Selasa, 17 Juni 2008

MENDIDIK SISWA SADAR HUKUM MELALUI PEMBENTUKAN PENGADILAN TINGKAT SEKOLAH

Peristiwa penyerbuan di Monas, dibakarnya pencuri motor yang tertangkap warga, tawuran antar warga desa akibat konflik batas desa atau peristiwa lainnya di dunia hukum semakin menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan hukum sejak dini. Tapi pendidikan sadar hukum kita selama ini tidak lebih dari indoktrinasi, nasehat dan petuah tanpa makna karena siswa tidak dapat melihat dan merasakan pengalaman itu dalam kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu saya memiliki ide atau gagasan untuk membentuk “dunia peradilan” tingkat sekolah sebagai media pembelajaran hukum bagi siswa.

SEPERTI APA PENGADILAN DI SEKOLAH ?
Bayangkan…ada seorang siswa yang tertangkap oleh pihak sekolah melakukan pelanggaran yaitu ”Mabal” (kabur dari sekolah). Lalu di sekolah siswa tidak langsung mendapatkan vonis skorsing guru dengan sewenang-wenang dan tanpa memberikan kesempatan siswa untuk mengemukakan alasan. Tapi siswa tersebut dihadapkan pada majelis guru yang terdiri dari guru-guru yang ditunjuk sebagai Hakim yang akan memberikan vonis. Lalu jajaran Kesiswaan bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum yang akan membeberkan kesalahan dan tuntutan hukuman bagi siswa sesuai dengan peraturan sekolah dan Wali kelas sebagai pengacara yang akan mendampingi siswa dalam menjalani “peradilan” disekolah.
Ruang“Pengadilan” bisa berada di sutau ruangan terrtentu atau ruang guru yang diatur secara sederhana supaya semua pihak yang terlibat merasa nyaman dan mampu melakukan kegiatan secara baik dan kondusif. Hal ini akan memberikan kesan dan suasana yang dapat membangun kesadaran bagi siswa bahwa pelanggaran apapun akan berdampak pada psikologi dan kehidupannya.
Guru”jaksa” akan membacakan daftar kesalahan, aturan yang dilanggar dan hukuman yang tepat dan jelas sesuai dengan peraturan yang ada. Disini guru harus memiliki kesamaan pandangan dan interpretasi terhadap suatu aturan sehingga akan meminimalisir berbedanya hukuman untuk kesalahan yang sama. Tujuan guru”jaksa” ini adalah memberikan hukuman yang dapat memberikan efek jera tidak hanya pada pelaku tapi juga kepada siswa lainnya.
Wali”pengacara” akan bertindak untuk mendampingi siswanya dengan membuka dialog layaknya “orang tua dan anaknya”. Wali”pengacara” diharapkan dapat menggali jawaban jujur kepada wali kelas mengenai alasannya melakukan pelanggaran untuk meringankannya di pengadilan”sekolah”. Wali”pengacara” tidak bertindak untuk melindungi siswa yang melanggar atau membenarkan tindakan pelanggaran, namun memberikan perlindungan dan pendampingan agar siswa menerima hukuman sesuai dengan kadar kesalahan dan alasan yang melatarbelakangi suatu tindakan. Juga menghindari terjadinya vonis satu pihak dari sekolah.
Guru”hakim” dapat menerima masukan dari semua pihak dan mengajukan pertanyaan atau saksi yang mungkin dapat lebih memperjelas alasan atau motif yang melatarbelakangi tindakan siswa tersebut. Dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan aspek uran yang berlaku lalu memberikan vonis yang adil menurut aturan yang ada.
Bayangkan…! Peristiwa yang biasanya terjadi di pengadilan dapat terjadi di sekolah dengan “aroma” mendidik dan membiasakan siswa untuk mampu bertingkahlaku pantas di kelas”pengadilan”, menghargai guru”jaksa”, percaya kepada wali”pengacara”, menghormati guru”hakim” dan menjunjung “keputusan” pengadilan sekolah. Lalu siswa yang telah menerima hukuman diberikan kesempatan sekali untuk mengajukan keberatan dan mengulangi proses dengan guru yang lain. Juga memungkinkan guru bergantian peran dalam pengadilan ini untuk menghindari “label” tertentu pada seorang guru.

MUNGKINKAH SEMUA DAPAT DILAKUKAN ?
Jawabannya, “mengapa tidak”. Walaupun ada beberapa hal yang harus dipersiapkan sekolah sebelum membangun sistem kesadaran hukum di sekolah tersebut, diantaranya :
1. Telah terbangun dan tersosialisasinya peraturan sekolah secara jelas dan lugas. Selama ini hukuman dan vonis sangat tergantung pada individu guru dalam menangani suatu kasus. Dan tidak jarang menimbulkan kecemburuan karena perbedaan perlakuan pada suatu pelanggaran
2. Sumber daya guru yang mengerti sistem dan tata cara hukum sederhana. Hal ini akan mengurangi bayangan guru bahwa sistem seperti ini menguras waktu dan energi. Keadilan itu mahal, pendidikan akan kesadaran siswa akan hukum akan jauh lebih besar manfaatnya ketimbang semua bayangan ketakutan dan keruwetan yang ada. Guru selama ini terlalu dipusingkan dengan tugas mengajar dan administrasi lainnya sehingga terkadang “enggan” untuk melakukan reformasi dan merubah kebiasaan menghukum siswa secara sepihak
3. Menanamkan kesadaran kepada siswa sejak dini bahwa mentaati peraturan itu adalah untuk kepentingan mereka, bukan demi ketakutan atau ketaatan buta terhadap suatu peraturan. Siswa akan merasa dihargai haknya karena mereka diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan dari tindakannya.
4. Dengan pengadilan”sekolah”, maka sekolah dapat kembali memperbaiki aturan secara bertahap menuju kesempuranaan aturan. dan melatih siswa untuk mampu mempertimbangkan konsekuensi dari semua tindakannya di sekolah yang berpotensi melanggar aturan.
Semoga gagasan ini bukanlah sekedar mimpi …dan Indonesia sebagai negara hukum benar-benar dapat dialami, dirasakan dan dipahami secara penuh oleh siswa, penerus bangsa.
Penulis :

Tidak ada komentar: