Selasa, 02 September 2008

PENDIDIKAN INKLUSI

Ketika mendengar pendidikan inklusi maka yang ada dalam benak saya sebagai guru adalah, saya mengajar di kelas yang muridnya terdiri atas berbagai keunikan yang bersifat individual. Ada yang cerdas istimewa, ada yang cerdas biasa ada yang mengalami kesulitan belajar, ada yang tuna netra dan tuna rungu, lalu yang autis dan hiperaktif. Bayangkan di kelas yang sama !
Mungkin tidak seekstrim itu dalam kenyataannya, tapi apabila pendidikan inklusi ini menjadi komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan dan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara, maka konsekuensi nyata bagi kami sebagai guru adalah harus mau melaksanakan kemungkinan diatas dengan segala konsekuensinya.
Landasan filosofis dari pendidikan inklusi ini sangat luhur dengan pernyataan bahwa pendidikan adalah hak dasar semua warga dan semua kekurangan atau kesulitan yang ada selayaknya tidak membuat mereka dipisahkan, diasingkan atau dibedakan dalam sistem pendidikan kita.
Masalahnya adalah pada tataran praktek, apakah pendidikan inklusi ini adalah semata-mata menyatukan siswa yang berkebutuhan khsusus dalam kelas yang sama dengan reguler?
Sekarang coba kita pikirkan, dengan fasilitas sekolah yang ada dan sumber daya manusia yang sangat terbatas wawasan dan pengetehuan tentang pendidikan bagi siswa yang berkebutuhan khusus ini, apakah justru tidak men-zhalimi siswa berkebutuhan khusus itu sendiri.
Dengan memaksakan sekolah menjalani pendidikan inklusi tanpa disertai dengan persiapan yang memadai, maka siswa berkebutuhan khusus diperlakukan sama dengan siswa yang reguler. Bagaimana siswa tuna netra dapat belajar dengan maksimal di kelas reguler padahal fasilitas dan SDM gurunya tidak memadai. Bagaimana guru mengelola kelas dan menentukan metode antara siswa cerdas istimewa dengan siswa yang biasa-biasa saja, padahal sudah jelas kebutuhan dan metode mereka tidaklah sama.
Inklusi bukan menempatkan mereka di kelas yang sama. Tapi pemerintah menyediakan fasilitas, sekolah dan sistem yang sama kepada semua warga negara. Biarlah siswa yang tuna rungu disatukan sesama mereka, yang tuna netra disatukan sesama tuna netra, tapi yang penting adalah pemerintah menyediakan fasilitas, sekolah dan guru yang sama jumlah dan kualitasnya dengan sekolah umum.
Memang, seharusnya kekurangan fasilitas dan SDM guru tidak selayaknya menjadi penghalang “pelayanan secara adil” kepada semua warga negara, tapi alangkah naif apabila pemerintah juga menutup mata pada kenyataan bagaimana kualitas pendidikan kita secara umum.
Mari kita kembali membicarakan dan merekonstruksi kembali yang dimaksud dengan pendidikan inklusi.
Kalau memang pemerintah mau memilih salah satu sekolah disetiap kota sebagai percontohan sekolah inklusi, maka semoga hal ini pun tidak bersifat parsial dan setengah-tengah seperti mengadakan program akselerasi selama ini. Mudah-mudahan pemerintah merancang program ini secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dari mulai pendidikan SDM, penyediaan fasilitas, pelatihan dan pengembangan metode dan kurikulum dari mulai tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.
Mungkin ada hal lain yang akan didiskusikan?

Bandung 1 September 2008
Oleh Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Guru dan Koordinator Program Akselerasi SMP Taruna Bakti

Tidak ada komentar: