan membiasakan bertanya kita telah meletakkan pondasi bagi kita semua dalam mencari ilmu dan memecahkan masalah sendiri. Dengan demikian kita akan menyadari pula bahwa berpikir adalah makna tertinggi kita sebagai makhluk paling mulia di muka bumi.
Proses dialog dan bertanya memang akan sedikit menguras pikiran, waktu dan energi guru dan siswa. Namun itu semua hanya pada saat awal kita menerapkannya. Bukankah sebenarnya dialog ini juga telah menjadi bagian dalam metode pembelajaran yang telah kita kenal dalam Contextual Teaching and Learning (CTL).
CTL telah memberikan arahan akan pentingnya proses pembelajaran yang langsung dialami oleh para siswa dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sebelum guru mengajar. Hal ini adalah bentuk pengakuan bahwa siswa kita bukanlah gelas kosong yang menunggu diisi, tapi mereka adalah teko kebijaksanaan dan kearifan yang tinggi namun belum maksimal tergali karena ke”aku”an guru yang selalu merasa lebih tahu.
Semoga tulisan ini mampu menjadi wacana di kalangan pendidik dan masyarakat yang mengharapkan munculnya generasi terbaik yang akan menjadi pemimpin arif di masa mendatang…minimal bagi dirinya sendiri.
Mari kita coba !!! Dan bersiaplah untuk tercengang dengan kemampuan dan kebijaksanaan mereka !!!

Tidak ada komentar: