Kamis, 09 Oktober 2008

MENULIS YUK ?

28 September 2008
PRAKATA
“percaya atai tidak, kita semua adalah penulis,. Disuatu tempat didalam diri kita ada jiwa unik yang berbakat yang mendapatkan kepuasan mendalam karena menceritakan suatu kisah, menerangkan bagaimana melakukan sesuatu, atau sekedar berbagi rasa dan pikiran. Dorongan menulis itu sama besarnya dengan dorongan untuk berbicara; untuk mengkomunikasikan pikiran dan pengalaman kita kepada orang lain; untuk paling tidakmenunjukkan kepada mereka, siapa kita
(bobbi De Porter & Mike Hernacki,1999)
Saya mengajak kalian untuk senang menulis! Sekali lagi, saya mengajak!! Berarti saya pun masih dalam keadaan belum pandai menulis. Nah…berarti juga tulisan ini bukan untuk menggurui tapi justru mengajak belajar bersama bagaimana menulis yang baik. Kata orang, menulis itu mudah, bagi saya, menulis itu sulit. Saking sulitnya, jumlah tulisan saya yang disimpan dalam komputer masih bisa dihitung dengan jari, dan kira-kira berapa jumlah tulisan kalian yang ada sekarang? Tulisan apa saja, kecuali yang berhubungan dengan tugas sekolah lho…..!
Kalau ada buku atau artikel yang mengatakan menulis itu mudah dan benar-benar mudah, tentunya semua orang sudah bisa menjadi penulis dan jumlah buku yang bisa dinikmati pasti menumpuk di toko buku, harganya murah dan semua orang berkesampatan untuk membacanya. Tapi kenyataannya kan lain! Buku yang beredar sekarang banyak lho yang hanya menterjemahkan buku dari luar negeri atau hanya menyimpulkan atau menyadur buku orang lain (seperti beberapa bagian yang akan kita lihat di buku ini). Saking jarangnya penulis, akhirnya penulis yang sering wara-wiri di penerbit ya itu-itu juga. Kemudian biaya yang dikeluarkan untuk honor penulis pun menjadi mahal, buku yang dicetak sedikit, buku menjadi mahal dan akhirnya sedikit sekali orang yang bisa membaca buku berkualitas.
Menulis itu mudah tentunya bagi yang sering menulis, di buku harian misalnya, atau sejak kecil terdidik oleh orang tua untuk biasa menulis atau pernah bekerja yang berhubungan dengan menulis atau pernah mendapatkan pendidikan untuk menulis atau……(berjuta alasan untuk membenarkan bahwa menulis itu sulit).
Tapi bagi kita yang masih atau bahkan belum pernah menulis sedikitpun, wah…memencet keyboard aja keringetan seperti mengangkat barbel kiloan beratnya. Nah…(lagi) karena posisi kita sama, berarti sekarang waktunya kita belajar untuk menulis bersama-sama yuk!
Mengapa harus menulis?
Mungkin muncul pertanyaan dari bapak-ibu-guru, “kenapa harus menulis sih? Khan saya sudah cukup dengan senang membaca…dengan itu saja saya sudah cukup buat nambah ilmu dan pengetahuan lho. Buktinya sekarang saya sudah menjadi…(guru, dosen, pengusaha, murid teladan atau ibu rumah tangga) dan lancar-lancar saja tuh. Lagian apa yang mau ditulis? Nggak ada yang menarik dari hidup saya yang pantas ditulis, kalau pun saya menulis siapa yang mau baca?”
Ya…kalau saya disuruh menjawab pertanyaan itu bisa jadi saya juga tidak tahu. Yang jelas dan saya rasakan langsung dari mencoba untuk menulis adalah adanya perasaan bisa…
Sewaktu SMP, (sekitar tahun 1987-1990) karena teman-teman keranjingan memiliki buku “diary”, saya kemudian tertarik untuk memilikinya juga. Saya masih ingat buku pertama yang dijadikan buku “diary” saya adalah agenda kerja ibu saya yang sangat tebal dan juga tanggalnya telah lewat satu atau dua tahun sebelumnya. Ah…nggak peduli yang penting saya memulainya sejak saya duduk di bangku kelas 3 SMP.
Melalui buku harian itulah semua peristiwa yang saya alami tertulis di “primbon” pribadi. Anehnya, kalau orang lain mungkin mengisinya hanya pada saat sedang ada masalah, saya justru mengisinya tiap malam. Ada atau tidak ada peristiwa istimewa. Saking tidak ada peristiwa yang menarik, akhirnya dalam beberapa hari saya hanya bisa menulis “ pagi berangkat ke sekolah, siang pulang sekolah, malamnya menulis buku ini dan tidur”. Tapi kalau sedang ada peristiwa yang menarik, seperti persahabatan, pertengkeran atau dag-dig-dug nya mendekati perempuan yang disenangi, wah…bisa sampai berlembar-lembar halaman saya tulis. Dan tidak lupa ada photo, potongan tiket, kertas ulangan atau selembar uang yang sobek, saya tempel di buku harian itu.
Buat apa? Pada saat itu saya tidak pernah berpikir untuk apa, tapi yang jelas setelah beberapa waktu kemudian saya membuka halaman demi halaman buku harian itu, maka memori saya tentang peritiwa itu jelas tergambar. Teringat bagaimana marahnya saya (atau cemburu) ketika sahabat saya pulang dan bermain sepakbola dengan orang lain. Atau bagaimana malunya saya ketika hendak mentraktir bayar angkot, ternyata uang kertas 500 rupiah sobek dan hanya tertinggal setengahnya.
Buku harian itu masih ada…dan sempat dibaca sekilas oleh isteri saya, namun Alhamdulillah isteri saya masih bisa menghargai privacy saya dengan tidak membaca seluruhnya. Ketika ditanya kenapa tidak membacanya, dia cukup mengatakan,” kalau saya mencintai kamu, berarti saya juga harus mencintai masa lalu kamu” (cie…cie…cie…)
Mengerti maksud saya ?
Itu yang pertama…
Yang kedua, setelah SMA, saya mulai mengembangkan tulisan di buku harian dengan tema yang lebih luas. Opini tentang masalah politik dan sosial pada saat itu juga kadang-kadang saya tulis, Saya mengecam, mengkritisi, memuji setiap persitiwa yang saya lihat sehari-hari baik dimedia massa atau dalam perjalan pergi dan pulang dari sekolah atau bahkan hanya sampai menuliskan judulnya saja, lalu diam karena marah dan tidak bisa lagi berkomentar. Saat di SMA , saya belajar menulis puisi, cerpen atau gambar karikatur. Pernah saya membacakan puisi dalam buku harian saya di depan kelas sebagai tugas pelajaran sejarah. Tema-nya tentang perjuangan…saya membacanya di depan kelas, setelah selesai, tiba-tiba teman wanita saya berbisik (tidak perlu diperjelas posisinya ya, mengerti sendirilah), “eh…puisi kamu bagus, buatin dong!”. Hhhhhh…
Kuliah? Ah… terlalu panjang kalau diceritakan, tapi yang jelas kemudian saya menjadi penulis amatir dan tulisannya hanya dibaca untuk pribadi. Lalu saya bekerja menjadi guru, diminta menulis buku pelajaran ekonomi oleh perusahaan penerbit baru untuk kelas 1, 2 dan 3. Alhamdulillah lancar dapat honornya…lantas menulis artikel di koran lokal dan diterbitkan sekali, dapat honor pula. Terus mencoba membuat ‘blog’ untuk tulisan-tulisan saya tentang anak cerdas istimewa dan program akselerasi dan “wordpress” untuk memuat tulisan bebas serta puisi-puisi saya. Dapat honor? Ngga…lah…tapi saya kemudian diangkat menjadi koordinator program akselerasi dan sering mendapatkan telepon dari beberapa orang untuk menanyakan lebih lanjut masalah anak berbakat dan cerdas istimewa atau tentang program akselerasi.
Mengerti ?
Itu yang kedua…(wah sudah jam 12 malam. 29 September 2008)
Yang ketiga, pekerjaan saya sebagai guru mewajibkan saya untuk mampu berbicara dengan jelas, tegas dan sistematis. Apalagi saya mengajar mata pelajaran yang masuk dalam kategori “banyak bicara” yaitu Ilmu Pengetahuan Sosial.
Saya pernah mendapatkan teguran dari kepala sekolah pada saat awal mengajar karena ada siswa yang mengeluh kalau saya bicaranya terlalu cepat dan simpang siur. Pada saat itu (kata kepala sekolah) beliau mengatakan kepada orang tua siswa yang mengadu, hal itu disebabkan saya terlalu banyak membaca dan ingin mengutarakan semuanya kepada siswa. Tapi sayang (masih kata kepala sekolah kepada orang tua itu) kemampuan membacanya tidak diikuti dengan kemampuan menulis, akhirnya bicaranya menjadi kacau balau! Nah Lho…ada hubungannya ngga ya….? Trus bagaimana sekarang? Ya mungkin masih begitu-begitu saja, namun yang jelas saya mendapatkan hikmah dari pembicaraan kepala sekolah dengan orang tua tersebut, akhirnya sekarang saya telah berubah. Saya menjadi mengurangi kesenangan membaca….(he…he…he…becanda ketang). Yang benarnya, saya jadi senang menulis.
Mengerti yang saya maksud ?
Itu yang ketiga…
Yang keempat, kelima, keenam, dan seterusnya adalah kepuasan ketika ada yang mengomentari, mengkritisi, menambahkan atau sampai me-wacana-kan tulisan untuk bahan obrolan di sekolah. Kemudian kepuasan itu berubah menjadi sebuah tekad, saya memiliki sesuatu yang bisa dibagi dengan orang lain. Dan mulailah saya menulis “serius sambil iseng” ke arah profesi keguruan. Saya berharap, komentar dari rekan kerja saya yang mengatakan, “Imam…banyak membaca dan menulis tidak bisa membuat kamu kaya” itu tidak benar dan saya ingin membuktikannya (kalau kaya yang dimaksud adalah uang. Karena kaya pengalaman jelas saya sudah memilikinya!!!)
Jadi mengapa saya mengajak kita semua untuk belajar menulis adalah pengalaman saya diatas. Kalau untuk ibu rumah tangga, guru, dosen atau siswa saya tidak tahu ya…mungkin ada yang mau menambahkannya?
“Berapa lamakah kau akan tetap menggantung di sayap orang? Kembangkan sayapmu sendiri dan terbanglah lepas seraya menghirup udara bebas di taman luas” (Dr. Sir M.Iqbal)

Penulis
29 September 2008

Tidak ada komentar: